yang paling setia
hidup adalah memilih
menderita. & jika kematian
tak pernah dilahirkan
apatah kita mengerti hikmah
& kedalaman makna;
tapi kemiskinan…
mengapa begitu mudah untuk
mengingat kematian?
tapi makna, kedalaman…
lelah dicerna oleh perut kita
yang jarang makan
cinta, bisakah kita lakukan
tanpa menderita?
kesetiaan dapat dipercaya
seperti janji-janji kampanye
& kita selalu mengulang nasib
yang itu-itu juga
bahwa hampir seluruh penderitaan
yang karib, ada di rumah kita,
dibuat orang asing yang persetan
barangkali hanya penderitaan
yang paling setia pada hidup kita
semisal anak-anak menangis
menyamarkan bunyi token listrik,
janganlah kau menangis,
berbahagialah pada kemiskinan kita
yang begitu setia
o kita yang mahamiskin,
tuhan yang mahakaya.
–
di kesepianku, sebenarnya kau tak ada di situ
kepada a.n
aku kehabisan cara untuk memandang wajahmu
sebab kita begitu jauh & kita tak pernah begitu dekat, entahlah
sepertinya belum pernah aku sedekat ini menatap mata itu
meminjam mata kamera untuk menangkap matamu
separuh bulan bentuknya, & oh ada tahi lalat sebiji di ceruknya
aku ingin ada di sana & ada satu lagi di simpul senyummu
dan ada di mana lagi, aku tidak tahu…
kelak kuharap segera menemukannya!
aku tidak peduli bila kupu-kupu berterbangan di dalam perutku
atau jalan-jalan bersayap bunga-bunga menjadikan lampu-lampu kota
bertukar permen gula-gula atau magrib begitu bersahaja mendengar
dangdut koplo yang sember suaranya & bising klakson di lampu merah.
aku tidak peduli meski ada kekacauan seindah ini, & aku belum akan berhenti.
apakah kau peduli bila kulakukan berkali-kali
di kesepianku, sebenarnya kau tak ada di situ
lagipula kita begitu berbeda dalam banyak hal, aku sadar…
dan kita tak pernah berkata-kata meski sebentar
ah, salahku tak mendekatimu semasa sekolah dulu
terlalu banyak yang dipikir, terlalu banyak khawatir
tetapi, sesekali mata kita pernah saling bertatap, bukan?
apakah kau sadari itu? atau hanya perasaanku saja?
–
yang berdenyut dan menggetarkan perut
suara dubur hanya ombak angin, dari lambung yang sibuk mencerna sunyi
mengubah asin laut menjadi asam pasang, bulan lebih mirip telur setengah matang
ketimbang mengenang wajahmu yang tidak bisa membikin aku kenyang
lagi pula lama sudah tak terbayang, selain cicilan hari depan—nasib yang tergadai
tetapi mungkin sedikit mengingat cinta dan pelukan memang diperlukan
meski kepadamu dompetku hanya dipenuhi kalimat permohonan maaf
sebab hanya mampu mengajakmu mencium basah aroma aspal & terpal
di warung pecel lele, memandangi kemangi yang jatuh ke dalam air kobokan
aku tidak mengenal bunga & coklat atau kado & selamat ulang tahun
kita merayakannya dengan berbagi kesedihan dalam satu pelukan panjang
di dalam puisi yang pernah kutulis dari sobekan bungkus bakwan
yang meninggalkan sisa minyak & mengekalkan basah ciuman terakhir kita
kesedihan hari ini misalnya, pada suatu magrib yang lapar, terdengar kabar
perayaan orang mati yang ke seratus hari, maka dari kos-kosanku yang 3×4
aku bergegas pergi ke rumah duka, melambungkan doa-doa menjemput sekotak nasi
menukarnya dengan tangan yang lelah menampung harapan-harapan kering & basi
barangkali benar demikian, perut kosong mana mempan dikasih puisi
beberapa kali sistem pencernaanku berontak mencerca struktur dan bentuk
tubuhku bakal kering menelan banyak metafor yang mengandung
berlebih kecemasan-kecemasan, yang berdenyut dan menggetarkan perut
–
di warteg
sambil mengunyah pikiran, sebuah pertanyaan;
bagaimana seekor lalat bisa terjebak di etalase warteg bahari
& membenturkan diri berkali-kali
pada dinding kaca yang dianggapnya tidak ada, barangkali,
sebab memperlihatkan bening kebebasan? & pada suatu hari
yang sial kau melihat ia nyemplung di kuah kari. seperti kata penyair
miskin itu “mengaduk nasib menelan mimpi” yang tak kau mengerti
maksudnya apa, kelaparan tak perlu dimaknai macam-macam katamu
tetapi kau tak gentar, jika dibanding getar perutmu
kau memilih berani mengaduk nasi dengan lauk kuah sisa itu
meski batinmu getir berkata “yang penting ada rasa daging-dagingnya”
ya, jakarta hari ini gagal membikinmu kelaparan
& itu hari-hari yang kau perjuangkan.
–
barangkali mimpi
bermimpi itu menyakitkan & bila memilikinya semudah membalikkan
telapak tangan, itu hanya bermakna meminta belas kasih orang-orang
atau barangkali itu belum lengkap, dengan meletakkan air di atasnya
tak seperti apa yang ada di daun talas. & kita berharap bahwa seutuhnya masih
melekat, sedang jarak & waktu yang coba kau tangkap berceceran melalui sela
jari-jarimu, tetapi, semua hanya lengkap bila menunggu makna merelakan
sesuatu tidak akan terjadi selain kesia-siaan
masihkah mimpimu tersisa hari ini?
di waktu orang-orang tertidur, kau terjaga sepanjang malam
membangunkan mimpi-mimpi itu dari tidur siang
kau mungkin tidak sampai pada mimpi masa kanak-kanak
tetapi, adakah kemungkinan di mimpi-mimpi yang lain?
kau tidak menjawab, lebih tepatnya kau tidak punya keberanian
untuk menjawab, lebih tepatnya kau ragu dari semua jawaban
yang kau punya sekarang. & apakah kau di masa depan menyesali
perbuatan kau di hari ini. kau terdiam, berharap ia bisa memaafkanmu
Bekasi, 2023
*****
Editor: Moch Aldy MA