Setiap zaman punya penyakitnya sendiri, setiap generasi healing dengan caranya sendiri.
Jangan terlalu heran dan jangan mudah mencibir jika sekarang ini kata healing hilir mudik di linimasa, hadir dalam perbincangan keluarga, bahkan dalam percakapan antar-remaja. Apa memang generasi hari ini terlalu manja, tak tahan menghadapi tekanan, tak akan mampu menghadapi tantangan yang lebih besar?
Kata healing digunakan generasi hari ini untuk merujuk kebutuhan melepaskan diri dari tekanan, dari beban pekerjaan, dari stress. Merasa tugas kuliah berat, butuh healing. Putus cinta, perlu healing. gagal mendapatkan yang diinginkan, butuh healing. Tapi bukankah kebutuhan semacam itu juga ada di setiap zaman, pada setiap generasi? Bedanya adalah, generasi sebelumnya tak menggunakan kata healing.
Jika kita membaca buku, menonton film, atau mendengar lagu dari flower generation dari pertengahan 1960-an sampai akhir dekade 1970an, gaya hidup hippies adalah cara mereka keluar dari tatanan sekaligus cara melawan dan mengekspresikan kekecewaan dan kemarahan. Mereka meninggalkan rumah, memilih bertualang atau bahkan hidup menggelandang.
Pada masa ini pula, periode pencarian atas makna dan spiritualitas kian marak. Ada yang ke India, ada mendaki Himalaya, ada yang berkenalan dengan Buddha. Lagu Across The Universe dari the Beatles, misalnya, adalah salah satu bentuk hadirnya proses pencarian itu dalam karya seni populer.
Baca juga: Yoko Effect
Melakukan perjalanan untuk mencari makna kemudian menjadi tema besar generasi setelahnya. Perjalanan besar mengelilingi dunia, mendaki puncak tertinggi, mengikuti jejak Paul Theroux dalam The Great Railway Bazaar, menggelandang ke Phuket atau Tibet. Era everyone can fly yang memungkinkan adanya tiket penerbangan murah dan dibarengi akses teknologi yang memudahkan perjalanan, mendorong siapa pun untuk melakukan perjalanan. Apalagi dengan kemudahan untuk mengunggah foto dan cerita perjalanan ke media sosial sehingga bisa dibaca langsung oleh siapa pun.
Dari flower generation hingga everyone can fly generation, mereka semua sedang healing. Mereka sedang mencari cara untuk keluar dari perangkap kehidupan, melepaskan beban, mencoba menyembuhkan kekecewaan dan ketakutan.
Lalu BOOM! pandemi datang. Batas antarnegara ditutup, interaksi langsung antar manusia dibatasi, kerja dari rumah, sekolah dari rumah, kuliah dari rumah, kabar kematian dan berita PHK. Hanya akses media sosial yang 24 jam menghubungkan pada masalah-masalah nyata di luar sana. Setiap orang ingin lari, setiap orang ingin keluar dari kesumpekan dan tekanan. Tapi bagaimana caranya ketika sekadar keluar rumah saja susah?
Byung-Chul Han dalam bukunya The Burnout Society menguraikan bagaimana generasi hari ini adalah generasi yang kelelahan. Hidup di era di mana setiap orang diukur dari produktivitas dan pencapaian, menyisakan rasa lelah kolektif. Kelelahan bukan lagi masalah individu, tapi masalah bersama seluruh anggota masyarakat.
Sialnya, pandemi bukanlah jeda. Pandemi justru menjadi aquarium yang membuat segala hal jadi terlihat transparan. Setiap orang seperti ikan yang berdesak-desakan dalam kotak aquarium, saling melihat, saling kebingungan, sama-sama ingin lari – tapi tak tahu jalannya. Keterdesakan ini seolah mendapat jawaban ketika kesadaran atas kesehatan mental semakin meningkat. Ada pemahaman baru bahwa untuk menghilangkan segala keruwetan pikiran, kekecewaan dan kemarahan, yang dibutuhkan adalah healing. Tapi healing yang bagaimana? Ya ndak tahu, pokoknya healing. Pokoknya aku mau healing!
Kekuatan Diri
Berdampingan dengan kata healing, self love menjadi buzz word. Self love didefinisikan sebagai sebuah hak atau sebuah upaya untuk memanjakan diri sendiri: makan enak, ke salon, belanja, jalan-jalan. Penggunaan kata self love bergantian dengan healing; bahwa kamu berhak untuk melakukan apa yang kamu mau untuk membuat dirimu merasa baik. Bahwa tekanan hidup sedemikian besar, bahwa kamu memang sedang tidak baik-baik saja, bahwa kamu berhak bahagia.
Tahun 1961, penulis Amerika, Joan Didion, mengawali karier menulisnya dengan esai pertama di Vogue berjudul Self Respect: Its source, its power. Esai tersebut bisa memberi pandangan yang melengkapi konsep “self love” yang sekarang sedang marak dipakai – dan sering kali disalahartikan.
Self respect dari Joan menekankan pada karakter seseorang untuk berani mengambil keputusan sekaligus bertanggungjawab atas keputusan itu. Ia mensiratkan sebuah langkah aktif, bukan pasif.
Self respect ala Joan juga bentuk penghargaan atas kualitas individu yang turut mengambil tanggung jawab atas sesuatu di luar dirinya sendiri. Bukan sekadar berpikir tentang diri sendiri.
Self respect adalah kesadaran bahwa diri kita punya nilai, punya harga. Bukan sebaliknya: merasa diri perlu dikasihani, dilindungi, dimanjakan. Self respect membuat kita sadar kita punya kekuatan.
Ketika self love berdampingan dengan self respect, kita akan menyadari bahwa mencintai diri sendiri penting, demikian juga menghargai karakter, kemampuan dan kualitas diri kita.
Self respect – penghargaan pada diri sendiri – akan membawa kita pada proses healing dan proses mencintai diri sendiri yang hakiki, yang tak sekadar ikut-ikutan apalagi sekadar untuk mendapat perhatian.
Pemikir feminis, bell hooks, pun sudah menekankan bagaimana perilaku mencintai selalu didasari dan diawali oleh kemampuan untuk sendiri dan mencintai diri sendiri. Dengan demikian, kita tak akan pernah lagi menjadikan orang lain atau apa pun sebagai pelarian. Cinta, kata bell hooks, adalah kombinasi antara kepedulian, komitmen, tanggung jawab, pengetahuan, penghargaan, dan percaya. Maka dengan itulah kita akan healing dan mencintai diri sendiri.