Pos Ronda
di ambang sunyi
malam makin pucat,
saat langit bersendawa
untuk ketiga kalinya
waktu seolah melambat.
riuh resah dunia perlahan merendah,
derai hujan mematuk atap pos ronda,
memantul dari lembar daun singkong
sebelum akhirnya jatuh menyentuh akar rumput.
pukul 00.11 kami masih duduk
melingkari meja gaple,
setelah seharian suntuk membuat bedeng,
menyemai benih padi, mengolah sawah,
dan ladang masing-masing.
letih seketika berubah jadi kisah jenaka
tawa yang renyah—serenyah
rempeyek kacang
di kaleng khong guan.
padahal koran, televisi, pun
berita dari mulut ke mulut
tak pernah menyuarakan kabar baik;
tagihan listrik yang terus naik,
harga kebutuhan pokok yang tak ramah,
ditambah tengkulak yang tak segan mengebiri
harga hasil tani, sedang pupuk subsidi
kerap kali jadi bahan monopoli.
Tuhan jika ada kisah yang lebih konyol
dari the simpson atau tom jerry
barangkali adalah kami
yang masih percaya nasib baik
sedang keadaan dengan nyata
menyuguhkan kesukaran-kesukaran.
Tuhan jika perjudian telah jadi haram,
mengapa hidup penuh dengan pertaruhan-pertaruhan?
oh Tuhan, kiranya pada putaran ke berapa
nasib kami engkau menangkan…
Lampung, 2023
–
Kisah Hidup Pak Sukri
Saban malam, ketika
Bahana jangkrik mulai kumandang
Angin bertiup pelan
Kau pun lengah pada satu-satunya
Kursi kayu di depan rumahmu.
Suara melengking
Yang kau sebut hantu itu,
Mulai menggema
Menyesaki tempurung kepala;
“Apa yang bisa diharapkan dari seorang
Penggali makam? Kerja tak menentu
Terlebih penghasilan sulit diandalkan
Bahkan untuk sekedar membeli sekilo ikan.”
Di dalam kamar, putra kecilmu
Berbaring pada kasur kapuk
Seusai mengerjakan soal pilihan ganda
Bu, ia berbisik pada istrimu
“setelah ibu perbaiki
celana sekolahku robek lagi.”
Kau tak langsung mendengarnya dari bocahmu
Tetapi istrimu yang makin tampak kurus
Dan pucat sebab sakit menahunnya
Datang berkeluh padamu.
Mimik wajahnya tampak tegar
Namun kau benar-benar mengerti rasa nyeri
Yang ia tutupi untuk dirinya sendiri.
Jam makin keramat
Kau tatap langit yang hanya hitam
Di kepalamu makin nyaring suara hantu itu,
Kau teringat tetanggamu pernah berkata
Bahwa ada harapan di negeri
Yang jauh dari kampungmu ini;
Katanya kau tak perlu modal
Kau hanya perlu sedikit keberanian
Untuk bertaruh nyawa
Mengarungi lautan yang gelap, lalu
Masuk lewat pintu belakang ke negeri itu.
Kau pun bimbang
Hidup makin tua
Di lain hal tak lagi ada
Yang bisa dipertaruhkan selain nyawa,
Kau tatap cangkul yang kau pakai
Menggali makam tadi siang.
Rasanya tak mungkin jika kau harus berdoa
Agar ada salah seorang di desamu yang mati
Supaya kau bisa bekerja esok hari.
Lampung, 2023
–
Langkah ke Tujuh Orang Terakhir
Setelah langkah ke tujuh orang terakhir
Menjauh dari kuburmu, kilat menyambar
Serupa cahaya blitz memburam mata.
Dentuman keras terdengar berulang-ulang,
Bergetar apa yang kau pijak, pun mendadak
Melunak tulang-tulang di sekujur tubuhmu.
Ruang yang semula gelap dan sempit itu,
Perlahan meluas—melebar, matamu jauh mengukur
Tapi tak pernah sampai pada jawaban pasti.
Tanpa balutan mori, kau terseyok-seyok berdiri
Setelah tersungkur beberapa kali, di hadapanmu,
Dua sosok makhluk tinggi besar berkulit gosong
Berwajah masam, dari tubuhnya menguar bau
Yang lebih anyir daripada bangkai
Manapun yang pernah kau cium
“Man robbuka?” katanya.
Bergetar sekali lagi apa yang kau pijak dan
Tulang-tulangmu seakan melunak,
Kau pun gelisah sebab sosok yang bengis itu
Seolah akan melumat tubuh kerdilmu.
Untuk kali kedua sosok itu bertanya. Seperti pernah,
Kau dengar jawaban dari tanya itu, tapi
Yang terbesit di otakmu hanya dadu, dadu
Dan dadu; kau pun berseru “Sic Bo!”
Wajah kedua sosok itu berubah merah padam,
Sepasang taring keluar dari celah bibirnya
Yang mulai menganga.
Tanpa sepatah kata,
Kedua sosok itu mengayunkan tinjunya
Dari kiri ke kanan dan sebaliknya,
Duuuaaaaaaarrr! Tinju mereka saling bertemu
Seketika remuklah tubuh kerdilmu;
Tanganmu tak lagi tangan,
Kakimu tak lagi kaki, tubuhmu tersisa separuh,
Kepalamu terlepas melayang ke udara.
Kau tatap suasana di sekelilingmu
Berputar seperti bianglala, dalam kilas balik
Kau saksikan riwayat hidupmu; di sana
Terlihat kau tertawa terbahak-bahak,
Saat muntahan dadu di dice cup bandar itu
Perlahan menggelinding sesuai tebakanmu.
Lampung, 2023
–
Setelah Kepergian I
kemarau merontokan bunga-bunga
dari tangkainya yang letih,
pada tiap-tiap suasana
seakan masih kudengar bisik nafasmu
yang terkulai bersama doa
di beranda itu.
langit biru hening,
angin berbisik dalam desau lembutnya
jejak debu di kaca jendela
mengisahkan perjalanan panjang
dari kota-kota tanpa nama
menuju ke sebuah alamat yang asing
“Nan, benarkah kita punya kampung halaman?”
setelah beribu kisah digambarkan mata kamera,
bagaimana jika hidup
ternyata hanyalah mimpi dewa-dewi, dan
kita yang membikinnya seolah punya arti.
Lampung, 2023
–
Sehabis Membaca Sebuah Berita
kabar tentang burung-burung
yang meledak di angkasa
makin marak tersiar,
langit menjelama luka terbuka,
letupan peluru bagai bunga api yang
mekar di balik reruntuhan bangunan.
dalam bisu puing-puing itu
deru nafas manusia serupa dengus lembu
yang digorok lehernya.
beradab-abad perang
telah diasuh tombak dan pedang
beranak pinak melahirkan
moncong-moncong senapan,
roda-roda baja yang melata di atas jasad manusia,
serta berton-ton mesiu
yang dibalut kapsul besi
tinggal menunggu waktu memecah daratan
banyak dikisahkan buku-buku sejarah
pun tertulis di kitab-kitab suci, tragedi
keserakahan, kesengsaraan akibat perang
tetapi mengapa manusia masih saja
menyayat luka yang itu juga?
Lampung, 2023
*****
Editor: Moch Aldy MA