Diskursus Peradaban Literasi Manusia
Bahasan mengenai peradaban manusia selalu menyenangkan untuk ditelusuri. Sebagai manusia, mempelajari peradaban di masa lalu sama halnya dengan mempelajari diri sendiri. Peradaban manusia selalu berulang di tiap eranya. Hanya setting waktu dan aktornya saja yang berbeda.
Dari masa lalu, banyak hal yang dapat dipelajari untuk menyongsong peradaban di masa yang akan datang. Peradaban manusia dapat dilacak dan dipelajari sejak kita menemukan aksara sebagai media untuk menyampaikan ide dan gagasan. Berbagai penemuan, teknologi, dan ilmu pengetahuan mulai didokumentasikan melalui tulisan. Tujuannya tentu saja agar informasi tersebut abadi dan dapat diwariskan bagi generasi yang akan datang.
Sejarah mencatat bahwa aksara pertama kali digunakan oleh manusia sekitar 3000 tahun yang lalu oleh bangsa Sumeria yang mendiami wilayah lembah antara sungai Tigris dan Eufrat. Bentuk aksara inilah yang pada perkembangan berikutnya menjadi cikal bakal terbentuknya berbagai aksara yang ada di dunia.
Secara sederhana, aksara merupakan kode bunyi yang dituliskan dalam simbol tertentu. Satu aksara mewakili satu fonetik yang khas dan berbeda dengan bunyi lainnya. Aksara juga merupakan komponen terkecil penyusun kata sebelum menjadi kalimat yang akhirnya melahirkan paragraf-paragraf informasi.
Sebelum kode-kode fonetik ini ditemukan dan dibakukan dalam satu urutan alfabetis, manusia menggunakan simbol-simbol alam untuk mendeskripsikan gagasan maupun peristiwa. Pola semacam ini dapat kita temukan di pahatan hieroglif pada dinding-dinding bangunan Mesir Kuno seperti kompleks pemakaman, obeliks, dinding piramid, dan patung-patung Dewa.
Hieroglif Mesir Kuno terdiri dari kombinasi elemen logograf dan aksara sederhana yang diukir pada media tulis untuk menyampaikan informasi. Dalam banyak kasus, hieroglif sulit untuk dipahami dan digali informasinya karena mengombinasikan simbol alam seperti burung, pepohonan, wujud dewa-dewa, hingga simbol-simbol alam lainnya.
Terlepas dari kesulitan teknik penggalian informasinya, tujuan utama dari tulisan-tulisan ini adalah mendokumentasikan sejarah dan peradaban mereka sehingga bisa dikaji oleh generasi selanjutnya. Inilah poin pentingnya.
Jauh sebelum penggunaan aksara latin, bangsa kita juga memiliki aksara-aksara kuno untuk mendokumentasikan sejarah. Kita mengenal ada aksara Palawa, Kawi, Sunda Kuno, aksara Jawa, Bugis, Mandailing, Toba, Bali dan aksara-akasara kuno lainnya. Pengguaan aksara itu disesuaikan dengan bahasa yang digunakan. Berbagai karya lahir dari penggunaan aksara kuno itu, antara lain kitab Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular yang berisi hikayat pangerang Sutasoma dan ajaran-ajaran toleransi beragama, khususnya toleransi antara pemeluk Hindu dan Budha. Kitab Negarakartagama disusun oleh Mpu Prapanca. Karya ini berisi kisah keagungan Prabu Hayam Wuruk dan khususnya keagungan kerajaan Majapahit pada masa itu.
Selain sebagai dokumentasi pengetahuan, menulis juga kerap dijadikan ajang untuk mengabadikan kejayaan peradaban sehingga generasi berikutnya dapat mengenal kemegahan peradaban bangsa pendahulunya.
Sebelum ditemukannya kertas oleh bangsa Cina, manusia pada zaman dulu menulis di beberapa media, seperti batu, daun kering, tulang, hingga kayu. Sebagai contoh, bangsa Mesir Kuno, selain menggunakan dinding dan batu sebagai media menulis, juga menggunakan gulungan papirus.
Papirus sendiri adalah bahan yang menyerupai kertas tebal dan dibuat dari empulur tumbuhan papirus (Cyperus Papirus). Tumbuhan ini banyak ditemukan di delta Sungai Nil. Papirus biasanya digunakan sebagai dokumen dan arsip negara. Surat-surat formal juga ditulis dengan media ini.
Biasanya papirus dibentangkan sebelum digunakan untuk menulis dan digulung ketika selesai mendokumentasikan informasi untuk kemudian disimpan di perpustakaan sebagai arsip.
Nusantara juga mengenal daun lontar sebagai media tulis. Media ini didapatkan dari daun pohon lontar (Borassus flabellifer Lin). Pohon ini sejenis dengan pohon palem. Diketahui jenis pohon ini berasal dari India dan Sri Langka, kemudian menyebar hinggga semenanjung Arab dan terus meluas sampai negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Aksara Sebagai Jembatan Pengetahuan
Jika dikaji secara mendalam, tulisan yang terdapat di ukiran dinding, potongan kayu, hingga manuskrip-manuskrip yang ditemukan itu mendokumentasikan informasi yang sederhana dan lugas. Misalnya, membahas kehidupan sosial pada masa itu, jenis olahan makanan, kultur dan budaya setempat, hingga sejarah raja-raja yang pernah berkuasa.
Memang, sekali tempo tulisan yang disusun menyiratkan rahasia, atau beberapa kode-kode informasi yang sulit untuk dikuak. Terlepas dari itu semua, dokumentasi informasi ini tujuan utamnaya tentu saja agar bisa kembali diakses di kemudian hari.
Beberapa tulisan tentang etika, nilai-nilai moral, filsafat dasar, dan astronomi juga ditemukan. Lagi-lagi dengan pengemasan yang tujuannya agar dapat dipelajari oleh generasi mendatang. Budaya literasi merupakan representasi paling konkret dari aktualisasi diri manusia sebagai makhluk yang berakal.
Satu poin yang perlu digarisbawahi adalah, semua pendokumentasian itu merupakan pembekuan sejarah dari orang-orang terdahulu agar dapat dicairkan kembali di era berikutnya. Syaratnya tentu saja tulisan itu tidak boleh rumit, kaku, atau penuh dengan dialetika kode-kode yang susah dipecahkan.
Hal semacam ini kerap kali bertolak belakang dengan realitas literasi di abad ini. Sampai sekarang, tulisan yang rumit, susah dipahami, dan menggunakan diksi-diksi yang “tidak membumi” masih banyak bertebaran. Tidak jarang, makin rumit suatu tulisan, makin dianggap sebagai karya agung yang diciptakan oleh intelektual yang kredibel.
Pada dasarnya, setiap tulisan memang memiliki pangsa pasarnya sendiri. Tulisan-tulisan ilmiah yang banyak menyertakan istilah-istilah asing memang tidak mudah dipahami oleh sembarang orang. Masalahnya adalah ketika suatu tulisan yang sejatinya bisa dibuat lebih sederhana, tetapi dikemas dengan diksi-diksi tidak lazim hanya demi mempercantik tulisan dan memberikan efek kejut terhadap pembacanya.
Albert Einstein, salah satu fisikawan yang dianggap sangat jenius pernah berkata, “Everything should be made as simple as possible, but not simpler.”
Singkatnya, sesuatu sudah selayaknya dibuat sederhana agar lebih mudah dipahami tanpa menghilangkan esensi utamanya. Hal yang sama juga berlaku pada tulisan. Untuk menunjukkan kualitas dan kredibilitas sang penulis, sebuah karya tidak harus memusingkan pembacanya, sukar dipahami, atau dianggap angker dan sakral. Toh pada akhirnya, sebuah karya tulis tidak lebih dari deretan huruf-huruf yang tersusun menjadi kalimat dan paragraf.
Saat karya tulis tidak memberikan manfaat, atau bahkan tidak dapat dipahami pembaca secara umum, tulisan tersebut hakikatnya tidak ada artinya.
Lagi-lagi, segala sesuatu di dunia ada segmennya. Begitu pula dengan tulisan. Setiap karya tulis memiliki segmennya masing-masing. Ada kalanya sebuah tulisan memang sulit untuk disederhanakan karena memuat gagasan yang kompleks, teori-teori yang penuh penalaran dialektik, atau istilah-istilah yang sukar dicari padanannya. Tapi, percayalah bahwa selalu ada cara dan penalaran sederhana untuk mengatasinya. Sebagai contoh, kita bisa berbicara panjang lebar tentang teori fisika kuantum yang membahas peristiwa terbentuknya alam semesta. Konsep yang rumit dan penuh dengan gagasan ilmiah itu melahirkan satu frase kontroversial bahwa Tuhan tidak menciptakan alam semesta. Berbagai argumentasi ilmiah dikemukakan. Dua semester perkuliahan tidak akan cukup untuk membahas konsep dasarnya saja.
Namun, seperti pernyataan sebelumnya, selalu ada cara untuk menyederhanakan penalaran rumit. Kita bisa berdiskusi ilmiah sampai berdarah-darah ketika membahas asal-usul alam semesta. Diskusi yang sangat memusingkan orang-orang awam. Meski begitu, mengutip pendapat dari salah satu karya Imam Nawawi, Tijan Durori, di sana ia menyatakan bahwa, “Al Bu’ratu, tadullu alal ba’ir.” Sebuah kotoran sapi yang telah mengering, menunjukan bahwa ada sapi yang pernah buang air besar. Maksudnya adalah, kotoran sapi yang telah lama mengering, meski tidak tampak lagi sapi di dekat kotoran tersebut, semua orang berakal sehat pasti akan sepakat dan meyakini bahwa pernah ada sapi yang buang hajat disitu.
Imam Nawawi membuat analogi yang sederhana tapi sangat rasional. Hal yang remeh dan hina seperti kotoran sapi saja memerlukan aktor untuk mewujudkannya, apalagi alam semesta yang begitu kompleks ini. Bagaimana bisa tercipta dengan sendirinya.
Mencerna pernyataan Imam Nawawi tentang konsep adanya Tuhan sama sekali tidak sulit. Bukan hanya seorang profesor, seseorang yang bahkan tidak pernah mendengar apa itu konsep logika Aristoteles juga akan paham analogi tersebut. Hal semacam inilah yang sejatinya perlu dikembangkan. Menyederhanakan logika berpikir.
Sederhana bukan berarti bodoh. Sederhana bukan berarti remeh dan tidak ilmiah. Justru, kesederhanaan berpikirlah yang seringnya merangkul manusia pada gagasan yang lebih realistis dan bermanfaat.
Literasi Bukan Makhluk Pemaksa
Intelektual yang bijak adalah mereka yang mampu merekonstruksi gagasan rumit menjadi konsep-konsep yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Hal tersebut menjadikan suatu karya dapat diakses oleh banyak orang dan dikembangkan lebih jauh. Bermegah-megahan dengan diksi dan gagasan rumit sering hanya menghasilkan kebanggaan semu.
Tujuan utama dari sebuah karya tulis akhirnya terkikis karena informasi di dalamnya tidak dapat diacerna secara optimal. Beberapa kalangan yang dapat mempelajarinya hanya memberikan kesan eksklusivitas ilmu pengetahuan dan monopoli informasi. Ini merupakan PR bersama para intelektual dalam menciptakan iklim literasi yang ramah terhadap semua kalangan. Memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin untuk dimulai.
Kita harus menyadari bahwa diksi, kalimat, dan paragraf hanyalah media untuk menyampaikan informasi. Dia hanyalah alat yang kita gunakan untuk menyampaikan ide dan gagasan kepada orang lain. Jangan sampai kita terlena dengan memoles media ini secara berlebihan hingga melupakan substansi yang didapatkan oleh pembaca.
Pekerjaan rumah itu termasuk merekonstruksi konsep-konsep filsafat, teologi, hingga sains sehingga makin banyak manusia yang terbuka cakrawalanya melalui pengetahuan yang ramah cerna.
Filsafat bukan ilmu pengetahuan dewa yang hanya bisa dicerna oleh akademisi kelas kakap yang telah menelan ratusan buku-buku serius. Teologi dan sains bukan ilmu angker yang mengerikan ketika dipelajari. Memperoleh ilmu pengetahuan adalah hak setiap manusia. Tugas para intelektual adalah menyebarkan ilmu pengetahuan itu demi kemajuan peradaban umat manusia dengan menyajikan gagasan yang mudah dipahami.
Pada akhirnya, sumbangsih sesorang terhadap peradaban manusia adalah gagasan dan karya-karyanya. Gagasan yang mudah dipahami adalah bentuk pengabdian terhadap literasi sehingga dapat dikembangkan dan diteruskan kepada generasi mendatang.
***
Editor: Ghufroni An’ars
Berikut tanggapan saya atas tulisan ini. Sila dibaca jikalau suka konfrontasi. Heuheu.
https://kumparan.com/christian-constant/21IrVceo1B0?shareID=3mA4mVoYTXfY&utm_source=App&utm_medium=copy-to-clipboard