MIMPI AYAH
Ayah selalu tidur di ruang tamu.
Ia bilang kamar itu terlalu luas
untuk mimpinya yang kecil.
“Kursi ini cukup,” katanya,
Ayah punya jam tangan tua.
Jarumnya patah, tapi ia masih memakainya
karena waktu katanya tak pernah benar-benar pergi—
hanya berputar seperti uang, lekas datang lekasi hilang.
Ayah suka rokok,
tapi hanya yang ditawarkan tetangga.
Ia bilang,
“Rokok gratis itu lebih nikmat,
karena sudah diracik dengan rasa syukur
dan kebangkrutan.”
Ayah jarang berbicara soal mimpi.
Katanya, mimpi itu seperti sandal jepit:
jika terlalu jauh melangkah,
pasti putus di jalan.
Tapi aku tahu,
di matanya yang redup,
ada cahaya kecil yang tetap menyala.
“Ayah, apa kau pernah lelah?” tanyaku suatu malam.
Ia tertawa kecil,
lalu menyalakan korek api
lalu membakar rokok sisa pagi.
“Lelah seperti asap rokok,” katanya,
“sebentar datang sebentar hilang,
asal kau tahu cara meniupnya.”
Dan aku mengerti.
–
CELANA AYAH
Ayah adalah penjahit celana,
meski ia sendiri hanya punya satu.
Celana itu sudah tua,
robek di lutut,
pinggangnya melar,
tapi katanya,
“Celana ini lebih sabar dari manusia—
tak pernah protes,
walau aku pakai terus.”
Di sakunya,
ada bekas-bekas mimpi yang dilipat kecil,
seperti pola kain yang tak pernah dijahit.
“Mimpi itu jangan buru-buru dipotong,” katanya,
“kadang kau salah ukur.
Jadinya malah kekecilan.”
Ayah sering melamun di depan jendela,
mengukur hujan dengan jarinya.
“Mungkin aku harus menjahit mantel,
agar aku bisa memeluk hujan tanpa menjadi basah,” gumamnya.
Aku tertawa,
tapi ayah hanya tersenyum kecil,
seolah-olah ia serius.
Jika ditanya,
apa yang paling ia takuti,
ayah tak pernah menyebutkan penyakit atau kemiskinan.
Ia hanya bilang,
“Aku takut benang habis sebelum pekerjaanku selesai.”
–
PAYUNG AYAH
Ayah adalah ahli reparasi payung.
Di sudut pasar, ia duduk
memperbaiki payung.
Ayah bilang,
“Payung seperti hidup.
Kau buka lebar-lebar, Nak,
tapi hujan tetap menemukan celah
untuk membasahimu.”
Payung-payung datang setiap hari:
ada yang patah tulangnya,
ada yang hilang gagangnya.
Ayah memperbaiki semuanya,
meski ia sendiri jarang punya payung.
“Tak apa basah,” katanya.
“yang penting aku tahu, hujan benar-benar ada.”
Aku pernah bertanya,
mengapa ayah tak pindah kerja.
Mungkin jadi tukang ojek atau pedagang atau menjadi ayah.
Ia tertawa sambil mereparasi payung yang patah tulangnya.
“Orang-orang butuh payung,
meski hanya untuk merasa aman,
walau sebenarnya ayah tahu,
hujan tak bisa dihalangi.”
Kadang aku melihatnya berbicara sendiri,
mungkin kepada payung yang sudah rusak parah.
“Maaf,” katanya pelan,
“tulangmu rapuh sekali.
Tapi aku coba perbaiki,
supaya kau masih bisa berdiri,
meski hanya untuk sekali lagi.”
Dan ayah mencopot satu tulang dari tubuhnya,
ia berikan kepada payung yang sudah rusak parah itu
sambil berbisik,
“Pakailah, Nak, kau tak akan kehujanan lagi.”
–
RUMAH AYAH
Ayah adalah seribu hal kecil
yang sering saya abaikan,
sampai akhirnya saya sadar,
bahwa ia adalah rumah,
bukan hanya tiang-tiangnya.
–
SEPATU AYAH
Sepatu ayah selalu mengeluh,
solnya tipis, talinya kusut.
Tapi ayah berkata,
“Sepatu tua lebih tahu jalan pulang
ketimbang yang baru.”
Padahal aku tahu,
diam-diam percakapan ayah dan uang:
“Uang, jangan beri aku sepatu baru,
berilah kepada bocahku
sembuh seberapa mahal hargamu.”
Aku menangis, lalu berdoa kepada Tuhan:
“Tuhan, sudikan Kau mencopot sepatuMu
dan memberikannya kepada ayahku? Aamiin.”
Tuhan lantas mencopot sepatunya
dan memberikan kepada ayah.
Bocah senang ayah terharu.
Terima kasih, Tuhan.
–
DOA AYAH
Telah terbit langit
di keningmu yang keriput,
lalu bulan dan matahari bersanding
menjadi dua bola mata,
kemudian bergoyang padang ilalang
alismu dan bulu-bulu mata.
Hujan turun tapi tak deras
berteduh di kedua pipimu,
berlabuh di bibirmu yang pucat
gemetar menahan lapar.
Anakmu berdoa
menengadahkan piring.
–
HENING AYAH
Ayah jarang bicara,
tapi ia punya seribu cara untuk didengar.
Suara sapu di pagi hari,
bunyi sendok mengaduk kopi,
atau
desah napas panjang setelah menatap tagihan.
–
LAUK AYAH
Ayah selalu makan paling akhir.
Ia bilang ingin memastikan semua kenyang dulu.
Tapi aku tahu,
yang ada di dalam piringnya bukan nasi,
melainkan senyumanku.
–
SEPEDA AYAH
Sepeda ayah selalu berderit setiap ayah menaikinya.
Aku protes, mengapa tidak diganti yang baru saja.
Ia berkata sambil tertawa,
“Biar kau tahu kapan aku masih ada.”
*****
Editor: Moch Aldy MA