Nyimbe menatap saya lama di depan pintu rumahnya, terpana, dan mulutnya menganga. Tongkat kayu eboni di tangannya jatuh tergeletak di lantai tanah. Mulutnya tergagap, “Ro-Ron-da.” Nyimbe menyebut nama saya. Suaranya seperti berbisik. Ada keraguan yang jelas di wajahnya.
“Iya, saya Ronda. Ronda Kapiyu,” kata saya ingin membuang seluruh keraguannya, dengan menyebut “Kapiyu” ejekan dari Nyimbe sewaktu kami kanak-kanak, karena saya mirip ayam hutan kapiyu, yang dalam bahasa kami artinya kecil.
Lantas Nyimbe menarik tubuh saya yang jauh lebih pendek ke dalam pelukannya. Bahu Nyimbe yang lebar, dan kekar lengannya nyaris membuat seluruh diri saya hilang dalam pelukan itu.
“Sudah dua puluh tahun, Ronda. Jauh sekali tanah rantau,” ucap Nyimbe dalam bahasa Nimbua.
Saya menimpalinya, “Salamku belum kamu jawab.” Saya tertawa kecil, dan masih berada dalam rangkulannya yang seolah ingin menyatu selamanya.
“Selamat pagi, Sodara. Apa kabarmu?” katanya sembari melepas pelukannya, lantas menepuk-nepuk kedua bahu saya dengan dua tangannya yang besar dan gelap dibakar matahari Tanah Nimbua.
Tatapan saya merayapi wajahnya yang keras. Tonjolan tulang pipi dan rahangnya, semakin kuat dari dua puluh tahun lalu. Batang hidungnya laksana pedang yang terhunus dari warangka. Rambutnya yang keriting liar kemerahan itu mekar bebas, masih sama seperti ketika kami remaja.
“Kamu kelihatan sejahtera sekali. Kulitmu bersih, bajumu harum, perutmu juga sudah bulat.” Ia terkekeh, sambil menepuk-nepuk ringan perut saya.
Saya tersenyum kecil.
Selepas tawanya, Nyimbe menyambung lagi, “Memang nasibmu bagus. Kamu jadi anak angkat Bapak Guru dan bisa sekolah tinggi. Oh, bukan begitu?” Ia menggeleng lalu melanjutkan, “itu karena kamu anak pandai. Bapak Guru tidak salah mengirim kamu sekolah jauh-jauh. Kalau dia masih hidup, sudah pasti bangga sekali sama kamu sekarang.”
Bapak Guru. Semua orang Nimbua memanggilnya begitu. Ia orang asing yang datang ke tempat kami untuk mengajarkan baca tulis. Bukan hanya itu, Bapak Guru juga menyebut dirinya anak Nimbua dan hidup seperti tata cara orang-orang Nimbua. Sudah lama sekali saya tidak bertemu dengannya, sejak ia menitipkan saya kepada salah seorang kenalannya di kota yang jauh.
Saya dan Nyimbe duduk melanjutkan cakap-cakap di teras rumah, di kursi rotan. Saya tahu kursi itu buatan Nyimbe sendiri. Ia memang menekuni pekerjaan tersebut sudah sejak remaja. Tampaknya ia memperhatikan mata saya yang terpesona dengan kursi rotan itu.
“Barangkali, itu jadi kursi rotan terakhir yang kubuat.” Ucapannya berubah lesu dan berat.
Saya tahu maksud Nyimbe. Tanah adat Nimbua sedang dalam masalah. Hutan To’u yang hijau karena gaharu, eboni, ulin, damar, dan rotan yang merambat liar itu sedang terancam. Termasuk rusa dan macam-macam burung yang juga berumah di sana.
“Kamu pulang untuk berjuang dengan kami, kan?” Mata Nyimbe bersinar, mencari kepastian di mata saya.
Kami bersipandang, tetapi saya tidak sanggup berlama-lama dengan matanya. Saya membuang pandangan pada hamparan kacang tanah dan jahe merah di pekarangan rumahnya yang luas, dan juga di bawah pagar kayu, kepada pohon nanas yang mekar berjejer-jejer, tampak ada buahnya yang sudah menguning.
Nyimbe mulai mengulang kembali cerita-cerita lampau sembari menyeruputi kopi jahe yang baru saja disajikan oleh Ndese, istrinya.
Ketika masih kanak-kanak, kami penjelajah hutan. Di To’u kami bermain dan mencari hidup. Sudah dari nenek moyang, berladang menjadi cara orang Nimbua hidup. Dari To’u kami memunguti getah damar, menebas rotan, dan mencari jalapari.
“Masih bisa lempar tombak?” Nyimbe meremas lengan saya. Ucapannya yang keras, yang saya pikir ia maksudkan untuk menggoda perawakan saya yang tidak sekekar dirinya, mengejutkan dua ekor burung gereja yang baru saja hinggap di teras rumahnya.
“Orang yang sekolah tidak lempar tombak, cuma pegang pena, betul, tidak?” Nyimbe berhenti sejenak untuk menyulut lintingan tembakaunya.
“Rusa-rusa sudah mulai hilang.” Pandangannya menerawang ke depan. Ada tekanan penyesalan dalam ucapannya.
Saya terdiam.
Setelah mengisap sekali rokoknya, Nyimbe berkata lagi. “Kamu ingat waktu tetua adat bilang ‘Ronda! Kamu sudah jadi laki-laki!’ Kamu gagah betul waktu itu.”
Ya, itu cerita sewaktu acara panen padi. Waktu itu kami masih sangat muda, masih tiga belas tahun. Kami dapat satu ekor rusa untuk perjamuan di balai desa. Saya memanggul susah payah rusa itu di pundak. Darahnya saya coreng di muka saya. Dengan bangga saya bawa rusa jantan itu ke hadapan tetua adat.
Seekor rusa yang tanduknya bercabang, perutnya menjadi sasaran lemparan tombak yang melesat dari tangan saya. Dan, tanduknya masih ada sampai sekarang, menjadi hiasan dinding rumah. Kepalanya dibuat dari kayu eboni yang hitam mengilap. Dua bola matanya dari batu kali yang warnanya merah darah.
Nyimbe-lah yang mengajari saya melempar tombak pertama kali. Dan memang, sudah menjadi tradisi di kampung kami, anak lelaki remaja dari sebuah keluarga, harus mempersembahkan satu ekor rusa di acara panen padi, sekali seumur hidupnya. Waktu itu, pujian dari tetua adat membuat bapak saya bangga.
Saya menarik napas setelah mengenang masa lalu. Sebentar lagi hutan To’u akan dibabat habis, tanah adat itu akan tamat riwayatnya. Cerita-cerita seperti ketika kami kecil, tidak akan terulang dalam hidup anak-anak Nimbua. Tetapi, Nimbua, mau tidak mau memang harus bergerak mengikuti laju zaman. Menggali dan memanfaatkan kekayaan yang dikandungnya untuk kepentingan orang banyak.
Nyimbe memijit-mijit kakinya yang pincang. “Kamu tahu saya sakit, lantas kamu datang ke sini?” katanya, di sela-sela suara cicada yang datang dari pohon-pohon gaharu di belakang rumahnya.
Saya menggeleng. “Ada yang lain, Nyimbe.”
“Sudah saya sangka! Pasti karena To’u. Orang yang sekolah seperti kamu mana mungkin tidak akan bicara dan menentang mereka. Kami semua orang kampung dan tetua adat, mengharapkan bantuanmu, Ronda. Kamu harus mempertahankan To’u.”
Saya tahu perihal kakinya yang pincang. Perihal itu sempat tersiar di berita televisi. Masyarakat adat Nimbua yang dipimpin Nyimbe bentrok dengan aparat dan pihak perusahaan tambang. Usai bentrok itu Nyimbe dan beberapa orang sempat ditahan karena dianggap mempengaruhi warga. Kaki Nyimbe terkena tembakan aparat yang menembus tulang keringnya, ketika ia dan orang-orang Nimbua mengamuk dengan tombak dan parang.
“Kaki saya ini tidak ada apa-apanya dibanding tanah adat kita. Tapi, Sekarang saya tidak begitu memikirkannya karena kamu pulang untuk berjuang bersama kami.” Nyimbe menatap saya tajam-tajam, yakin dengan ucapannya.
Saya diam mendengar ocehan Nyimbe tentang peristiwa hari itu. Katanya lagi, mereka menghalau buldoser dan ekskavator yang akan meratakan hutan To’u. Tetapi jumlah mereka kalah banyak. Pihak perusahaan sudah menyiapkan pasukan keamanan untuk membendung protes Nyimbe dan orang-orang Nimbua. Sementara pemerintah kabupaten tidak bisa menyelesaikan perselisihan dua belah pihak.
Bagi Nyimbe dan tetua adat, masalah itu tidaklah rumit. Menurut mereka hutan To’u adalah tanah adat milik orang-orang Nimbua, sejak dahulu kala, warisan leluhur, dan tidak ada yang boleh mengambilnya baik itu pemerintah atau orang-orang asing. Tetapi, apa yang dikatakan utusan pemerintah sangat sulit dipahami Nyimbe. Demikian pula dengan semua warga Nimbua, tidak kecuali tetua adat yang sudah sepuh. Yang mereka tahu saat itu, apabila mereka maju, barisan orang-orang berseragam telah siap menodongkan senjata.
Nyimbe menatap saya lagi, kali ini lebih dalam. “Kamu orang pintar, Ronda, punya sekolah. Bilang sama mereka, To’u milik Nimbua. Kita orang-orang Nimbua menghormati To’u, merawat To’u, dan hidup dari To’u. Jangankan To’u, hutan Uweno tempat kita menjaga sumber air tidak boleh sekali-kali mereka masuki.”
Saya mengangguk.
“Kenapa sedikit sekali bicaramu, Ronda? Kamu belum lupa bahasa Nimbua, kan?”
“Oh, tidak. Mana mungkin saya lupa,” kata saya buru-buru. “Nyimbe, nanti saya datang lagi. Ada yang ingin saya bicarakan, penting.”
“Kenapa tidak sekarang? Tentang To’u, kah? Kamu punya rencana melindungi To’u?” Sepanjang ia bertanya itu, Nyimbe mengerutkan keningnya.
Saya mengangguk lagi. “Tapi, nanti kali lain kita bicarakan.”
“Kalau untuk To’u, jangan kamu tunda-tunda. To’u bisa habis kapan saja. Sekarang sudah hampir separuh yang hilang. Kalau kamu tidak melakukan sesuatu, saya dan orang-orang Nimbua akan maju lagi. Kami tidak takut mati, Ronda!”
“Saya mengerti. Akan saya pikirkan caranya.” Wajah Nyimbe berangsur kendur setelah ucapan saya itu.
Saya meninggalkan rumah Nyimbe. Dari spion mobil, masih saya lihat ia tidak beranjak dari gerbang pagar rumahnya. Matanya tidak beranjak dari mobil yang saya kendarai, tangannya masih melambai, dan senyumnya masih menetap di bibirnya.
Saya melirik tas hitam di jok belakang, mestinya isi dari tas itu saya berikan kepada Nyimbe hari ini. Tetapi saya urungkan. Sejujurnya perasaan saya goyah ketika berhadapan dengannya.
Jikalau Nyimbe tahu saya adalah bagian dari perusahaan tambang emas yang akan menggundulkan To’u, apa yang akan dikatakannya? Apabila Nyimbe tahu, sayalah yang menjamin dirinya untuk dilepaskan dari tahanan, apa yang akan ia katakan? Dan andai kata Nyimbe tahu, kedatangan saya ke rumahnya pagi ini untuk mencari jalan damai mengenai pembebasan tanah adat yang sudah disetujui pemerintah, pasti ia akan marah besar.
Dan andai ia tahu, bahwa kedatangan saya beserta sebuah tas hitam berisi penuh uang untuk menyumbat mulutnya dan mulut tetua adat dari protes, apa yang akan ia lakukan pada diri saya? Nyimbe, Bapak Guru, maafkan saya.
***
Editor: Ghufroni An’ars