Kriminalisasi rambut gondrong terjadi di zaman pasca revolusi kemerdekaan. Kriminalisasi terhadap orang-orang berambut gondrong juga pernah dilakukan oleh Belanda selama periode revolusi pada tahun 1945–1949. Di tengah suasana revolusi, muncul berbagai pejuang Indonesia yang berpenampilan nyentrik, seperti berambut panjang, berpakaian militer, dan menenteng pistol.
Subyektivitas Belanda menilai pasukan revolusioner di Indonesia sebagai kaum kriminal yang membahayakan. Maka dari itu, penampilan dengan rambut yang gondrong dianggap oleh Belanda sebagai musuh, bahkan juga diduga sebagai teroris dan ekstremis yang siap memberontak.
Ali Sastroamijoyo sendiri menggambarkan pemuda yang berambut gondrong dengan gaya yang urakan di Yogyakarta pada awal 1946 sebagai kekuatan revolusi bangsa. Kendati begitu, Soekarno pernah dibuat jengkel dengan gaya rambut gondrong, terutama masa-masa puncak perjuangan melawan kebudayaan imperialis. Rambut gondrong di anggap sebagai lifestyle pemuda-pemuda barat, maka Soekarno pun pernah memberi cap mereka sebagai “kontra-revolusioner”.
Baca juga:
Para pimpinan universitas di sejumlah perguruan tinggi sudah menyarankan mahasiswanya untuk tidak gondrong. Jika tetap memilih memanjangkan rambut, mereka dipersilahkan pindah ke kampus lain yang menerima budaya tersebut. Karena lambat laun gerakan anti-gondrong ini semakin dipukul rata. Para seniman pun kena imbasnya, sebut saja Sophan Sophiaan, Broery Marantika, Trio Bimbo, W.S. Rendra, Umar Kayam, Affandi, Achmad Albar, Remy Sylado, dan lain sebagainya.
Rambut Gondrong di Era Orde Baru
Pelarangan rambut gondrong bagi kaum adam pernah ditayangkan di TVRI pada tanggal 1 Oktober 1973. Hal itu disampaikan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dalam sebuah acara televisi berjudul “Bincang-bincang di TVRI”. Soemitro menyebutkan bahwa fenomena rambut gondrong pada pemuda dapat menimbulkan situasi acuh tak acuh yang berpotensi memancing dan meningkatnya angka kriminalitas di Indonesia.
Kawan-kawan pasti pernah kena razia rambut disekolah yang membuat heboh dan panik seketika. Tapi ternyata razia rambut gondrong sudah ada dari zaman Orde Baru dan pertama kali diadakan pada tanggal 8 Desember 1966 di depan stasiun KA Tanah Abang Jakarta. Tidak seperti razia pada umumnya yang memeriksa surat-surat kendaraan bermotor, razia ini merapihkan rambut anak-anak muda yang bergaya layaknya grup band The Beatles.
Sejarah rambut gondrong mencatat, tak hanya di ibu kota, razia juga berlangsung hingga ke kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Yogyakarta, Medan, dan Surabaya. Di Sumatra Utara para pemuda yang berambut gondrong diperlakukan layaknya penyakit yang berbahaya.
Baca juga:
Gubernur Sumatera Utara kala itu, Marah Halim membentuk sebuah badan khusus yang bertugas memberantas rambut gondrong. Badan tersebut diberi nama “Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong” (Bakorperagon). Disebutkan badan tersebut diketuai oleh kepala Direktorat Khusus Kantor Gubernur Sumatera Utara dan beranggotakan pejabat-pejabat daerah tingkat I, ditambah elemen lain seperti Pramuka propinsi Sumatra Utara dengan wakil kwartir daerahnya. Sejarah rambut gondrong di Indonesia mencatat substansi paling utama dari badan tersebut, yakni membasmi tata cara pemeliharaan rambut yang tidak sesuai dengan kepribadian dan kebudayaan Indonesia.
Adapun di Bandung, sejak akhir Desember 1966, Kesatuan-kesatuan ABRI dilibatkan dalam satuan tugas dalam melakukan penertiban terhadap gaya-gaya The Beatles yang notabene populer kala itu. Terdapat sekitar 150 remaja terjaring operasi, remaja-remaja tersebut kebanyakan berasal dari status sosial menengah ke atas. Menurut petugas, razia saat itu merupakan operasi paling efektif dibandingkan dengan operasi-operasi sebelumnya. Para remaja yang kedapatan berambut gondrong atau bahkan memakai pakaian yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa akan mendapatkan tindakan potong di tempat, dalam hal ini rambut maupun pakaiannya.
Begitulah sejarah rambut gondrong yang pernah dilarang pada era pemerintah Orde Baru yang mungkin jarang diketahui publik. Jika diperhatikan tujuan mereka di atas maka timbul pertanyaan, seperti apa model rambut yang mencerminkan kepribadian atau kebudayaan negara ini? Tentu saya juga tidak tahu. Bagi saya statemen tersebut hanya bagian dari propaganda yang tidak ada substansinya. Sebegitu mengganggunya keindahan mahkota dan kepercayaan diri laki-laki di zaman itu, bahkan dianggap kriminalitas.
Reaksi Mahasiswa
Mahasiswa yang semakin jengkel dengan sikap Soeharto dalam memberantas korupsi, rambut gondrong dijadikan sebagai salah satu bentuk gerakan perlawanan. Saat pemerintah melakukan razia anti-gondrong, berbagai elemen gerakan mahasiswa di Bandung menggelar razia anti-orang gendut, bentuk ekspresi atas kekecewaan terhadap banyaknya pejabat negara yang korupsi.
Salah satu peristiwa yang memantik perlawanan terbuka mahasiswa dengan militer adalah terbunuhnya mahasiswa elektro di ITB bernama Rene Louis Conrad, ia dibunuh secara mengenaskan akibat dikeroyok oleh taruna Akpol. Sesaat sebelum pengeroyokan, mahasiswa ITB melakukan pertandingan persahabatan dengan taruna Akpol. Namun karena terjadi saling ejek, pertandingan tersebut berakhir dengan tawuran massal. Mahasiswa dan pelajar se-Bandung mengutuk peristiwa terbunuhnya Rene. Sebagai bentuk solidaritas terhadap Rene dan mahasiswa ITB, sebanyak 50.000 orang berpartisipasi dalam demonstrasi mengutuk kejadian tragis itu.
Rambut gondrong memang sangat dipengaruhi oleh gerakan hippies dan perkembangan musik Rock kala itu, namun tak bisa dilupakan pula melihat faktor ekonomi dan korupsi sangat berpengaruh besar dalam memicu gejolak gerakan mahasiswa saat itu. Dapat dikatakan bahwa pilihan rambut gondrong menandai perpisahan antara gerakan mahasiswa dengan militer dan Orde Baru. Hingga pada akhirnya gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil menurunkan Soeharto dari jabatan kepresidenannya, aktivis mahasiswa banyak sekali yang berambut gondrong.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa mahasiswa yang berada dalam gerakan dan menjadi aktivis harus berambut gondrong. Kalau melihat dari gambaran historis di atas, rambut gondrong telah menjadi gaya yang dimusuhi penguasa dan dikaitkan dengan subversivitas dan pemberontakan. Tak heran, sebagian aktivis mahasiswa memilih berambut gondrong sebagai pilihan untuk menunjukkan perlawanan dan kritik. (*)
Editor: Kukuh Basuki