Indonesia tengah mempertimbangkan langkah strategis untuk bergabung ke dalam blok ekonomi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Pilihan ini tidak hanya mengarahkan Indonesia pada kemitraan ekonomi baru, melainkan juga membuka peluang dan risiko di tengah perubahan geopolitik dunia. Sebagai negara dengan ambisi untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi global pada 2045, keanggotaan Indonesia di BRICS dapat menjadi dorongan besar bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus ketahanan diplomatiknya. Namun, keputusan ini memerlukan pertimbangan mendalam, mengingat implikasinya bagi ekonomi domestik serta posisi diplomasi Indonesia di kancah internasional.
BRICS kini telah berkembang dari sekadar koalisi ekonomi menjadi kelompok dengan pengaruh geopolitik yang signifikan. Populasi gabungannya mencapai hampir 40% dari total populasi dunia, dengan produk domestik bruto (PDB) yang mendekati 30% dari ekonomi global. BRICS tidak hanya menawarkan peluang ekonomi, namun juga berupaya menciptakan kontestasi politik global yang lebih multipolar. Indonesia, sebagai negara berkembang terbesar di Asia Tenggara, memiliki potensi strategis untuk berkontribusi dan mendapatkan manfaat dari aliansi ini. Maka, pertanyaannya adalah, apakah BRICS benar-benar dapat menjadi batu loncatan bagi Indonesia atau malah membawa beban tambahan bagi perekonomian kita?
Potensi Ekonomi: Akses Pasar Besar dan Diversifikasi Pendanaan
Daya tarik utama BRICS bagi Indonesia terletak pada akses ke pasar dan sumber daya ekonomi yang luas. Negara-negara anggota BRICS merupakan pasar raksasa yang menjanjikan peluang besar bagi produk ekspor Indonesia. Melalui perjanjian perdagangan yang lebih luas, sektor-sektor unggulan Indonesia, seperti agribisnis, perikanan, dan pariwisata, dapat meraih akses yang lebih mudah ke pasar-pasar BRICS.
Baca juga:
Selain itu, BRICS memiliki New Development Bank (NDB), yang berfungsi sebagai alternatif terhadap lembaga-lembaga keuangan internasional tradisional seperti IMF dan Bank Dunia. Keanggotaan Indonesia di BRICS membuka peluang untuk pendanaan yang lebih terjangkau guna membiayai proyek infrastruktur serta pembangunan berkelanjutan, termasuk energi hijau yang menjadi salah satu prioritas Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim.
Pemanfaatan potensi ini memerlukan strategi yang tepat. Indonesia harus mampu memanfaatkan keunikan sektor-sektor ekonominya yang tidak sepenuhnya dimiliki anggota BRICS lainnya. Misalnya, sektor perkebunan tropis, energi terbarukan, dan pariwisata bisa menjadi keunggulan kompetitif yang menarik minat investasi serta memperkuat ekspor. Melalui kerja sama ekonomi di BRICS, Indonesia berpotensi memperkuat posisinya dalam negosiasi perdagangan global, mendorong ekspor, sekaligus mengurangi ketergantungan pada negara-negara Barat yang selama ini mendominasi mitra dagang utama Indonesia.
Meski demikian, Indonesia perlu memperhitungkan kemungkinan peningkatan persaingan dengan negara-negara BRICS lainnya, terutama Tiongkok dan India yang unggul di sektor manufaktur dan teknologi. Jika tidak hati-hati, potensi BRICS malah bisa menjadi tantangan dalam mempertahankan posisi produk-produk lokal di tengah banjirnya produk impor murah dari negara-negara tersebut. Dengan kata lain, manfaat ekonomi dari BRICS harus dibarengi dengan regulasi yang mendukung daya saing produk lokal dan pengembangan sumber daya manusia yang mampu bersaing di pasar global.
Tantangan Diplomasi dan dampak bagi Ekonomi Lokal
Di luar manfaat ekonomi, keputusan untuk bergabung dengan BRICS akan berdampak pada diplomasi Indonesia. Selama ini, Indonesia memainkan peran netral dalam hubungan internasional, menjaga keseimbangan antara negara-negara Barat dan Timur melalui implementasi politik bebas aktif. ‘Bebas’ dapat dimaknai sebagai bebas dari intervensi pihak eksternal dalam merumuskan kebijakan luar negerinya. Sementara itu, ‘aktif’ mencerminkan partisipasi Indonesia untuk mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam lanskap politik internasional.
Bergabung dengan BRICS, yang sering dipandang sebagai oposisi dari pengaruh negara-negara Barat, dapat mendorong Indonesia untuk mengambil posisi lebih tegas di panggung internasional. Langkah ini berpotensi memengaruhi hubungan diplomatik serta aliran investasi dari negara-negara Barat yang mungkin kurang mendukung pilihan tersebut.
Di sisi lain, kesiapan sektor-sektor ekonomi domestik juga perlu diperhatikan. Meskipun BRICS menawarkan potensi pasar besar dan peluang investasi, persaingan dengan produk-produk murah dari Tiongkok dan India tetap menjadi tantangan yang tidak dapat diabaikan. Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi domestik Indonesia bisa terdampak oleh arus impor yang lebih besar, terutama jika Indonesia tidak menyiapkan kebijakan perlindungan yang efektif. Pemerintah perlu merancang strategi yang tidak hanya mengundang investasi dan membuka pasar, melainkan juga melindungi sektor-sektor yang rentan serta mengembangkan regulasi yang mendorong daya saing industri dalam negeri.
Baca juga:
Indonesia harus mampu memperkuat posisinya dalam aliansi BRICS tanpa kehilangan independensi diplomasi. Di tengah ketegangan geopolitik antara negara-negara besar, Indonesia perlu memainkan perannya sebagai penyeimbang yang tidak hanya mengutamakan kepentingan ekonomi, namun juga menjaga hubungan baik dengan semua pihak. Sebagai anggota BRICS, Indonesia dapat memperjuangkan reformasi institusi-institusi global dan mempromosikan kepentingan negara-negara berkembang, sekaligus menjaga diri agar tidak terjebak dalam polarisasi persaingan yang merugikan.
BRICS bukan sekadar kesempatan bagi Indonesia untuk memperluas akses pasar dan pendanaan, namun juga untuk memperkuat posisi diplomatiknya sebagai negara yang mandiri dan berdaulat dalam pengambilan keputusan global. Kesuksesan keputusan ini sangat bergantung pada persiapan kebijakan yang matang serta strategi komprehensif dalam menyikapi peluang dan tantangan dari BRICS. Tanpa persiapan yang baik, BRICS bisa menjadi sekadar label tanpa dampak nyata bagi ekonomi domestik, bahkan berpotensi membawa dampak yang tidak diinginkan bagi keseimbangan diplomasi serta ketahanan ekonomi Indonesia di masa mendatang.
Pada akhirnya, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS harus didasarkan pada kepentingan nasional yang matang dan berorientasi jangka panjang. BRICS bukan sekadar jalan pintas menuju kekuatan ekonomi, melainkan sebuah langkah strategis penuh peluang dan risiko. Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia bisa memanfaatkan keanggotaan ini untuk memperkuat posisinya di panggung global, mengembangkan ekonomi lokal yang lebih kompetitif, serta mengurangi ketergantungan pada pengaruh ekonomi negara-negara Barat.
Namun, tanpa kesiapan dan strategi yang konkret, keputusan ini bisa menjadi beban tambahan yang justru menghambat perkembangan ekonomi dan kestabilan politik Indonesia. Memasuki BRICS adalah pilihan yang penuh tantangan. Namun, jika dieksekusi dengan langkah yang tepat, ini bisa menjadi pilar penting dalam perjalanan Indonesia menuju masa depan ekonomi yang lebih mandiri dan berkelanjutan.
Editor: Prihandini N