Ibu dari anak autistik, pengajar di STKIP Kusuma Negara, sesekali menulis puisi atau cerpen

Orangtua, Rumah Inklusif Pertama bagi Anak dengan Autistik

Arida Erwianti

3 min read

Meskipun Hari Peduli Autisme Dunia (World Autism Awareness Day) diperingati setiap tahun untuk mendorong kesadaran masyarakat dunia tentang autisme, kebijakan dan peran negara belum sepenuhnya terlihat dan berpihak, khususnya dalam layanan pendidikan inklusi dan sistem kesehatan. Layanan tersebut belum memadai dan merata, padahal orangtua yang memiliki anak dengan autistik menaruh harapan besar pada peran negara.

Dalam layanan pendidikan, pemerintah memang telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif, yang mewajibkan sekolah untuk menerima anak berkebutuhan khusus termasuk autisme.

Namun, kebijakan ini tidak dibarengi dengan pelatihan berkala bagi guru-guru yang akan mendampingi anak dengan autisme, serta masih terbatasnya infrastruktur pendidikan pendukung. Sistem pendidikan inklusi yang lebih siap justru ada di sekolah-sekolah swasta, sehingga orangtua terutama yang lebih mampu akan memilih menyekolahkan anak autistiknya di sekolah swasta yang ternyata juga memiliki kouta murid terbatas dan jelas tidak murah.

Baca juga:

Dalam layanan kesehatan, pusat-pusat terapi masih berada di kota-kota dan belum menjangkau hingga ke daerah pelosok. Belum lagi layanan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang membatasi durasi terapi dan juga pelaksanaan jenis terapi yang hanya bisa dilakukan satu jenis dalam sehari. Padahal, kebutuhan terapi anak autistik bisa lebih dari itu.

Kemudian dalam diagnosis autisme, beberapa orangtua masih bingung soal siapa yang seharusnya mendiagnosis, apakah dokter spesialis anak, dokter rehabilitasi medik, psikolog, ataukah psikiater. Sistem layanan kesehatan dan intervensi belum sepenuhnya terpadu dan saling berkoordinasi antara pihak-pihak yang disebutkan di atas, termasuk berkoordinasi dengan terapis secara berkala dalam membuat laporan evaluasi.

Berjalan Sendiri

Belum memadainya layanan kesehatan dan pendidikan menjadi tantangan tersendiri bagi orangtua dengan anak autistik. Tak berhenti di situ, kondisi keseharian tak kalah peliknya saat anak dengan autistik berperilaku khas seperti mengepakkan tangan, bersenandung, atau berceloteh dalam durasi yang panjang sehingga kerap dianggap aneh dan rentan menghadapi stigma di masyarakat.

Anak autistik mengalami gangguan saraf otak (neurologis) yang berpengaruh pada perkembangan bahasa, perilaku dan sosial. Meski demikian, antara satu anak autistik dan yang lainnya tidak ada yang sama persis. Autisme juga memiliki limitasi dalam berkomunikasi sehingga mereka kerap merasa frustasi untuk mengungkapkan keinginannya.

Anak autistik juga ada yang sensitif terhadap input sensori, baik secara visual, audio ataupun sentuhan sehingga membuat mereka merasa kewalahan dan berujung menangis, berteriak, hingga tantrum. Kondisi ini membuat orang-orang terdekat bahkan orantuanya sendiri menjadi kewalahan bahkan putus asa.

Tahun lalu, seorang ayah di Surabaya Jawa Timur menganiaya anak autisnya yang berumur 11 tahun hingga meninggal. Kekerasan ini bahkan terjadi saat anak tersebut masih berusia 3 tahun. Menurut ibu korban, anaknya yang menyandang autisme memang kerap menangis dan tantrum.

Di Palembang, Sumatera Selatan, ada orangtua yang juga menganiaya anak autisnya hingga meninggal pula. Anaknya yang belum bisa buang air besar dengan benar di usia 12 tahun dan sulit diatur menjadi pemicu kekesalan orangtua ini.

Rentetan peristiwa memilukan ini mestinya menjadi alarm bagi pemerintah untuk menguatkan komitmen memberikan layanan inklusif bagi penyandang autisme dan membangun ekosistem yang mendukung bagi penyandang autisme, orangtua, atau yang mendampingi penyandang autisme (caregiver).

Akan tetapi, hingga saat ini saja pemerintah belum mempunyai data pasti jumlah anak dengan autisme, sehingga masih sulit untuk mengidentifkasi masalah dan melakukan pemetaan dalam penanganan. Kondisi layanan yang belum memadai, baik di sektor kesehatan dan pendidikan membuat orangtua serasa berjalan sendiri untuk mengupayakan penanganan dan intervensi bagi anak autistiknya. Bahkan pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 2025 tentang efisiensi memotong anggaran Komisi Nasional Disabilitas yang berperan dalam advokasi disabilitas dan inklusivitas.

Resilensi Orangtua

Autisme adalah kondisi yang kompleks, bahkan penyebabnya belum diketahui secara pasti hingga saat ini. Selain layanan yang belum memadai, anak dengan autisme kerap menghadapi diskriminasi di lingkungan sosial, kesehatan bahkan pendidikan.

Baca juga:

Terdapat kasus kekerasan verbal pada anak autistik di sekolah, penganiayaan oleh terapis di klinik tumbuh kembang dan di lingkungan sosial. Anak autistik sering dianggap sebagai bentuk kecacatan atau karma karena perbuatan orangtuanya. Kondisi tersebut membuat perjalanan orangtua dengan anak autisme menjadi tidak mudah.

Layanan kesehatan kita juga belum memadai seperti negara lain. Mari menengok Swiss yang memberikan layanan pendidikan hingga terapi dasar yang gratis. Swiss juga menyediakan layanan untuk dapat merawat anak autistik dalam rentang waktu tertentu sehingga orangtua dapat beristirahat sejenak.

Tempat penitipan anak (daycare) yang mampu menangani anak autistik juga belum memadai seperti yang ada di Australia, yang menyediakan tempat penitipan anak yang memenuhi standar layanan yang inklusif, sehingga orangtua tetap dapat bekerja.

Kita masih menunggu dan mendorong komitmen pemerintah dalam penyediaan layanan yang inklusif. Namun di sisi lain, anak yang menyandang autisme tak bisa menunggu hingga pemerintah betul-betul mampu dan siap.

Untuk itu, sembari menunggu pemerintah, orangtua harus terus berupaya dan mengusahakan pendampingan terbaik yang bisa dilakukan. Orangtua harus menguatkan literasi tentang autisme dan inklusivitas. Telah banyak seminar yang dilakukan oleh berbagai pemerhati autisme.

Terdapat pula artikel dan buku-buku yang bisa diakses secara gratis maupun berbayar. Orangtua perlu terlibat dalam komunitas-komunitas sesama orangtua dengan anak autisme, sehingga dapat berbagi info tentang pusat terapi atau sekolah inklusi. Orangtua juga bisa saling menguatkan satu sama lain.

Orangtua tentulah tak sempurna, namun anak autistik butuh orangtua yang dapat menerapkan pola pengasuhan yang penuh kesadaran dan inklusif, yang tidak melihat anak autistik semata-mata sebagai sesuatu yang harus diperbaiki, tetapi juga diterima kondisinya. Peran negara dan kondisi lingkungan sosial tentu belum ideal sesuai dengan harapan, untuk itu orangtua perlu mengambil peran dan menjadi “rumah inklusi pertama” bagi anak autistiknya.

 

 

Editor: Prihandini N

Arida Erwianti
Arida Erwianti Ibu dari anak autistik, pengajar di STKIP Kusuma Negara, sesekali menulis puisi atau cerpen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email