Mahasiswa Jurnalistik Univeritas Mataram

Pekerja Media dalam Bayang-Bayang Eksploitasi

I Gede Sutrawan

2 min read

Industri media pada era kontemporer berkembang sangat pesat. Hal tersebut terbukti dengan hadirnya berbagai produk media cetak, elektronik, maupun digital. Kehadiran produk media itu berperan penting dalam menyediakan informasi dan membentuk opini publik. Namun, di balik peranannya yang sangat vital, industri media menghadapi banyak tantangan terutama terkait ekonomi dan sistem kerja yang sering kali bersifat eksploitatif terhadap pekerjanya.

Berdasarkan hasil riset AJI (Aliansi Jurnalis Independen) pada Februari-April 2023 menemukan hampir 50 persen upah jurnalis masih di bawah upah minimun. Riset yang melibatkan 428 jurnalis dari berbagai daerah, juga menemukan akal-akalan perusahaan media dalam melakukan perjanjian kerja. Sebanyak 52,6 persen jurnalis memiliki hubungan kerja kontrak dan 11,2 persen perjanjian kerja tetap. Namun dalam praktiknya, jurnalis dengan status kerja tetap tidak mendapatkan upah bulanan. Tetapi mendapatkan berdasarkan jumlah berita yang diterbitkan. Hal tersebut menunjukan terjadinya persamaan hak dengan jurnalis kontrak dalam mendapatkan upah atau gaji.

Baca juga:

Selain itu, hasil temuaan AJI menemukan bahwa penghormatan terhadap hak perempuan masih sangat rendah. Hanya sebanyak 11,2 persen perempuan yang mendapatkan hak untuk cuti dengan upah dibayarkan ketika haid hari pertama dan kedua.

Sementara temuaan lain juga menegaskan tentang karakter fleksibilitas para pekerja media yang membuatnya rentan dieksploitasi (SINDIKASI, 2021). Seseorang pekerja media dapat mengerjakan pekerjaanya di manapun dan kapanpun tetapi sebenarnya yang dialami adalah jam kerja panjang. Selain itu, upah dan hak mendasar juga terkesan fleksibel.

Dalam konteks tenaga kerja, eksploitasi dapat diartikan ketika perusahaan tidak memberikan imbalan yang setara dengan beban kerja. Pada era sekarang, eksploitasi adalah masalah umum yang sering terjadi dalam sebuah perusahaan. Hal ini mencerminkan upaya yang dilakukan oleh pemilik perusahaan untuk terus meningkatkan hasil produksi dan keuntungan mereka. Menurut Miller (Aprilie & Eddyono, 2024) eksolitasi seringkali berdampak serius pada kesehatan pekerja, seperti kasus kematian Brand Strategist Divisi Hubungan Masyarakat di perusahaan Ogilvy’s Filipina, Mark David yang diduga terkena pneumonia akibat bekerja dengan waktu yang panjang.

Sementara di Indonesia, menurut Prawira (Aprilie & Eddyono, 2024) terdapat juga kasus kematian Mita Diran, seseorang yang bekerja di bidang periklanan sebagai copywriter yang meninggal akibat lembur selama 30 jam tanpa berhenti.

Kedua kasus kematian di atas, dapat menggambarkan dampak serius dari tekanan dalam pekerjaan. Selain memberikan dampak bagi pekerja media itu sendiri, eksploitasi juga mempengaruhi kualitas hasil kerja. Jam kerja yang berlebihan berdampak pada tingkat produktivitas otak dalam berpikir sehingga dapat mengakibatkan stres karena kurangnya waktu istirahat dan menyebabkan penurunan kualitas pekerjaan. Upah yang minim atau dibayar secara fleksibel dapat membuat pekerja media kurang memberikan kontribusi maksimalnya. Upah minim inilah bisa menjadi dampak yang paling serius bagi pekerja media ditengah tuntutan ekonomi dan kebutuhan sehari-hari.

Di balik permasalahan tersebut, tampaknya pemerintah belum berani untuk mengambil sikap terhadap kesejahteraan para buruh atau pekerja media. Berdasarkan riset yang dikutip dari The Conversation menemukan bahwa sejak disahkan oleh DPR RI dan pemerintah pada 5 Oktober 2020,  Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Omnibus Law) telah menimbulkan polemik besar di masyarakat. Nyatanya UU tersebut, hanya menguntungkan para pemodal. Kelompok pekerja menilai UU Cipta Kerja masih memuat aturan yang tidak berpihak kepada mereka seperti sistem pengupahan, penurunan nilai pesangon, pengurangan istirahat mingguan, tidak diaturnya persoalan cuti panjang, hingga tidak adanya batas waktu yang jelas terkait perjanjian kerja waktu tertentu (Indonesia, Hartanto, Khoiriya, Anugrah, & Khoirunnisa, 2024).

Baca juga:

Berbagai permasalahan yang muncul dan juga acuhnya pemerintah terhadap kesejahteraan para pekerja media, menjadi cerminan dari adanya perbudakan modern yang kini semakin terbuka dipertontonkan oleh berbagai perusahaan media. Tuntutan akan konten yang menarik dan munculnya berbagai perusahaan media mendorong terjadinya persaingan. Sehingga hal tersebut berpengaruh pada tingkat jam kerja.

Tingginya jumlah persaingan dalam dunia kerja juga berdampak pada menurunya gaji yang diterima para pekerja media. Ini diperparah lagi dengan pengaruh adanya freelance atau pekerja lepas. Kehadiran freelance membuat berbagai perusahaan media memilih untuk mempekerjakannya dengan gaji yang lebih rendah karena tidak perlu memberikan tunjangan dan benefit lainnya. Hal-hal tersebut adalah bukti akan kompleksitasnya permasalahan dalam dunia kerja media di Indonesia saat ini.

Untuk itu, pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus berupaya untuk mencegah berbagai bentuk ekspolitasi dalam dunia pekerja media. Penguatan dan evaluasi terhadap UU Cipta Kerja harus dilakukan demi meningkatnya kesejahteraan dan melindungi para pekerja media dari tindakan ekspolitasi.

Sementara perusahaan media juga harus membuat sistem kerja yang baik dan menghormati hak-hak pekerjanya, menyediakan lingkungan perusahaan yang sehat dan aman, meningkatkan komunikasi dan transparansi yang baik dengan para pekerja, memastikan dalam proses rekrutmen dilakukan secara tepat tanpa adanya unsur diskriminatif, serta perusahaan media juga harus memfasilitasi terbentuknya serikat pekerja untuk memastikan hak-hak pekerjanya dapat terlindungi. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

I Gede Sutrawan
I Gede Sutrawan Mahasiswa Jurnalistik Univeritas Mataram

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email