Apa yang dianggap sebagai solusi dari permasalahan lingkungan nyatanya tidak demikian. Kendaraan listrik selama ini juga menghadirkan kontradiksi baru dalam mempertahankan praktik eksploitasi terhadap alam, hanya saja narasinya dibuat seakan penyelamat dari krisis lingkungan.
Ada inovasi terbaru di abad ini yang digadang-gadang sebagai proyek global dalam mengatasi kiamat ekologis. Inovasi ini adalah kendaraan listrik, jenis moda transportasi yang tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber penggeraknya melainkan menggunakan baterai baterai Lithium ion (LIB). Namun, klaim tersebut menyesatkan dan keliru sebab merupakan akal-akalan penguasa sebagai pembenaran tindakan eksploitasi lingkungan. Begitu juga korporasi yang memanfaatkan ini untuk mendominasi pangsa pasar melalui penerapan paham kapitalisme hijau.
Alih-alih menyelamatkan bumi dari krisis iklim, aktualisasi dari paham ini malah memperburuk kondisi bumi. Narasi keberlanjutan lingkungan hanya dipakai sebagai pemanis untuk memuluskan pengerukan sumber daya alam.
Banyak masyarakat terpedaya dan turut melanggengkan rantai kapitalisme hijau ini. Mereka seakan diajak ikut berkontribusi dalam menyelamatkan lingkungan sekitar melalui upaya peralihan ke inovasi ‘hijau’. Tanggung jawab tentang menjaga lingkungan hidup dialihkan kepada tiap-tiap individu, pemerintah seakan lepas tangan dan tetap berusaha mengeruk alam yang ditutup dengan alasan kepentingan nasional.
Awal Mula Kapitalisme Hijau
Titik awal munculnya paham kapitalisme hijau adalah digaungkannya gerakan konservasi lingkungan pada awal abad ke-20 dan adanya laporan The Limits to Growth pada 1972 yang menjelaskan jika tren pertumbuhan ekonomi tradisional terus berlanjut, dunia akan menghadapi batas-batas ekologi yang tidak dapat dilampaui sehingga dapat menyebabkan keruntuhan ekonomi dan lingkungan.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu ketahui sedikit apa yang dimaksud dengan sistem kapitalisme hijau ini. Kapitalisme hijau merupakan sistem ekonomi yang menggabungkan prinsip pasar bebas dengan keberlanjutan lingkungan. Paham ini memandang bahwa keberlanjutan lingkungan dan sistem kapitalisme bisa berjalan beriringan.
Baca juga:
Ide ini kemudian dicanangkan sebagai topik rapat dewan pemerintahan di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hasil akhir rapat tersebut kemudian memunculkan kampanye-kampanye keberlanjutan energi yang mulai digencarkan. Ada yang menyambut meriah karena menganggap ini adalah solusi dari permasalahan polusi udara dan krisis iklim, tetapi tidak sedikit juga yang menolak ide ini.
Beberapa yang menolak beranggapan bahwa penguasa tak betul-betul peduli dengan lingkungan. Mereka menganggap penguasa cuma mau mengomodifikasi krisis iklim agar mendapat keuntungan sepihak. Itu mengapa ada banyak tanggapan kritis yang seakan menggambarkan peralihan era menuju keberlanjutan lingkungan merupakan petaka.
Mengapa ini Berbahaya?
Kapitalisme hijau berbahaya dan dapat membawa petaka bagi lingkungan karena penguasa kerap kali menggunakan narasi-narasi semacam ‘inovasi hijau’, ‘transisi energi’, ‘hilirisasi’ untuk melegitimasi tindakan mereka dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Melalui hal tersebut, tidak sedikit masyarakat yang tertipu akan muslihat itu.
Bayangkan saja selama ini kita disuguhi citra penguasa yang seakan peduli terhadap lingkungan, tetapi di balik itu mereka diam-diam mengeruk hasil bumi untuk kepentingan sendiri, dan meraup untung dari itu.
Korporasi juga tidak jauh berbeda. Melalui agenda Corporate Social Responsibility, Korporasi berlagak seperti badan usaha yang peduli akan lingkungan dan masyarakat. Padahal niat sebenarnya adalah memperluas pangsa pasar.
Kita sudah sering disuguhi dengan ‘produk ramah lingkungan’ yang kerap digembar-gemborkan oleh mereka. Dan sialnya kita percaya akan branding tersebut, kendati branding tersebut digunakan semata-mata untuk mempertahankan profitabilitas Korporasi.
Timbul Kontradiksi Baru
Penerapan dari sistem kapitalisme hijau ini ternyata membuka ruang kontradiksi baru. Profesor sosiologi dari University of Huddersfield, Nick J. Fox, dalam tulisannya berjudul ‘Green capitalism, climate change and the technological fix: A more than human assessment’ menerangkan bahwa inovasi yang muncul dari penerapan kapitalisme hijau adalah ketergantungan terhadap baterai Lithium ion (LIB).
Baca juga:
Usia dari baterai LIB yang singkat yakni antara 8 hingga 10 tahun memunculkan risiko apabila tidak didaur ulang dengan tepat. Namun, sayangnya di sini adalah teknologi daur ulang baterai masih belum efektif karena hanya bisa memulihkan tidak lebih dari lima puluh persen sel baterai.
Inilah yang membuat pengerukan secara berlebihan terhadap sumber daya alam untuk memproduksi baterai kembali tidak akan terelakan. Selaras dengan pernyataan itu, Smith dalam Green Capitalism: The God that Failed berpendapat bahwa prinsip ekonomi tidak seharusnya berjalan beriringan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan, karena pada akhirnya kapitalisme selalu mengejar keuntungan sepihak bagi pemilik modal.
Pada akhirnya penerapan dari sistem kapitalisme hijau tidaklah benar-benar bermanfaat baik bagi lingkungan. Alih-alih sebagai solusi dalam mengatasi kiamat ekologis, sistem ini justru memperburuk kondisi alam dan memperkuat legitimasi penguasa atau korporasi untuk terus mengeruk alam dengan legal atas dalih keberlanjutan lingkungan, transisi energi bersih, dan lain sebagainya.
Editor: Prihandini N