Menjadi neurodivergent di Indonesia rasanya begitu berat. Sementara banyak negara luar sudah memiliki kesadaran dan usaha untuk memahami, mengakomodasi, atau minimal diskusi mendalam tentang neurodiversity, masyarakat kita masih belum memilikinya. Paling tidak, media luar tidak lagi menampilkan orang-orang neurodivergent dan mereka yang berada dalam spektrum autisme sebagai dua stereotipe ekstrem yang berbeda: si “dungu” yang tak bisa berbuat apa-apa atau si “jenius” yang tenggelam dalam dunianya sendiri. Bahwa ada orang-orang neurodivergent yang perilakunya masih mirip dengan orang-orang neurotypical atau orang awam. Sementara di Indonesia, budaya masyarakat yang kolektif membuat orang-orang neurodivergent—notabene kondisi yang membuat pengidapnya cenderung menghindari kerumunan dan perkumpulan sosial—menjadi terasingkan.
Dari Diskriminasi, Bullying, hingga Masking
Perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang neurodivergent ini juga bermacam-macam wujudnya. Tak hanya dari bullying secara terbuka, tapi hal-hal lain yang bersifat non-inklusif. Seperti yang sudah disebutkan, orang neurodivergent dapat mengalami sensory overload yang membuat mereka menghindari kerumunan dan perkumpulan sosial yang bising. Sementara itu, di Indonesia banyak sekali acara wajib yang mengharuskan pesertanya berkumpul dalam suasana ramai, baik dari tingkat sekolah maupun kuliah hingga kerja, dan menolak untuk bergabung dianggap tabu dan dapat menimbulkan prasangka buruk. Saya sering membaca bahwa perilaku “menutup diri dari orang sekitar” dianggap red flag bagi masyarakat Indonesia, terlepas apakah orang itu benar-benar punya niat jahat atau tidak.
Baca juga:
Pada titik ini, perlu saya tekankan bahwa ada banyak tipe orang neurodivergent. Ada yang bertingkah layaknya stereotipe orang autis, tapi ada juga yang ekstrovert dan dapat bersosialisasi dengan baik serta menunjukkan sedikit “kelainan”. Namun, bisa jadi hal itu disebabkan karena mereka telah menutupi kelainan tersebut demi beradaptasi dalam interaksi sosial dengan baik. Hal ini disebut dengan masking. Tapi masking hanyalah solusi sementara. Hasil studi dari World Health Organization dan jurnal Human Development menunjukkan bahwa masking memiliki dampak buruk bagi kesehatan mental, termasuk menimbulkan stres, depresi, dan burnout. Bagaimanapun, orang-orang neurodivergent ini dipaksa berakting sebagai orang lain sepanjang waktu hanya untuk diterima oleh masyarakat.
Terlepas apakah seorang neurodivergent itu memang dapat beradaptasi dengan baik dalam lingkungan sosialnya atau harus melakukan masking yang berat, akomodasi bagi kami—atau semua orang dengan kondisi penyakit mental pada umumnya—masih sangat minim.
Peran Media yang Memperburuk Stigma
Peran media dalam menggiring opini juga tak membantu banyak. Kecenderungan menggambarkan neurodivergent sebagai sosok berbahaya dan tak dapat diprediksi hanya akan menguatkan pandangan-pandangan negatif terhadap mereka. Banyak media populer yang masih terjebak trope umum yang sebelumnya saya uraikan.
Malah, sebagian alasan tulisan ini dibuat adalah karena saya mendengar film berjudul Aku Jati, Aku Asperger yang dibintangi oleh Jefri Nichol. Pada saat tulisan ini dibuat, film tersebut belum dirilis. Jadi saya hanya bisa melihat trailer dan sinopsisnya. Dan saya agak kecewa. Meski tampaknya penggarap film ini punya niat baik untuk menaikkan kesadaran masyarakat terhadap pengidap autisme, sekali lagi, film ini tampaknya jatuh ke lubang yang sama dengan menampilkan penyandang autisme dengan segala stereotipenya—terlalu kaku pada rutinitas, gerakan tubuh yang monoton, dan lain-lain.
Baca juga:
Walau saya tidak berencana untuk menonton film ini dan hanya bisa berharap kalau hasil akhirnya jauh lebih baik dari yang saya lihat di trailer, fakta bahwa kita masih berada di tahap “menaikkan kesadaran masyarakat” terhadap kelainan mental yang mestinya sudah menjadi pengetahuan umum saat ini—dan masih memakai istilah Asperger yang sudah tidak dipakai secara resmi lagi—menunjukkan progres kita sejauh ini terhadap edukasi kesehatan mental di Indonesia.
Meningkatkan Edukasi dan Empati
Pemahaman mengenai neurodivergence bukan hanya soal edukasi, tapi juga empati. Meski sudah mulai ada perubahan cara pandang mengenai neurodivergence ke arah lebih positif—membingkai ulang kondisi-kondisinya sebagai perbedaan cara kerja otak—paling tidak bagi saya, sebagian besar kondisi neurodivergence masih bisa dikategorikan sebagai bentuk disabilitas. Ya, mungkin sebagian pengidap neurodivergence “hanya” menunjukkan gejala perbedaan mental ringan yang tak menghalangi mereka hidup normal dengan masking, tapi masalah yang dilalui pengidap lainnya dapat lebih melemahkan, karena neurodivergence bisa memengaruhi tak hanya mental, tapi juga fisik, dan dampaknya bisa dari tantrum hingga mengucilkan diri dari kehidupan sosial. Keduanya merupakan hal yang tentunya tak hanya menguras energi bagi si penderita, tapi juga orang-orang terdekatnya.
Penyandang disabilitas baik fisik ataupun mental sering kali dipandang sebagai orang-orang tak berdaya, yang hanya layak untuk dikasihani. Ketika kemudian ada penyandang disabilitas yang menunjukkan bahwa mereka mampu produktif dan berprestasi di tengah masyarakat “normal”, hal ini dirayakan karena sang penyandang disabilitas mampu melawan “rintangan” yang merupakan keterbatasan mereka, tanpa ada langkah atau introspeksi untuk mengakomodasi penyandang disabilitas lainnya yang bisa saja juga mampu berprestasi dengan bantuan dan dukungan yang memadai. Bahwa prestasi yang diraih terlepas keterbatasan yang disandang adalah berkat bakat individual semata, tanpa dibantu sokongan fisik dan moral.
Baca juga:
Pada akhirnya, yang dibutuhkan orang neurodivergent adalah apa yang dibutuhkan penyandang disabilitas lainnya juga, yaitu akomodasi dan empati dalam bentuk yang nyata. Edukasi yang menyeluruh terhadap kondisi ini diperlukan untuk meningkatkan toleransi di semua lapisan masyarakat hingga penyediaan dukungan moral seperti konseling dan dukungan fisik seperti pengobatan dan penyesuaian jenjang karier akan sangat dapat membantu. Bagi saya pribadi, tak ada yang romantis dari menjadi neurodivergent. Toh, saya juga letih harus mengalami stres hanya dari melakukan interaksi sosial, tak mampu membaca gestur dan ekspresi orang dengan baik, dan tak bisa memahami instruksi secara spesifik. Sungguh, kalau saya bisa diberi pilihan untuk “sembuh” dari kondisi saya dan bisa hidup normal, saya akan mengambilnya tanpa pikir panjang.
Editor: Prihandini N