Manusia biasa yang suka cokelat

Seabad Pram: Yang Perlu Dikenang dan Diingat Generasi Muda

Abdullah Azzam Al Mujahid

5 min read

Kebanyakan dari kita secara umum mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disingkat Pram) sebagai seorang sastrawan, sosok orang tua dari anak ruhaninya yang dikenal sangat berani dan suka berbuat onar; tetralogi buru dan puluhan karya lainnya. Namun, kalau kita coba melihatnya lebih dekat lagi, Pram akan menjadi sosok yang lebih besar daripada hanya sekadar sastrawan. Ia adalah seorang yang bukan budak, seorang yang hidupnya fana tetapi juga abadi, dan seorang sejarawan imajinasi yang berani.

Bermodalkan pena dan semangat juang, laiknya bara api berawarna merah menyala yang asapnya mengepul tinggi ke udara, Pram menembus batas lapisan dinding keras (tantangan) yang selalu berusaha mengasingkannya dari dunia yang ia tekuni. Ia sudah tiga kali pindah berkala dari rumah ke rumah (dibaca: rezim), beberapa kali pindah dari satu penjara ke penjara yang lain, dan karena pengalaman yang sengit itu pula penanya terus terasah menjadi semakin tajam dan licin.

Ketajaman dan kelicinan penanya seakan menjadi instrumen Pram dalam membangun dunianya sendiri. Kita tahu, sudah banyak karya yang dilahirkan oleh Pram. Dan sesungguhnya, jiwa Pram dalam karya-karyanya terus hidup hingga detik ini. Mulai dari roman, novel, cerpen, fiksi sejarah, pengalaman hidup, sampai semua yang ia dengar, rasakan, baca, dan impikan pun ia catat sampai mampus tak tersisa.

Menjelang seabad Pram pada tanggal 6 Februari tahun 2025 nanti, kita tahu di berbagai kota, terutama Blora, menyambut hangat seratus tahun Pram dengan perayaan. Dan karena itu, marilah kita memasuki lorong waktu untuk melihat Pram sedikit lebih dalam, guna mengenang dan mengingat, lalu mencari apa saja yang dapat kita teladani dari sosok Pram.

Menyirami Sejarah dengan Air Imajinasi

”Sejarawan adalah mereka yang menulis sejarah. Dosen yang mengajar sejarah bukan sejarawan jika ia tidak menulis sejarah. Seorang guru sejarah tetap sebagai guru sejarah dan bukan sejarawan jika ia tidak menulis sejarah.” –Kuntowijoyo.

Sejarah sebagai ilmu memang tak menghendaki memakai karya sastra—dalam hal ini novel fiksi sejarah—sebagai dasar pembelajaran ataupun modal dalam membaca maupun menulis sejarah. Hal itu tentu memiliki alasan mendasar yang cukup kuat. Di dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah, Kuntowijoyo menegaskan pengertian sejarah secara positif, “sejarah sebagai ilmu itu terikat pada prosedur penelitian ilmiah. Sejarah terikat pada penalaran yang bersandar pada fakta. Kebenaran sejarah terletak pada kesediaan sejarawan dalam menelisik sumber sejarah sampai tuntas dan diharapkan mendapat jawaban yang ‘objektif’”.

Meskipun demikian, Pram—entah secara sadar atau tidak—seakan menumbuk sifat kaku dalam sejarah sebagai ilmu itu menjadi lebih halus; dari beku menjadi lebih cair. Alih-alih menulis sejarah secara runut dengan metodologi sejarah hingga membuahkan karya historiografi objektif, Pram justru menulis sejarah melalui novel (secara subjektif). Akan tetapi perlu diingat, Pram tidak menulis novel fiksi sejarahnya dengan asal mengarang saja. Pram lebih mengutamakan riset (mengkliping koran) sebelum ia menuliskan novel tetralogi buru dan roman sejarah lainnya.

Baca juga: 

Karena itu, saya sempat tak satu suara ketika dosen saya menempatkan novel fiksi sejarah Pram pada apa yang bukan sejarah. Melalui karya sastra, sejarah menjadi lebih hidup dan tidak kaku, begitulah bantahku, sedikit menentang ucapan sang dosen walaupun hanya sekadar membatin. Meski demikian, saya cukup sepakat sejarah itu harus bersifat objektif. Namun ketika kita membawa hal itu ke dalam konteks zaman sekarang, sejarawan seringkali mengabaikan pandangan masyarakat umum terhadap karya historiografi yang berdiri di atas riset panjang sekaligus ketat, sebagai sesuatu yang kaku, berat, membosankan, dan kerap sulit dipahami kosakatanya.

Pram adalah seorang sejarawan imajinasi. Ia menuliskan sejarah sekaligus menuntun si pembaca memasuki dunia imajinasi yang ia bangun agar si pembaca yang hendak belajar pelbagai peristiwa masa lampau dapat membayangkan bagaimana peristiwa masa lampau itu terjadi melalui deretan kata dengan penguasaan riset serta bahasa yang kuat. Imajinasi yang dimaksud bukanlah imajinasi liar atau sekadar istilah interpretasi dalam metode sejarah semata, melainkan imajinasi itu tumbuh dari dalam cerita dan dialog antar tokoh yang ada di dalam roman sejarah Pram.

Dari celah-celah penuh kebosanan menatap sejarah, Pram muncul ke permukaan secara alamiah lalu menghidupkan sejarah lewat imajinasi. Dengan imajinasi itulah si pembaca menjadi yakin kalau sejarah itu menyenangkan dan tidak melulu kaku ataupun berat karena banyaknya kosakata ilmiah yang jarang dipahami oleh awam. Barangkali tidak berlebihan jika kita menyebut Pram sebagai seorang sejarawan imajinasi.

Dunia Pram Bukan Sastra, Dunia Pram Adalah Menulis.

“Mengarang adalah tugas nasional bagi saya. Akibat dari pengalaman yang panjang, maka saya bisa katakan, mengarang adalah profesi. Saya hidup dan mati karena mengarang. Dan saya konsekuen terhadap semua akibat yang saya peroleh.” –Pramoedya Ananta Toer.

Adalah kegiatan menulis yang dapat kita teladani dan amalkan dari seorang Pram, alih-alih sekadar hanya meneladani semangat bersastranya saja. Menulis bagi Pram, sama halnya seperti bekerja untuk keabadian. Kata Pram, “semuanya harus dituliskan. Apapun… jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna.” Kata-kata itu pertama kali saya dengar pada masa awal masuk SMK, dan seketika itu pula saya jadi suka menulis dan segera menyulap kata itu menjadi prinsip dalam menulis.

Pram bukanlah sosok yang menulis karena ingin namanya dikenal luas melalui karyanya. Ia tidak terlalu memedulikan kritik bahkan cemohan yang dilontarkan oleh publik terhadap karyanya. Baginya, tugas seorang penulis hanyalah menulis. Kawan-kawan di dunia kepenulisan seperti Idrus dan M. Balfas menyebutnya berak, sementara itu ada pula yang menyebut karya Pram rongsokan dan kaku. Pram dilihat seperti penulis yang hanya menulis demi mengisi perutnya sendiri.

Deretan kata yang terlontar itu nyaris seperti ejekan, tapi agaknya memang betul, Pram menulis hanya untuk menghidupi dirinya sendiri. Maksudnya, Pram meletakkan kegiatan menulis ke dalam bagian hidupnya; bagian dari jiwanya sendiri. Dan mungkin benar kata Muhidin M. Dahlan, “ia tak punya modal kegeniusan yang patut dibanggakan. Barangkali, satu-satunya yang ia punyai adalah kerja keras dan keinginan untuk belajar” (Muhidin M. Dahlan, 2021).

Pram adalah seorang penulis yang unik. Yang menjadikannya berbeda dari penulis lainnya adalah Pram tidak pernah menyepelekan karya-karyanya, bahkan jika itu karya yang remeh sekali. Apapun yang sudah ditulisnya, dari hal paling remeh hingga serius, ia rawat dan dokumentasikan dengan baik. Baginya, semua yang ditulis olehnya merupakan  anak-anak ruhani nya yang pantas diberi perhatian dan kasih sayang yang setara.

Pram dan Angkatan Muda

Pram melihat di dalam tubuh angkatan muda, adanya jiwa heroisme yang menggebu-gebu, semangat untuk berkreativitas yang meledak-ledak, serta semangat pantang menyerah yang tiada habisnya menghadapi pergolakan hidup. Hal itu dapat kita lihat dalam karya-karya Pram, khususnya Tetralogi Buru. Di Tetralogi Buru kita melihat Minke sebagai salah satu angkatan muda yang berbahaya karena memiliki kesadaran sebagai pribadi yang merdeka. Lalu ada Gadis Pantai, Galeng dan Idayu di dalam karya-karya lainnya yang tentu merupakan cerminan dari harapan Pram kepada angkatan muda.

Baca juga: 

Pram seakan percaya betul kalau karya-karyanya itu akan hidup abadi, bergerak melintas di berbagai lini zaman yang berbeda. Kita bisa lihat di tahun 1998—ketika karya-karya Pram diharamkan—angkatan muda seakan-akan tersulut semangatnya untuk melawan penindasan setelah membaca karya-karya Pram di sudut-sudut terpencil dan gelap. Lalu di masa sekarang, karya-karyanya semakin kuat memengaruhi semangat angkatan muda untuk sadar dan tetap berjuang melawan penindasan.

Hubungan Pram dengan angkatan muda rasa-rasanya memang tak bisa dipisahkan, sekalipun itu oleh pengusa zalim. Saat karya-karyanya diharamkan oleh rezim Orde Baru, dengan berbagai macam cara karya-karyanya itu seakan memberontak tak mau dikerangkeng. Melalui karya-karyanya itu, Pram seakan-akan berseru kepada seluruh angkatan muda di berbagai lini zaman untuk tetap memperjuangkan kemanusiaan dan melawan penindasan. Selain itu, melalui karya-karyanya, Pram seakan memperingatkan kepada penguasa-penguasa zalim, bahawa tidak akan pernah ada satupun kekuatan yang mampu menghentikan laju sejarah yang tumbuh dari angkatan muda.

Yang Diwariskan Tak Hanya Dikenang, Tapi Perlu Diingat dan Dilaksanakan

Kalau ada yang bertanya, apa sih warisan terbesar Pram? Maka jawabannya barangkali adalah cinta. Ya, bagaimana cara Pram mencintai Indonesia adalah warisan terbesarnya. Kecintaannya terhadap Indonesia terukir pada tulisannya di dalam novel Bumi Manusia, “duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya”. Dan itulah Pram, ia tidak hanya berkata omong kosong, kata-katanya itu justru mewujud hal-hal hebat, yaitu karya-karyanya.

Pram adalah seorang yang menghargai dan mencintai sejarah bangsanya. Oleh karena itu ia sadar dan melakukan pendokumentasian guna dipersembahkan kepada generasi mendatang. Kerja-kerja intelektual besar ia kerjakan mandiri, seperti menyusun kronik ensiklopedia kawasan Indonesia yang menjelaskan Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Kronik yang disusun sendirian oleh Pram sejak tahun 1982 itu memiliki ketebalan naskah 1,7 meter. Bayangkan, seorang diri menyusun naskah tebal! Betapa kecintaanya terhadap Indonesia memang bukan sekadar omong kosong belaka.

Pada seabad Pram ini marilah kita ingat-ingat kembali seruan Pram kepada kita,—kaum yang dirindukan oleh Pram lebih dari keluarganya—angkatan muda yang mesti merdeka dan berani mencipta hal-hal baru dan hebat. Seruan yang menggema dahysat di seluruh penjuru, meraung di sudut-sudut ruang dari setiap mereka yang mengenal dan membacanya, seruan yang tak henti-hentinya bergema itu berbunyi: “Angkatan muda harus bisa melahirkan pemimpin, jangan jadi ternak saja dan sibuk mengurus diri sendiri. Angkatan muda harus bekerja dan berproduksi. Jangan jadi pengonsumsi. Negara ini sudah terpuruk karena konsumsi terus-terusan. Bahkan, tusuk gigi pun harus diimpor. Memalukan!”. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Abdullah Azzam Al Mujahid
Abdullah Azzam Al Mujahid Manusia biasa yang suka cokelat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email