Meritokrasi sering dielu-elukan sebagai puncak keadilan sosial. Dalam retorika modern, sistem ini menjanjikan kesuksesan bagi siapa pun yang bekerja keras, tanpa peduli latar belakang mereka. Namun, dalam kenyataan yang tak terhindarkan, meritokrasi lebih sering menjadi mitos daripada kenyataan.
Jika kita melihatnya melalui lensa skeptis Diogenes dari Sinope, filsuf yang tidak segan menelanjangi hipokrisi masyarakat, meritokrasi adalah salah satu kebohongan terbesar yang terus dirayakan.
Meritokrasi menjual mimpi yang tidak realistis. Narasi yang mendasarinya adalah semua individu memulai dari garis permulaan yang sama, lalu berlomba berdasarkan kemampuan dan usaha mereka.
Fenomena global menunjukkan sebaliknya: kesenjangan ekonomi, ketimpangan akses pendidikan, dan diskriminasi struktural membuat setiap orang memiliki garis permulaan yang berbeda-beda.
Bagaimana meritokrasi dapat disebut adil jika seorang anak di pedalaman dengan akses pendidikan minim harus bersaing dengan anak dari keluarga kaya yang bersekolah di sekolah elite? Meritokrasi dalam realitas hanya memperhalus ketidakadilan yang sudah mengakar.
Meritokrasi di Indonesia
Di Indonesia, meritokrasi kerap dijadikan dalih untuk mempertahankan ketimpangan yang sudah mengakar. Lihatlah dunia pendidikan, yang sering disebut sebagai pintu menuju meritokrasi. Sistem Ujian Nasional hingga tes masuk perguruan tinggi selalu dijadikan simbol “keadilan kompetitif.” Namun, apa yang sebenarnya terjadi?
Baca juga:
Anak-anak dari keluarga kaya memiliki akses bimbingan belajar yang mahal, fasilitas belajar yang lengkap, dan bisa bersekolah di sekolah internasional yang kurikulumnya lebih unggul.
Sementara itu, anak-anak dari pedesaan atau keluarga prasejahtera sering kali harus berjuang dengan keterbatasan fasilitas belajar, kekurangan guru, bahkan akses listrik yang tidak memadai. Ketika hasil akhirnya berbeda, meritokrasi justru menyalahkan individu yang “gagal”, tanpa melihat ketimpangan struktural yang mereka hadapi sejak lahir.
Fenomena ini juga terlihat di dunia kerja. Banyak perusahaan besar di Indonesia mengklaim menggunakan sistem berbasis prestasi. Namun, koneksi, nepotisme, dan status sosial masih memegang peran besar dalam penentuan peluang karier.
Para pekerja keras di lapisan bawah tetap sulit untuk naik ke puncak, karena sistem meritokrasi hanya menjadi alat untuk membenarkan eksklusivitas elite. Meritokrasi di Indonesia, alih-alih menjadi mekanisme keadilan, malah menjadi pembenaran untuk melanggengkan hierarki sosial.
Diogenes dan Kritik terhadap Meritokrasi
Diogenes dari Sinope dikenal karena penolakannya terhadap hierarki sosial dan materialisme. Ia mengejek institusi dan norma-norma yang menurutnya hanya memperkuat kesenjangan dan hipokrisi. Dalam konteks meritokrasi di Indonesia, Diogenes mungkin akan mencemooh sistem ini sebagai kedok untuk mempertahankan ketidakadilan.
Menurut Diogenes, kebajikan dan keutamaan moral lebih penting daripada penghargaan duniawi. Meritokrasi di Indonesia yang terlalu memuja hasil seperti gelar, jabatan, atau kekayaan bertolak belakang dengan pandangan ini.
Ia akan bertanya: “Apakah sistem ini benar-benar mengangkat yang terbaik, atau hanya mendaur ulang kekuasaan di tangan yang sudah kaya dan berkuasa?” Meritokrasi yang semestinya berdasarkan kebajikan malah menjadi permainan materialistik, di mana angka dan status lebih dihargai daripada integritas dan moralitas.
Jika Diogenes menghadapi realitas Indonesia, ia mungkin akan mengkritik bagaimana meritokrasi tidak hanya gagal menghapus ketidakadilan, tetapi juga menciptakan stigma. Dalam meritokrasi yang timpang, mereka yang tidak mampu mencapai “standar” dianggap gagal secara pribadi, tanpa memperhitungkan bagaimana sistem itu sendiri tidak pernah dirancang untuk mendukung mereka.
Baca juga:
Kritik ini sangat relevan di Indonesia, di mana mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sering dipandang sebagai orang malas, padahal akses mereka terhadap peluang sangat terbatas.
Diogenes dan Solusi Radikal
Diogenes, dengan gaya hidupnya yang minimalis dan skeptis, mungkin akan menyerukan reformasi mendalam terhadap sistem ini. Ia akan menolak meritokrasi yang berbasis pada kompetisi materialistis dan mendorong kita untuk kembali pada nilai-nilai fundamental: keadilan, kesederhanaan, dan kemanusiaan. Baginya, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang memprioritaskan kesejahteraan kolektif, bukan penghargaan individual semata.
Dalam konteks Indonesia, pandangan Diogenes dapat menjadi inspirasi untuk membangun sistem yang lebih manusiawi. Meritokrasi harus disertai dengan redistribusi akses pendidikan yang setara, fasilitas yang merata, dan penghapusan diskriminasi struktural. Bukan hanya mengukur orang berdasarkan hasil akhir, tetapi memberikan peluang yang adil sejak awal. Diogenes akan mengingatkan bahwa keadilan sejati bukanlah soal siapa yang bisa menang, melainkan memastikan semua orang memiliki kesempatan untuk hidup bermartabat.
Meritokrasi, seperti yang diterapkan di Indonesia, hanyalah kebohongan yang terus dirayakan oleh mereka yang diuntungkan. Ia memperhalus ketimpangan, menutupi ketidakadilan dengan retorika kerja keras.
Seperti Diogenes yang membawa lentera untuk mencari manusia sejati di siang bolong, kita perlu membawa lentera baru untuk melihat realitas meritokrasi di Indonesia, sistem yang harus kita kritik, reformasi, atau bahkan hancurkan demi keadilan yang hakiki.
Editor: Prihandini N