Menilik Jejak-Jejak Pengepungan Berduri Joko Anwar

Shofiatunnisa Azizah

2 min read

Salah satu sutradara film dalam negeri yang paling sulit ditebak adalah Joko Anwar. Bila sudah berkaitan dengan karyanya, Joko Anwar selalu bisa mengecoh.

Sama ketika Joko Anwar bersabda dengan enteng: “Akhirnya bikin film tentang anak SMA.

Jangan pernah bayangkan akan ada film ringan seperti Ada Apa dengan Cinta (2002) atau Galih dan Ratna (2017). Sebaliknya, bayangkan film anak SMA paling tidak mungkin, paling mengerikan, yang barang kali berkekuatan merobohkan pagar DPR dalam sekali percobaan setelah orang tuanya di-PHK dan hanya bergantung pada MBG. Itu, mungkin dibuat Joko Anwar.

Baca juga:

Problematika sosial seperti itu malah menjadi bagian pokok dalam film teranyar Joko Anwar, Pengepungan di Bukit Duri. Meski isu makan-makan dan efisiensi belum masuk (sebab baru dilantik setelah skrip rampung) isu-isu lainnya sudah masuk dalam antrian keresahan seorang sutradara dan penulis tersohor tanah air ini.

Murid yang Badung, Guru yang Rawan Tersandung

Film Pengepungan di Bukit Duri menyoroti permasalahan di sekolah khusus anak-anak bermasalah. Para siswa di sekolah ini tidak terkendali, sehingga tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi bertahan hidup dari incaran maut yang diajar.

Serupa dengan isu kesejahteraan guru yang terabaikan untuk tugasnya sebagai pengajar, guru di sekolah anak-anak bermasalah harus bertaruh nyawa dalam mencerdaskan generasi cemas.

Di sekolah yang berlokasi di Bukit Duri ini, peranan guru sepertinya akan samar. Pertaruhan guru dan murid akan menjadi fokus utama yang menuntun permasalahan pada redupnya guru yang ingin menyalakan cahaya di sekolah.

Dari salah satu ungkapan pada trailer yang berbunyi:

“Sama kayak guru yang lain, takut sama murid sendiri.”

Sekalipun pernah berani bertaruh, pada akhirnya guru di sekolah anak-anak bermasalah tidak akan menggadaikan nyawa sepenuhnya. Ini akan mendorong konflik melekat pada guru yang berani bertaruh; Edwin.

Bukit Duri dan Ketidaksejahteraan yang Terkepung

Sebelum Edwin menghadapi perselisihan dengan anak-anak bermasalah dari sekolah tempat anak-anak bermasalah, Joko Anwar menekankan ‘Bukit Duri’ sebagai tempat berlangsungnya cerita ini.

Edwin yang diperankan oleh Morgan Oey harus mencari anak kakaknya ke seluruh penjuru sekolah di Jakarta Timur, berujung pada sekolah di Bukit Duri. 

… akan terjadinya kemungkinan kembali kerusuhan besar antar kelompok masyarakat …”

Jakarta Timur punya riwayat tindak kriminal yang tinggi. Salah satu yang tertinggi. Mantan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2013, Joko Widodo, bahkan mengakui tingginya kriminalitas, rendahnya kesejahteraan, dan padatnya penduduk Jakarta Timur.

“Kemiskinan di sana juga paling tinggi, mungkin karena itu mudah panas,” katanya, dilansir dari Antara.

Sedang Bukit Duri tak jauh mendingan, pencarian teratas menunjukkan masalah agraria menimbulkan tegangan bagi warga setempat. Teror, intimidasi, dan perlakuan keji sebelum gusur paksa pernah menjadi bagian dari Bukit Duri.

Gejolak keduanya sama. Ada permasalahan yang mengekang Bukit Duri maupun Jakarta Timur secara luas untuk tidak sejahtera. Akibatnya, anak-anak tumbuh menjadi biang masalah.

Bila dibayangkan apa yang akan Joko Anwar lakukan, isu wilayah ini boleh jadi dimunculkan. Peringatan atas ‘kemungkinan’ terjadinya kembali kerusuhan besar terang-benderang merujuk pada rontaan masyarakat atas apa pun yang mendera mereka.

Diskriminasi Buta dalam Pengepungan

Bukan hanya memungkinkan aksi masyarakat, antar kelompok yang disebutkan sekilas membuka kesempatan masyarakat yang terhimpit untuk melempar kesalahan pada kelompok masyarakat lainnya.

Dalam keadaan serbasalah, masyarakat cenderung menyalahkan berbagai hal untuk melampiaskan kesengsaraan yang menggerogotinya. Terutama kelompok masyarakat yang terlihat memiliki kehidupan lebih baik, ketidakadilan akan menjadi dorongan tudingan tak masuk akal sekalipun dilayangkan.

Hal ini berlaku sama di mana pun, tidak terkecuali di Bukit Duri. Sekolah khusus anak-anak bermasalah sama. Sebab guru-guru biasa, yang sama-sama Indonesia, saja sudah menjadi sasaran. 

“Maaf saya enggak tahu kalau Bapak itu …”

“Cina.”

Dan dari dialog itu, salah satu yang akan memikul ‘label’ sebagai yang bersalah adalah Cina. Diskriminasi menjadi isu yang tidak lepas disoroti Joko Anwar dalam film yang tayang pasca-Lebaran ini.

Setelah saling memohon ampunan kepada sesama, bahkan Cina, film ini akan membuka lembaran masalah tentang diskriminasi yang sudah menancap seperti duri dalam daging di negera ini. Bukan hanya sebagai bentuk penyadaran untuk tidak mengotak-ngotakan yang pribumi dan yang bukan pribumi, Cina menjadi representasi kelompok marjinal.

Baca juga:

Sebab ketidaksejahteraan menjadi fondasi film ini, Cina yang mengesankan kehidupan lebih baik (secara sosial dan ekonomi) akan menjadi sasaran serang bagi siapa saja. Maka pengepungan ini akan menjadi adu amarah yang tidak terselesaikan akibat penguasa-penguasa yang membiarkan labelisasi setengah buta menjadi kebutaan utuh.

Padahal sebagai minoritas, Cina juga dihadapkan dengan sejumlah masalah yang tidak sepenuhnya diacuhkan. Mengingatkan pada kejadian 1998, Pengepungan di Bukit Duri sangat mungkin menunjukkan kekejaman yang sama terhadap yang terpinggirkan di film ini.

Perbedaannya adalah Edwin ditampilkan sebagai yang mempunyai kehendak perlawanan. Namun, bagaimanapun, kesejahteraan adalah masalah kolektif yang lahir dari ketidakmampuan negara untuk adil dalam memenuhi hak-hak masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan lainnya. Maka nahas, keberanian satu orang tidak akan berarti banyak di tengah pengepungan orang-orang yang dipenuhi amarah ketidakadilan.

Pada akhirnya, anak-anak dari sekolah khusus tempat anak-anak bermasalah dan kelompok-kelompok masyarakat yang akan menjadi serangkaian pelengkap masalah hanyalah imbas yang selanjutnya meneruskan pola terkepung dan mengepung di negara ini. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Shofiatunnisa Azizah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email