Aku Bukan Mei dan Puisi Lainnya

Vito Prasetyo

1 min read

Tante Mimi
: untuk Wayan Jengki Sunarta

malam ini terasa hening
percakapan seperti bahasa hati yang tersendat
di antara cengkerama angin, membisikkan sunyi ke dalam sajak

Mimi,
di balutan tipis busanamu
ingin ‘kutitipkan pesan
dari matahari yang jengah mencumbu bayanganmu

Mimi,
menyelamlah selagi nada bersuara
dalam pekik rindu yang tidak tersampaikan
ke batas-batas gairah

Jika perlu, menusuk-nusuk lubang rindu
yang melumer di antara kesekian mimpi
menyisakan titimangsa di ingatan Jengki Sunarta
setelah sewindu, mimpi itu berkelana menggapai angan
di dadanya,
mungkin hari-hari kosong
oleh penantian
hingga sajak pun samar terbaca
terkulai di pangkuan cakrawala

Mimi,
aroma segar tubuhmu
tercium hingga pagi
setelah malam diselimuti cemas
tanpa perayaan musik jazz dan sebotol vodka
yang seharusnya menjadi penanda asmara

(Ruang Imaji, 2025)

Aku Bukan Mei
: untuk Sapardi Djoko Damono

nungkin engkau tidak pernah bertemu, seorang gadis
yang selalu hanyut ketika sajakmu dibacakan
senantiasa mengiang dalam ingatanku
senyumnya yang tipis
sewarna lengkung senja
seakan menyumbat pikiranku
aku ingin memuisikan namanya
tetapi mungkin menyatakan cinta itu jauh lebih sempurna
nyatanya hidup ketika memilih
cinta tidak akan pernah sama
apakah cinta terlahir dari rahim kata-kata rumit
atau sesederhana yang engkau tuliskan
seperti kayu yang terbakar menjadi arang
hingga rindu senantiasa menjelma dendam
selekas Mei beranjak
aku berharap sajak Hujan Bulan Juni
terus dibacakan
di antara hiruk-pikuk angin
—mendesah-desah dalam tarian puitis
bagai detak jantung kehilangan keberanian
dan aku membiarkan gadis itu memaku abadi di bait-bait sajakmu

(Ruang Imaji, 2025)

Tante Mimi II
: untuk Wayan Jengki Sunarta

masih di malam yang sama
rembulan menatap Mimi, tersipu malu
ia duduk di langit, nyaris tanpa busana
kepada puisi, ia menyapa Mimi
berkali-kali notifikasi di layar ponsel berlalu begitu saja
pikiran Mimi melayang, mungkin sedang membayangkan
jika ia serupa rembulan
duduk di singgasana
sambil memamerkan aurat
dan ditatap para jalang, meski mata kita tidak ingin disebut jalang
di sudut café, seorang lelaki larut dalam aroma kopi Bali
Jengki Sunarta, namamu tidak asing di telinga puisi
mungkin juga di telinga Mimi, yang menyisipkan larik je t’aime…moi non plus
tatkala panggung asmara bergema
dan Serge Gainsbourg & Jane memercikkan api ke dalam sajakmu
Mimi menggeliat, dalam desah angin
mengubur impian, sebab tekanan politik kian deras
membungkam suaranya yang serak
Jengki Sunarta tak lagi mempedulikannya
sebab cinta bagai satir
di kerumunan zaman yang kian redup

(Ruang Imaji, 2025)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Vito Prasetyo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email