Peneliti Pusat Studi Sosial IMM DIY

Novi si Guru Punk dan Historiografi Lainnya

Ramadhanur Putra

4 min read

Pada tahun 399 SM, tepatnya tanggal 15 Februari, sebuah peristiwa besar terjadi di Athena. Pengadilan terhadap filsuf bernama Socrates sedang menjadi buah bibir masyarakat Yunani kala itu. Socrates, tengah disidang, lalu diadili dengan hukuman mati. Hukuman mati yang dilayangkan pada Socrates disebabkan dua hal tuduhan. Pertama, karena ia dianggap tidak sopan terhadap Phanteon Athena. Dan kedua, karena ia dituduh telah merusak kaum muda.

Socrates dianggap tidak sopan karena tidak mengakui dewa yang diakui oleh negara dan dianggap telah merusak kaum muda karena keterlibatannya dalam debat publik serta mempertanyakan nilai-nilai ataupun kepercayaan tradisional (Fadhilah, 2023).

Tragedi kematian Socrates ini dicatat oleh muridnya yang bernama Plato. Ia adalah seorang guru yang menginspirasi. Kegigihan dan integritasnya sebagai guru menggugah Plato untuk melanjutkan perjuangan intelektualnya. Tidak hanya Plato, keberanian dan kepahlawanan Socrates telah membangkitkan semangat intelektual orang-orang pada masa berikutnya. Hingga saat ini, nama Socrates masih sering dibahas dalam diskusi di berbagai bidang keilmuan.

Baca juga:

Socrates adalah guru sejati. Kendatipun dibungkam oleh penguasa, murid-muridnya (langsung ataupun tidak) semakin menjamur dan melegasikan pemikirannya.

Begitulah kisah ringkas tentang kematian sang guru, Socrates, si Bapak Filsafat yang sangat fenomenal. Ia dijuluki sebagai Gadfly of Athena, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki arti “Lalat Athena”. Kebiasaannya berdialog dan berkeliling di kawasan Athena untuk mempertanyakan kebijaksanaan telah membuat penguasa sangat membencinya (Hidayat, 2022).

Ordonasi Guru 1905 dan 1925 di Hindia Belanda

Ribuan tahun berikutnya, di Hindia Belanda, kaum kolonial terusik dengan guru-guru agama khususnya Islam. Mereka menetapkan Ordonasi Guru yang diatur dalam Staatsblad 1905 No. 550, kemudian dubah menjadi Staatsblad 1917 No. 497 – berlaku untuk Jawa dan Madura, kecuali Yogyakarta dan Solo.

Peraturan ini membatasi gerak pengajaran Islam. Berdasarkan aturan itu, guru hanya boleh mengajar apabila sudah mendapatkan izin dari bupati setempat. Hal yang paling penting dari izin ini adalah untuk memastikan pengajaran sang guru “baik-baik saja” dan tidak berpotensi menggangu keamanan serta ketertiban umum (Ilham, 2024).

Urgensi Ordonasi Guru ini bagi pemerintah Hindia Belanda, dikarenakan penilaian mereka terhadap ajaran di lembaga pendidikan Islam yang tidak kooperatif, bahkan cenderung konfrontatif dengan penguasa (Hindia Belanda).

Setelah mendapatkan banyak protes, aturan ini mengalami perubahaan dengan diterbitkannya Staatsblad 1925 No. 550. Aturan ini tidak lagi mengharuskan guru untuk meminta izin. Akan tetapi, mereka tetap diharuskan memberi tahu pemerintah tentang situasi.

Salah satu butir aturannya berbunyi bahwa guru agama dapat dihukum dengan kurungan paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya 200 gulden, jika mereka memberikan instruksi yang sifatnya menghasut. Selain itu, cakupan aturan ini diperluas dari Jawa dan Madura, meliputi Lombok, Minahasa, Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Bengkulu, dan Sumatera Barat.

Pada masa itu, Ordonasi Guru ini mendapatkan banyak perlawanan dari para guru, ormas, dan kaum santri. Tokoh-tokoh seperti Haji Rasul, Hamka, K.H Ibrahim, Yunus Anies, dan lainnya adalah para guru yang menentang keras aturan ini. Menurut Fikrul Hanif Sufyan (2024), Yunus Anies yang pada saat itu menjadi Sekretaris Hoofdbesturr Moehammadijah, berpidato dalam Kongres Moehammadijah ke-18 tahun 1929 di Solo untuk menolak Ordonasi Guru.

“Muhammadiyah sudah kenyang benar dan tahu betul dengan Guru Ordonantie. Sungguh berat, dan bukan kepalang pahitnya! Kita wajib (menolak), supaya Guru Ordonantie itu dicabut dan dibuang dari dunia!” Ujar Yunus Anies dalam pidatonya.

Kooptasi Guru untuk Melanggengkan Kekuasaan Orde Baru

Berbeda dengan masa penjajahan, pada masa Orde Lama guru identik dengan ideologi partai tertentu. Pada masa ini juga, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) lahir. Guru dengan afiliasi politik tertentu telah menjadi corong ideologi partai di kelas-kelas. Hingga pada akhirnya, peristiwa G3OS mengubah itu semua. Meletusnya peristiwa G30S dan terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat guru menjadi “seragam”. Pada periode 1965/1966 banyak guru yang terbunuh karena dianggap terafiliasi dengan PKI (Artika, 2023).

Era Orde Baru, guru diseragamkan dan harus bersih dari ideologi yang berbeda dengan negara. Dibawah rezim militeristik Soeharto, guru-guru hanya menjadi alat kekuasaan pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Pemerintah Orde Baru, melalui PP No. 6 Tahun 1970 berusaha secara stuktural untuk membelenggu guru dengan membentuk sikap monoloyalitas guru terhadap Golkar (Golongan Karya).

Pada era Orde Baru, guru terkooptasi dengan kekuasaan. Bentuk kooptasi pemerintah adalah dengan menjadikan PGRI sebagai organisasi tunggal perserikatan guru. Strategi ini digunakan untuk mengontrol dan memobilisasi guru untuk memilih Golkar pada pemilu. Hal ini bisa dilihat dari hasil kongres XIII tahun 1973 dan juga konferensi pusat tahun 1975 yang menjadi sikap dasar politik guru. Hal ini diperkuat dengan konferensi pusat ke-II PGRI pada tahun 1975 yang menyatakan bahwa bidang umum/organisasi PGRI sebagai komponen dari Golkar.

Selama kurang lebih 30 tahun kekuasan Soeharto, guru hanya menjadi instrument politik pemerintah. Semua bentuk pengajaran dan juga kode etik guru harus berorientasi menjaga stabilitas negara. Stabilitas negara diyakini sebagai penopang pembangunan bangsa saat itu.

Kemudian, setelah terjadinya reformasi politik pada tahun 1998, para guru dapat menghirup udara segar. Reformasi politik juga berdampak pada reformasi dalam bidang pendidikan. Sejak saat itu, mulai bermunculan organisasi guru independen sebagai tandingan dari PGRI, baik yang berskala nasional maupun lokal (Jalaludin, 2011).

Kini, Kriminalisasi Guru Masih Berlanjut

Seperti tidak pernah belajar pada sejarah, hari ini bangsa kita masih belum bisa memastikan kebebasan dan keamanan untuk para guru. Ragam bentuk pembredelan terhadap guru masih sering kita temukan. Sebuah fenomena yang kita sebut sebagai kriminalisasi guru masih sering terjadi. Kriminalisasi guru ini terjadi ketika tindakan yang diambil oleh guru dalam menjalankan tugasnya di ruang kelas dianggap melanggar hukum atau hak asasi manusia (Nursetiawan, 2024). Bahkan, aktifitas guru di luar kelas bisa menjadi pemicu terjadinya kriminalisasi.

Baca juga:

Hal itulah yang sedang terjadi pada Novi Citra Indriyati, vokalis Band Sukatani. Ia dipecat buntut aktivitasnya di luar sekolah yang dianggap melanggar SOP dan kode etik profesi guru di sekolah tempatnya bekerja. Padahal, tuduhan yang dilayangkan oleh pihak SD IT Mutiara Hati Banjarnegara itu belum terbukti.

Meskipun Novi diperbolehkan kembali mengajar dengan syarat-syarat tertentu, pemecatan ini cukup janggal. Pemecatan yang maladministrasi dan tidak menjamin kebebasan berekspresi Novi dalam bermusik sebagai warga negara Indonesia. Bagaimanapun juga, kasus Novi ini sudah menambah catatan baru dalam kasus kriminalisasi guru di Indonesia.

Pemerintah, organisasi serikat guru, dan masyarakat perlu membuka mata untuk memastikan kedaulatan guru. Perlu diketahui, bahwa tugas guru tidak hanya menjadi pengajar di ruang kelas yang bertugas mentransfer ilmu pengetahuan dan moral pada siswa. Akan tetapi, tugas guru adalah melahirkan manusia-manusia bijaksana yang siap memimpin bangsa ini dengan baik kedepannya. Hal ini hanya dapat diperoleh jika guru mendapatkan kemerdekaan dan mengajarkan realitas nyata kehidupan pada siswanya.

Novi, tidak hanya berhasil menjadi guru di SD IT Mutiara Hari. Akan tetapi, Novi telah berhasil menjadi guru bagi siapa saja. Lewat karya musiknya, Novi telah mengajarkan kita tentang pahitnya kenyataan hidup yang tengah kita hadapi bersama.

Jangan sampai, Novi ‘dihukum mati’ (baca: dibunuh karakternya), seperti yang terjadi pada Socrates, karena telah menggugah kesadaran manusia terhadap realita kehidupan. Meskipun UU Guru dan Dosen No 14 tahun 2005 sudah ada, kita semua perlu mengkaji dan memastikan kembali kebebasan dan juga kedaulatan guru itu agar terbukti nyata benar adanya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Ramadhanur Putra
Ramadhanur Putra Peneliti Pusat Studi Sosial IMM DIY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email