Pedagang Martabak dari Mars

Kok Gurunya Dipecat, Kang Emil?

Alfian Bahri

2 min read

Maneh teh keur jadi Gubernur jabar ato kader partai ato pribadi?” tulis seorang guru pada unggahan Instagram Gubernur Ridwan Kamil. Komentar tersebut menjadi viral. Selain terdapat penggunaan kata maneh yang dinilai kurang sopan dalam budaya Sunda, komentar guru pesantren tersebut ternyata disematkan oleh Ridwan Kamil. Pendukung Ridwan Kamil lantas pasang badan dengan membalas komentar si guru dengan rundungan.

Tidak hanya sampai di situ, Ridwan Kamil juga mengirim pesan ke yayasan tempat guru itu mengajar. Seperti yang umum terjadi, guru tersebut dipecat secara sepihak atas alasan tidak memberi contoh yang baik pada murid dan merusak citra sekolah. Padahal, bila memang masalahnya ada pada diksi yang dinilai kurang sopan, apakah lantas memecat seorang guru hanya karena kesalahan diksi bisa disebut tindakan sopan?

Kalau dicermati, terlepas dari kesalahan diksi, maksud komentar si guru baik. Beliau menanyakan pemberian apresiasi terhadap siswa yang patungan membelikan sepatu temannya itu mewakili siapa: Gubernur Jabar, kader partai, atau pribadi? Sebab, dalam unggahannya, Ridwan Kamil tampak mengenakan jas warna kuning. Apalagi, Ridwan Kamil jugalah digadang-gadang sebagai politikus yang potensial menjadi calon presiden pada Pemilu 2024.

Baca juga:

Kita seharusnya berterima kasih kepada guru itu karena telah berani bertanya. Sebab, sudah banyak contohnya seorang yang mau maju pemilu melakukan pencitraan demi suara dan simpati publik. Entah itu di masjid, sekolah, kolong jembatan, gorong-gorong, hingga kampung-kampung.

Lagi-Lagi Pencitraan

Pejabat publik Indonesia paling suka melakukan pencitraan dengan embel-embel turun langsung. Mulai dari tingkat kelurahan, kementerian, sampai presiden; masing-masing berusaha terlihat menjangkau rakyat dengan tangan mereka sendiri.

Hal itu tidak sepenuhnya jelek, tapi bukankah cara seperti itu justru menjadi tanda bahwa mereka gagal menjalankan tugas pokok dan fungsi jabatannya? Sekelas presiden sebenarnya tidak perlu menunjukkan wajah saat bagi-bagi kaos dan sembako, apalagi sampai memberi sepeda saat kunjungan dan sosialisasi program. Seorang menteri juga tidak usah repot-repot ikut menyapu trotoar dan memungut sampah.

Sikap Ridwan Kamil yang memberi hadiah uang senilai 25 juta rupiah untuk kelas yang patungan membelikan sepatu untuk teman mereka itu juga mengandung unsur pencitraan. Ia hanya perlu menginstruksikan lembaga atau struktur fungsi terkait agar mengurus pemberian apresiasi tanpa perlu memajang diri. Namun, perlu dicatat, tindakan Ridwan Kamil ini tidak serta-merta salah, tetapi menjadi tanda bahwa tugas pokok dan fungsi jabatannya tidak bekerja.

Pejabat yang hobi pencitraan agaknya gagal memahami bahwa seharusnya mereka bekerja secara struktural dan memastikan bawahan mereka menjalankan instruksi, bukan malah sibuk menunjukkan wajah. Bagaimanapun, masyarakat akan sulit membedakan atas dasar apa niat baik pejabat tersebut. Di sinilah jebakan politik citra bekerja.

Langkah paling tepat bagi Ridwan Kamil sebenarnya adalah mempertanyakan. Mengapa, kok, sampai ada siswa yang sepatunya rusak? Apa akar permasalahannya? Apa pihak sekolah mengetahuinya? Kondisi keluarganya bagaimana? Bukankah sudah ada dana BOS, KIP, PIP, dan BLT? Apa dana kemiskinan kurang tepat sasaran sampai-sampai ada anak sekolah tidak bisa membeli sepatu? Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu harus tuntas sebelum pejabat memajang wajah superhero di hadapan publik.

Setidaknya, Ridwan Kamil bisa mulai bertanya ke bawahannya, ke sistemnya. Kemudian, melakukan pengecekan dana-dana terkait kemiskinan dan memastikan penyaluran dana bantuan sekolah. Bukan malah langsung memberi apresiasi kepada yang patungan. Langkah turun langsung tersebut justru semakin mempertegas bahwa ada yang tidak jalan dalam pemerintahannya.

Guru dan Kedudukannya

Yang paling menarik perhatian dari kasus Ridwan Kamil ini adalah pemecatan guru yang berkomentar. Di situ terlihat jelas bagaimana bangsa ini memperlakukan seorang guru. Begitu mudahnya guru dipecat hanya karena intervensi pejabat. Apalagi, jalinan komunikasi tersebut hanya melalui direct message (DM) Instagram—sudahlah kurang profesional, tidak etis pula.

Memang tidak tersurat ada pesan perintah pemecatan. Namun, mengapa Ridwan Kamil merasa perlu mengirim pesan ke yayasan tempat guru itu bekerja? Apa maksudnya? Mau mengadu atau bagaimana? Ini perlu diklarifikasi. Sebab, sekalipun maksudnya hanya menasihati, rasanya tetap keliru. Mengapa nasihat harus disampaikan melalui yayasan tempat guru itu bekerja?

Tulisan lain oleh Alfian Bahri:

Pejabat publik harus menyadari bahwa dirinya memiliki kuasa. Adanya kuasa menjadi dasar bagi instruksi yang akan berkembang menjadi tindakan otoriter nan feodal. Beda cerita bila instruksi itu dijalankan pada lingkungan kerjanya. Sebab, memang fungsi dan tugas si pejabat memang ada di sana.

Kondisi guru dalam kasus Ridwan Kamil ini mirip dengan kebijakan sekolah masuk pukul lima pagi di Nusa Tenggara Timur. Di sana, guru terkondisikan sebagai subjek yang tak berdaya, terimpit, tak berkuasa, dan marjinal di hadapan kepala daerah. Tak ada yang mampu menghalangi Gubernur NTT melakukan intervensi sepihak atas kebijakan pendidikan tanpa modal riset maupun pelibatan guru, PGRI, dan dinas terkait.

Ironis memang; otoritarianisme justru tumbuh subur dalam lingkungan pendidikan. Selama ini, sekolah, guru, dan siswa hanya menjadi objek, bukan subjek hidup yang kehadirannya diperhitungkan dan dihargai. Mungkin para guru perlahan mulai disejahterakan melalui rekrutmen ASN PPPK besar-besaran. Namun, apa gunanya semua itu jika kebebasan, hak, dan peran profesi seorang guru justru dicabut? Ini tukar tambah yang keliru.

 

Editor: Emma Amelia

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email