Berkat Twitter dan kekuatan netizen, isu-isu yang semula janggal dan belum terangkat berhasil menjadi topik perbincangan sehingga mendapatkan perhatian publik atau institusi. Kita sering menyebutnya sebagai “the power of netizen”. Daya pikir kritis sebagian besar pengguna Twitter mampu menjadi pelopor tindakan nyata. Pergerakan massa yang terjadi melalui Twitter didasari oleh sikap tidak puas atas penanganan atau perhatian suatu lembaga. Akhirnya, masyarakat berupaya secara intensif mengangkat suatu isu agar kesadaran sosial terbentuk. Tidak jarang pergerakan oleh pengguna Twitter berhasil membentuk kesadaran kolektif yang kemudian diimplementasikan melalui aksi di ruang terbuka publik.
Twitter sebagai platform media sosial begitu penting karena memuat berbagai variasi opini masyarakat tanpa memandang tempat. Opini masyarakat yang berasal dari daerah berbeda dapat dimuat dengan baik tanpa harus terikat secara intensif pada kondisi ruang dan waktu.
Pengguna Twitter di Indonesia pada tahun 2022 tercatat sebanyak 18,45 juta, mengalami peningkatan sebesar 31,3% dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 14,05 juta pengguna. Kita dapat melihat antusiasme masyarakat yang cukup besar untuk menggunakan Twitter sebagai salah satu sarana komunikasi dan informasi.
Etika Plato
Pergerakan massa tidak terlepas dari perdebatan antara pihak pro dan kontra atas sebuah fenomena. Wacana pergerakan yang berusaha dibentuk dapat memicu berbagai macam respons yang tentu saja melibatkan ambisi tertentu.
Plato dengan etikanya mencoba untuk menjelaskan bagaimana seseorang dapat mencapai kebaikan tertinggi dan menciptakan kesatuan dalam diri dan lingkungan sekitarnya agar dapat terhindar dari kekacauan. Jika Plato menggunakan Twitter saat ini, ia akan melihat aktualisasi perilaku individu untuk mencapai suatu kebaikan belumlah murni sebagai keputusan dirinya sendiri. Pergerakan kolektif yang dibentuk suatu pihak biasanya dipenuhi oleh propaganda untuk mencapai kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan. Maka dari itu, tidak jarang seseorang yang terlibat dalam pergerakan hanya ikut-ikutan dan bukan berdasarkan pada kesadaran aktual dirinya terhadap suatu fenomena.
Etika Plato begitu mementingkan kesadaran manusia sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat sehingga setiap individu dapat bertindak secara rasional. Selain itu, ketika seseorang bertumpu pada kemampuan rasional yang dimilikinya, ia akan semakin kritis dalam mengambil suatu tindakan dan menempatkan dirinya di posisi yang saling berkontradiksi tersebut.
Suatu fenomena dapat memberikan perubahan dan penderitaan pada kehidupan manusia. Oleh karena itu, pemikiran yang hanya berdasarkan ambisi tanpa adanya pemikiran yang rasional, cepat atau lambat akan menghasilkan penderitaan bagi masyarakat. Perdebatan di Twitter memiliki nilai yang baik apabila didasari oleh rasio-kritis dan bukan oleh ambisi untuk melanggengkan hegemoni yang bertujuan mempermudah suatu kelompok menekan kelompok lainnya. Apabila hal ini terjadi, nilai dari suatu kebaikan tertinggi manusia hanya menjadi ilusi dan terbatas pada legitimasi pihak yang berkuasa.
Baca juga:
Eksitensi Superioritas
Ketika kita menggunakan Twitter, tidak jarang kita akan menemukan pihak yang menempatkan dirinya sebagai pihak superior dan berusaha menekan pihak lainnya agar menjadi inferior. Namun, superioritas dan inferioritas bukanlah hal mutlak yang harus dimiliki seseorang agar ia dapat terlepas dari pengaruh eksternal.
Seseorang tidak menjadi superior hanya karena ia terlepas dari pengaruh eksternal yang bertujuan untuk menjernihkan rasio miliknya. Ketika seseorang atau kelompok merasa superior, tanpa disadari ia akan menempatkan diri pada suatu hegemoni. Akibatnya, seseorang yang merasa dirinya superior akan memaksakan kehendak yang mereka yakini sebagai suatu kebenaran kepada kelompok yang inferior. Akibatnya, kebaikan tertinggi dari kelompok superior bukanlah suatu rasio murni, melainkan hanya ambisi untuk menguasai apa yang perlu dikuasai.
Di sisi lain, kebaikan tertinggi yang berusaha dibentuk oleh kelompok inferior tidak akan berkembang dengan baik karena dibayangi oleh teror dari kelompok superior. Nilai-nilai tersebut menyebabkan permasalahan yang tak terselesaikan. Superioritas dan inferioritas akan terus ada selama kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan bersama dan meminimalisasi kekacauan masih tersegmentasi oleh egoisme.
Menjadi superior atau inferior bukan merupakan pilihan setiap individu, mereka dibentuk oleh opini yang sudah berkembang sejak lama, khususnya bagi mereka yang belum membentuk pemikiran dan sikap kritis.
Dikotomi antara superioritas dan inferioritas adalah pilihan yang ditetapkan secara apriori oleh kelompok. Cara yang paling baik untuk mulai meminimalisasi segmentasi sosial adalah dengan memisahkan diri sementara waktu dari masyarakat untuk memurnikan pikiran dari gangguan eksternal.
Etika berekspresi di media sosial tidak hanya penting untuk menjaga sistem sosial yang ada agar tetap kondusif. Etika juga berperan untuk membentuk kesadaran manusia bahwa setiap individu memiliki batasan dan juga kebebasan yang harus dihormati saat beraktivitas di media sosial, khususnya dalam menghadapi suatu fenomena.
Kita sering menemukan seseorang yang berusaha memperjuangkan keadilan di Twitter, mereka biasanya dikenal sebagai Social Justice Warrior (SJW). Namun, SJW mulai mengalami pergeseran makna seiring dengan tindakan dan argumentasi yang kurang mendalam atau cenderung pragmatis. Kita tidak membutuhkan SJW yang bersikap pragmatis karena akan menyebabkan “kekacauan” yang lebih parah dan merusak upaya untuk menciptakan hubungan harmonis dalam bermasyarakat.
Etika Plato tersebut perlu dipertimbangkan sebagai salah satu cara bagi setiap individu untuk berpikir mandiri dan mencapai kebaikan tertingginya. Ia membatasi diri dari pengaruh eksternal bukan untuk menutup mata dari realitas yang ada, melainkan sebagai upaya untuk menjernihkan pemikiran sebelum akhirnya dapat secara utuh menyikapi berbagai fenomena.