“Bagi kami, hutan adalah hidup dan hidup adalah hutan,” kata Wa Sahdi sambil melinting sebuah cerutu. “Dan sekarang, kami sedang berjuang antara hidup dan mati.”
Menurut Wa Sahdi—sosok yang mengingatkanku pada aktor Henky Solaiman dalam wujud putus asa, seminggu yang lalu, puluhan petugas tiba-tiba memasuki Hutan Tegalhejo—memasang patok yang memisahkan kampung-kampung mereka dengan Hutan Tegalhejo. “Itu seperti menceraikan badan dan nyawa,” katanya lagi. “Dan siapa pun tidak akan terima diperlakukan begitu.”
Desa Tegalhejo ini sendiri terdiri dari enam kampung yang dibangun mengitari Hutan Tegalhejo—dengan letak yang berjauh-jauhan: ada yang di atas bukit dan ada yang di lembah; ada yang bergantung pada hasil tani dan ada pada hasil kebun. Yang sama adalah mereka sama-sama berumah dan menggantungkan hidup pada Hutan Tegalhejo.
“Kami sudah tinggal di sini sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum negara dan orang-orang itu ada,” tambah Wa Sahdi. “Kamu ingin mengunjungi tempat kejadian kemarin?”
“Ya, tentu. Saya memang akan pergi ke sana,” jawab saya.
Setelah Wa Sahdi mengambil sebuah carangka dan parang dari dalam rumah, kami pun segera meninggalkan halaman yang penuh dengan singkong dan waluh itu, lalu mengambil arah selatan melewati sebuah jalan setapak. Setelah lima belas menit menghadapi jalan yang di kanan-kirinya tumbuh ilalang yang sering meninggalkan rasa perih di kaki, kami akhirnya sampai di sebuah bukit yang menampakan sebuah bekas galian di kejauhan.
“Sudah sepantasnya kalian melawan,” gumam saya. Sapuan angin yang datang dari lembah bahkan tidak sanggup memadamkan api yang mulai terpantik. Dan saya pun segera mengambil beberapa gambar dan video.
“Hutan ini adalah warisan para leluhur. Semua orang tinggal dan mencari makan di sini; hidup dan mati di sini,” kata Wa Sahdi sambil merogoh cerutu dan korek api dari saku celananya. “Dan kami tidak pernah menjualnya kepada siapa pun.”
“Di semua tempat, HGU adalah mimpi buruk,” balas saya. “Dan dari situlah orang-orang terkutuk itu mendulang kekayaan.”
“Begitulah,” balas Wa Sahdi. Bau cerutu yang terbakar mulai menyebar di udara. “Mereka hanya perlu datang dan mengkaplingnya. Dan setelah itu, tanah-tanah itu pun beralih pada perusahaan-perusahaan yang sama licik dan rusaknya dengan mereka.”
Saat kami meneruskan perjalanan, mata saya tidak pernah lepas dari lereng yang akan membawa kami menuju sungai yang airnya bahkan sama beningnya dengan air kemasan yang saya bawa dari kota.
“Ini adalah bekas huma saya,” kata Wa Sahdi setelah kami melintasi anak sungai itu. “Kau tahu jika kami sering diprotes oleh orang-orang sepertimu karena membuka lahan dengan cara membakar hutan?”
“Benarkah? Bagaimana bisa?” balas saya, sedikit bingung.
“Menurut kalian, itu adalah cara yang keliru,” balas Wa Sahdi sambil menuntun saya memasuki sebuah saung yang berada persis di pusat huma. Ada banyak tali yang mengarah ke sana dan saat Wa Sahdi menarik-nariknya, bunyi-bunyian pun segera terdengar dari segala arah—beberapa ekor burung tampak terbang dari dalam huma lalu hinggap kembali di tempat-tempat yang jauh.
“Kalian sering bertingkah sok tahu dengan segalanya, dengan semua urusan hutan—mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak. Padahal kalian tidak pernah hidup dan tinggal di dalamnya,” kata Wa Sahdi mula-mula. “Kalian sering menyamakan pembakaran yang kami lakukan dengan pembukaan lahan-lahan perkebunan di luar sana. Kalian jelas keliru karena di sini, kami hanya ingin mencukupi kebutuhan kami. Tidak lebih. Kami tidak pernah membawanya ke pasar-pasar di luar Tegalhejo.”
Setelah mengaso sebentar, Wa Sahdi kemudian mengajak saya mengelilingi bekas humanya itu.
“Kami selalu melakukan semuanya dengan teliti, dengan hati-hati; dengan perhitungan yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Dan itu tidak pernah dilakukan oleh perusahaan mana pun.”
Di batas antara huma dan sungai, Wa Sahdi kemudian mengeluarkan parangnya, lalu memangkas gulma-gulma yang merumpun di sana—memetik beberapa helai daun singkong dan pepaya.
“Setelah tidak produktif lagi, kami akan meninggalkan huma ini dan membiarkan alam mengubahnya menjadi subur kembali. Daun singkong dan buah-buahan yang tersisa akan mengundang hewan-hewan untuk datang dan meninggalkan kotoran di sini. Dan setelah lima tahun, setelah tanahnya subur kembali, kami akan kembali ke tempat ini lagi.”
Tidak hanya daun singkong dan pepaya yang Wa Sahdi peroleh dari bekas humanya itu, tapi juga terubuk dan cabai. Dan setelah Wa Sahdi membungkusnya dengan daun pisang—menyimpannya di dalam carangka, kami segera meneruskan perjalanan—melewati pohon-pohon yang menyerupai tower-tower listrik.
“Semua ini berkat leluhur-leluhur kami,” kata Wa Sahdi sambil menyelinap di antara pohon-pohon itu. “Kamu mau melihat pohon kakek saya?”
“Pohon kakek anda? Apa maksudnya itu?”
“Di sini, setiap anak yang lahir harus ditandai dengan sebuah pohon. Dan karena itu, orang yang ditandai itu pun harus menjaga dan merawat pohon miliknya dengan sebaik-baiknya, dengan segenap jiwa-raganya.”
Di sebuah tempat yang tanahnya tertutupi tumpukan kayu lapuk dan guguran daun, Wa Sahdi akhirnya menunjukkan pohon kakeknya itu; pohon sebesar drum yang telah ditumbuhi oleh aneka lumut dan gangga itu.
“Kau tahu ada berapa banyak pohon yang menjadi tanda kelahiran di tempat ini?”
“Berapa banyak?”
“Dua belas ribu,” katanya.
“Dua belas ribu?” balas saya tak percaya.
Saya menghela napas panjang dan kemudian berpikir: ada enam kampung di Desa Tegalhejo ini, dan jika diambil rata-rata, berarti setiap kampung punya sekitar dua ribu pohon; dua ribu tanda kelahiran. Itu jelas jumlah yang besar untuk sebuah kampung di tengah hutan begini.
“Itulah kenapa kami akan mati-matian mempertahankannya,” kata Wa Sahdi lagi.
Dua puluh menit dari pohon kakek Wa Sahdi itu, kami akhirnya sampai di sisi lain hutan, di bekas galian yang terlihat dari atas bukit tadi.
“Ada berapa orang yang kemarin dibawa, Wa?”
“Lima orang. Wa Komar, Wa Haji, Asep Doma, Ade Kalapa, dan Gani Muning.”
Dan saya pun segera mencatat nama-nama itu pada sebuah kertas.
“Tidak hanya sekali ini saja mereka merampas tanah kami,” kata Wa Sahdi. “Dulu, mereka pernah merampas tanah seluas 200 hektare yang ada di seberang tempat ini. Tanah itu milik Kampung Pangangonan yang hampir semua warganya bekerja sebagai pengembala domba dan sapi. Meski rumah mereka tidak digusur, tapi karena mereka hanya bisa menggembalakan domba dan sapi, mereka akhirnya menyerah: ada 22 keluarga yang harus pindah ke Kampung Tegallega; padang rumput lain yang terletak dua jam dari sini,” jelas Wa Sahdi sambil menuding arah matahari akan tenggelam.
Angin yang datang dari selatan dan menyelinap di antara gundukan-gundukan tanah membuat saya tiba-tiba menggigil—saya bisa merasakan sisa-sisa ketegangan yang terjadi beberapa jam sebelumnya itu. Dan saya pun segera mengambil beberapa gambar dan video.
“Ayo,” Wa Sahdi mengingatkan. “Bahaya berlama-lama di sini.”
Dan saat kami sedang berjalan pulang itulah, Wa Sahdi tiba-tiba berkata; suaranya terdengar sangat berat. “Kamu mau ikut ke suatu tempat?”
“Ke mana?” jawab saya, sedikit ragu.
Kami mengambil jalan berbeda dengan yang kami lalui sebelumnya. Dan setelah setengah jam, setelah melewati hutan bambu dan aren, kami akhirnya sampai di sebuah tempat yang penuh dengan lempengan batu, dengan pohon-pohon yang sama besarnya dengan tanda kelahiran kakek Wa Sahdi sebelumnya.
“Sama dengan kelahiran, kematian pun harus ditandai dengan sebuah pohon,” kata Wa Sahdi. “Dan pohon-pohon ini merupakan tanda kematian bagi leluhur-leluhur kami saat orang-orang Belanda berusaha merampas cengkih-cengkih kami.”
Mendengarnya, bulu kuduk saya saya mendadak berdiri saat itu juga. Saya seperti mendengar banyak tanda dan gelagat dari ucapan Wa Sahdi itu.
*****
Editor: Moch Aldy MA