Fiksi nyatanya tak sekadar susunan kata, melainkan jendela ke dunia lain, tempat di mana ketidakadilan dapat dilihat, dirasa, dan—kadang-kadang—dilawan. Saya membayangkan fiksi layaknya oasis di tengah dunia yang direnggut kapitalis. Di sanalah ‘kan kita dapati, tempat menepi; merenungi dunia, lantas membayangkan kemungkinan lebih baik. Fiksi lebih dari sekadar pelarian; ia medan perlawanan. Ruang tempur senyap menghadapi ketidakadilan—penindasan.
Dunia kapitalis tak pernah mandek mengajari kita berlomba, bersaing, dan memenangi semuanya buat diri sendiri. Keberadaan fiksi menawarkan teras dan halamannya untuk kita menepi dan berbagi rasa: rasa sakit, harapan, dan kemarahan. Setiap ceritanya menyuguhkan secangkir pemaknaan; bahwa di tengah peradaban yang tampak tak peduli ini, masih ada ruang untuk saling berbagi.
Antonio Negri, seorang filsuf politik Marxis penulis Empire, melihat antagonisme yang manak dari kapitalisme bukanlah akhir dari segalanya; ia adalah awal dari sesuatu yang baru, sebuah kemungkinan untuk membangun kebersamaan. Sementara Jean-Luc Nancy, penulis Being Singular Plural menyebutnya “komunitas yang akan datang,” tempat di mana keberbedaan menjadi benih solidaritas—membangun jejaring. Dan barangkali, hanya dalam fiksi, komunitas semacam itu menjadi nyata adanya.
Kapitalisme sebagai mesin mahabesar memang terus berusaha menyentuh dan menubuh pada segala aspek dalam diri manusia, mencipta jurang antara yang memiliki dan yang tak memiliki. Sebagaimana api, ia membakar, tetapi juga menerangi. Dalam fiksi, kita sering kali menemukan api ini menyala dalam kisah-kisah tentang mereka yang ditindas tetapi tak menyerah.
Baca juga:
- Ken Wilber, Herbert Marcuse, Kapitalisme, dan Manusia Empat Dimensi
- Paradoks Media Sosial pada Era Kapitalisme Pengawasan
Dalam novel Jatisaba karya Ramayda Akmal, kapitalisme menyeruak dalam bentuk perdagangan manusia. Ramayda mengeksplorasi bagaimana ketamakan merobek batas kemanusiaan, Tokoh Mae mengantarkan pembaca menyaksikan kerakusan dunia. Novel getir ini mengajak pembaca merasakan menjadi tokoh Mae; yang mempertanyakan mengapa tindakan jahatnya harus dilakukan kepada orang-orang yang sangat dikasihinya. Pertanyaan itu merupakan bentuk perlawanan yang lahir dari kesadaran akan betapa salahnya keadaan tersebut, meski perlawanan itu tak sepenuhnya terwujud dalam aksi nyata. Mae, dengan pertanyaan itu, mencoba mempertahankan sisa-sisa kemanusiaannya.
Sementara itu, dalam karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie seperti Di Tanah Lada, antagonisme muncul dalam bentuk kemiskinan struktural dan hubungan keluarga yang penuh konflik. Di mata Salva, tokoh utama yang masih kanak, dunia kapitalisme tampak sebagai permainan kejam, di mana orang dewasa adalah korban sekaligus pelaku. Dan di tengah kegetiran itu, Ziggy mendedah makna cerah. Hubungan Salva dengan P tetangganya menjadi metafora ruang berbagi kecil yang memberi arti dalam kehidupan yang serba rumit. Dalam karya ini, antagonis kapitalisme tak hanya dipahami, tetapi juga diimbangi dengan harapan subtil.
Seperti halnya Ramayda dan Ziggy, Gabriel García Márquez dalam Seratus Tahun Kesunyian mencatat jejak kapitalisme yang menjarah tanah dan budaya. Melalui keluarga Buendía, terlihat bagaimana eksploitasi tak hanya menghancurkan alam tetapi juga manusia. Namun, di balik tragedi itu, fiksi Márquez juga menyimpan perlawanan. Di bawah pohon kastanye, José Arcadio Buendía menjadi simbol dari ingatan yang tak mati-mati. Ingatan yang, meski dihantui kesunyian, tetap hidup dalam kenangan kolektif. Bukankah ini cerminan dari antagonisme yang kreatif? Bahwa meski hancur, masih ada ruang untuk bertahan dan berbagi?
Di dunia nyata, ruang berbagi makin langka. Taman-taman jadi lahan parkir, forum-forum diskusi digantikan algoritma media sosial yang palsu dan dangkal. Tetapi dalam fiksi, ruang berbagi luas terbuka. Di sana, kita bisa menangis bersama Atticus Finch dalam To Kill a Mockingbird, atau berteriak bersama Katniss Everdeen di arena The Hunger Games. Cerita-cerita itu siap mengingatkan kita tentang ke-salingberbagi-an.
Jean-Luc Nancy berbicara tentang komunitas yang dibangun dari keterhubungan. Bukan keterhubungan yang seragam, tetapi yang berakar dari perbedaan. Fiksi mempertemukan kita dengan komunitas semacam ini. Lauren Olamina dalam Parable of the Sower misalnya, membangun Earthseed dari reruntuhan dunia. Di tengah kehancuran, ia mengajak orang-orang untuk percaya pada sesuatu yang lebih besar dari diri mereka: kepercayaan akan masa depan. Kisah yang tak sekadar menginspirasi melainkan turut menggugah. Apakah kita, di dunia nyata, berani membayangkan komunitas seperti itu?
Di dunia kapitalisme, komunitas sering kali dirusak oleh logika untung dan rugi. Tetapi dalam fiksi, kita diingatkan bahwa komunitas adalah tentang cinta, empati, dan berbagi. Dalam novel-novel yang mengangkat isu ketidakadilan, kita belajar untuk melihat dunia melalui mata orang lain, untuk merasakan penderitaan yang bukan milik kita. Dan dari sana, kita mulai memahami bahwa antagonisme bukanlah hal yang harus ditakuti; ia adalah pintu menuju perubahan!
Fiksi pada akhirnya tak hanya berhenti pada dongeng. Ia cermin bagi dunia nyata, dengan segala keindahan dan kehancurannya. Ketika membaca 1984 karya George Orwell, kita melihat kontrol total yang menyerupai sistem kapitalisme modern: pengawasan yang konstan, kebebasan yang semu. Tetapi di sana kita dapati pula resistensi, sekecil apa pun. Winston Smith, meski kalah, tetap berjuang untuk mencintai, untuk merasakan, dan menjadi manusia.
Dalam Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer membawa kita ke Hindia Belanda, di mana kolonialisme bekerja seperti kapitalisme: menghisap yang lemah demi keuntungan. Minke dan Nyai Ontosoroh, kita melihat bagaimana individu yang berbeda bisa menciptakan bentuk komunitas baru, melawan struktur yang menindas. Bukankah kapitalisme modern adalah perpanjangan dari kolonialisme yang sama?
Baca juga:
- Dari Bumi Manusia ke Istana: Refleksi 100 Tahun Pramoedya dalam 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran
- Seratus Tahun Pramoedya Ananta Toer
Fiksi menjadi pintu menuju dunia alternatif, tempat di mana kita bisa membayangkan kehidupan yang lebih baik. Membaca fiksi tak hanya menjadikan kita sebagai saksi. Melainkan menuntun kita menjadi bagian dari cerita yang kita baca. Kita ikut merasa, ikut merenung, dan, kadang-kadang, ikut berjuang. Di dunia penuh riuh, fiksi menjadi penyelamat bagi suara diri. Di dunia penuh perpecahan, fiksi menjadi penghubung antar jiwa.
Dan pada akhirnya, bukankah itu yang kita butuh? Sebuah ruang, meski kecil, di mana kita bisa berbagi. Ruang di mana kita diingatkan bahwa kita tidak sendiri. Di tengah peradaban antagonisme, fiksi adalah oasis. Sebuah tempat untuk sejenak menepi, menarik napas dan percaya bahwa masih ada harapan—di antara Kata, di antara Cerita, di antara Kita. (*)
Editor: Kukuh Basuki