Sejak lama, KAI menjadi pemain tunggal di industri perkeretaapian. Sejak lama pula, KAI memonopoli bisnis layanan angkutan kereta api. Berkat monopoli bisnis inilah kepiawaian KAI dalam memainkan tarif tiket nyaris tak terdeteksi masyarakat awam.
Ketiadaan perusahaan tandingan di layanan yang sama ini juga gagal menyulut adanya perang harga. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian, kalau mau, kita semua bisa berkonspirasi, lalu mendirikan perusahaan swasta tandingan. Sebab, penyelenggaraan angkutan kereta api di Indonesia kini bisa dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari perusahaan swasta hingga perseorangan.
Apa boleh buat, sampai detik ini, KAI beserta anak-anak perusahaannya masih menjadi satu-satunya penyedia jasa layanan kereta api konvensional (terkecuali MRT dan LRT). Efeknya, KAI bisa bebas bermain-main dengan menerapkan kebijakan tarif batas atas dan tarif batas bawah berupa pembagian subkelas yang mekanismenya seenak udel sendiri.
Bayangkan, perbedaan subkelas tersebut hanya didasarkan pada momentum pembelian tiketnya alias yang belinya dadakan bakal digetok harga paling mahal. Pihak KAI berargumen:
Selamat sore, Kak. Tidak ada perbedaan layanan dan fasilitas pada masing-masing subkelas Ekonomi C, CA, P, Q, S, atau V. Beberapa subkelas menunjukkan opsi tarif yang berbeda pada hari-hari tertentu. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pelanggan bisa memilih tarif yang diinginkan saat melakukan pemesanan jauh-jauh hari.
Kesimpulannya, mau tiket kamu paling murah atau paling mahal, kursi yang dipakai sama saja. Tidak ada ceritanya pemegang subkelas tertinggi bakal dapat kursi pijat. Siapa cepat, dia dapat tiket paling murah, huh!
Sikap Abai KAI terhadap Daya Beli Masyarakat
Perasaan dicurangi ini memunculkan banyak trik untuk bepergian menggunakan kereta api dengan murah. Bahkan, kalau ada profesi yang membagikan lifehack cara berburu tiket murah, saya yakin jasa itu akan laris manis saking minimnya sosialisasi dan informasi soal klasifikasi tiket dari KAI.
Demi tiket kereta murah, orang-orang rela menempuh cara-cara merepotkan seperti mengejar tarif khusus, tarif parsial, hingga membeli tiket ketengan yang mengharuskan penumpang transit antarkereta. Coba tebak, apa respons KAI mengenai celah yang berhasil diakali oleh para penumpang ulet ini?
KAI justru menaikkan tarif tiket secara kolektif. Artinya, tiket tarif khusus sebagai salah satu opsi termurah malah jadi kurang diminati karena ternyata sama mahalnya dengan tarif biasa setelah dihitung-hitung. Apalagi, jika kita menerapkan metode tersebut untuk perjalanan full trip, beuhhh, yang ada malah lebih mahal.
Bukan sepenuhnya salah KAI, kenaikan wajib setor TAC ke Kemenhub menjadi faktor lain yang membuat tarif kereta api jadi mahal. Yang jelas, implementasi kenaikan tarif tersebut sangat terasa untuk setiap rute perjalanan yang menyinggahi Kota Yogyakarta sebagai rute basahnya KAI.
Kereta Api Argo Masa Kini
Nafsu KAI mengeruk pundi-pundi uang tidak berhenti di situ saja. Dari yang awalnya memainkan tarif tiket, kini giliran nostalgia dan simbol prestisius yang dipermainkan.
Pernah dengar KA Argo Bromo Anggrek atau Argo Lawu? Dulu, cuma orang-orang berduit yang mampu menaikinya. Sekarang juga sama saja, sih, tapi, bedanya, branding argo yang tersemat di jajaran armada KAI tak lagi memenuhi fungsinya sebagai ikon kemewahan.
Awalnya, branding argo diinisiasi sebagai layanan tertinggi yang memiliki fasilitas di atas kelas eksekutif lain. Namun, sekarang kualitas kelas argo sama persis dengan kelas eksekutif biasa di kereta lain semacam Sancaka, Lodaya, Taksaka, dan lain-lain. Parahnya, Taksaka yang notabene hanyalah kereta eksekutif biasa malah mendapatkan status tematiknya sendiri berupa branding hype trip—keretanya anak muda.
Rancunya kebijakan pembagian kelas juga berakibat pada betapa generiknya tampilan interior di beberapa kereta. Pokoknya, tinggal lihat saja kalau eksterior gerbong berupa stainless steel mirip botol kalengan, dijamin interior di semua gerbong terkait bakal sama saja. Tidak adanya diferensiasi fasilitas inilah yang memengaruhi penurunan kualitas kereta dengan branding argo. Sayang seribu sayang, generasi tua yang masih terjebak dalam sentimen kejayaan kereta argo di masa lalu tak mampu mengelak dari jebakan penjerat uang KAI ini.
Kereta argo dipatok tarif lebih tinggi walau memiliki fasilitas seragam dengan kereta eksekutif non argo. Ketidaktahuan para calon penumpang membuat mereka bisa dengan mudah dikibuli. Memang, biasanya setiap rangkaian dinas kereta argo menggandeng satu gerbong luxury sebagai kelas khusus yang harga tiketnya selangit, tapi kalau kelas regulernya gitu-gitu aja, ya, sama saja bohong.
Belum lagi, beberapa kereta argo yang masih menggunakan rangkaian outdated. Dengan menaiki rangkaian itu, penumpang serasa diajak menikmati wahana roller coaster berkedok kereta api “eksekutif” karena gerbongnya yang super gemblodak. Bahkan, sepertinya fitur active noise cancelling milik earphone flagship pun tak mampu meredam terpaan bisingnya suara dari gerbong tua ini.
Jika merunut ke belakang, bukan KAI saja yang patut disalahkan atas segala kecacatan desain tersebut, melainkan INKA. Ignasius Jonan selaku mantan Dirut KAI saja sampai-sampai menyebut kereta produksi INKA tersebut tak layak mengangkut manusia. Namun, mau bagaimana lagi, hubungan dagang antara kedua perusahaan itu bak semut dan gula.
Problem-Problem di Kelas Ekonomi
Puncak komedi dari polemik perkeretaapian ini adalah kebijakan Kemenhub menghapus subsidi dan memberlakukan tarif normal pada kereta berkualitas subsidi. Kereta Matarmaja, misalnya.
Matarmaja menarik gerbong dengan formasi tempat duduk 3-2 berhadap-hadapan. Artinya, salah satu penumpang berpotensi terimpit di tengah kursi, tapi tetap membayar tarif normal. Subkelas tertinggi kereta ini mencapai harga dua ratus ribu rupiah.
Bayangkan, sudah bayar dua ratus ribu masih harus duduk di kursi tegak lurus, posisi tengah, dan beradu dengkul dengan penumpang di depan kita. Komplet penderitaanmu.
Makanya, memilih layanan KAI itu cukup tricky. Kesimpangsiuran pembagian armada antarkereta juga menambah kebingungan para calon penumpang yang masih awam dengan moda transportasi ini.
Untuk kelas ekonomi saja ada banyak jenisnya. Mulai dari ekonomi PSO (public service obligation) alias bersubsidi, ekonomi PSO harga reguler, ekonomi new image, ekonomi 2017, hingga ekonomi premium. Kekurangan masing-masing jenisnya pun bervariasi, mulai dari ekonomi PSO yang konon katanya tidak manusiawi, ekonomi new image yang punya legroom sempit, hingga ekonomi premium sebagai jenis kelas ekonomi terbaru sekaligus terbaik yang punya masalah dengan AC-nya yang berdengung luar biasa berisik.
Tidak heran kalau banyak yang tergocek ketika memesan tiket kereta. Kelas “ekonomi” yang tadinya punya makna literal saja bisa jadi bermakna figuratif, tergantung siapa yang memesan tiketnya. Kalau yang pesan bapak-bapak milenial nan tak rajin scroll timeline media sosial? Ya sudah, good luck saja.
Baca juga:
Opsi masyarakat dalam menentukan kenyamanan perjalanan juga berpotensi terpangkas karena kelak kereta kelas bisnis akan disuntik mati. Kelas yang tadinya menjadi penengah di antara dua kutub harga dan menjadi pilihan bagi kaum mendang-mending ini terancam dihapuskan.
Saran saya, KAI sebaiknya segera mengubah slogan “Anda adalah Prioritas Kami” menjadi “Uang Anda adalah Prioritas Kami”.
Editor: Emma Amelia