Peminat kajian filsafat (khususnya fenomenologi dan eksistensialisme). Menulis puisi, cerpen, novel, esai. Pernah belajar ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada.

Kematian yang Nyaring

Candrika Adhiyasa

9 min read

Jika seseorang mati, tempat macam apakah yang akan ia tuju? Apa benar tempat di seberang sana, yang menjadi peraduan bagi para pejalan hidup, adalah tempat yang terang benderang serta membawa sekeranjang ketenangan? Ataukah tempat itu merupakan suatu tempat di mana kemuraman hadir begitu pekat bersama lecutan api yang silih jilat membakar perasaan? Aku membayangkan, bahwa pada suatu masa, ketika aku melompat dari kehidupan ini ke kehidupan berikutnya (jika memang ada), maka aku akan menerobos suatu tempat yang mengambang seolah tanpa pijakan. Seperti di dalam lautan dalam dengan cahaya yang tidak terlalu redup lagi tidak terlalu terang. Cahaya yang biasa saja, yang seperlunya, yang umum saja, tetapi menghadirkan kerawanan yang kentara. Di sana aku mengambang tanpa gerakan, tetapi tetap berpindah dari titik entah di mana menuju ke titik entah di mana. Apalah yang pasti dalam kehidupan, apalagi kehidupan setelah kematian yang tak seorang pun pernah berada di sana lalu kembali untuk menceritakan kebenarannya?

Maka, aku hanya bisa membayangkan. Dan betapa sesuatu yang bernama bayangan lebih mungkin untuk tidak menjadi kenyataan. Namun, sebaiknya kita puas dengan itu. Sebab, kita memang tak punya apa-apa lagi untuk diyakini.

Aku terus mengambang. Kini aku diapit oleh dua sosok (yang mungkin saja) malaikat atau sejenisnya. Mereka berjenis kelamin perempuan. Perempuan muda yang dipenuhi keceriaan. Aku tak ingat apakah mereka memiliki tubuh bagian bawah seperti dongeng putri duyung atau bagaimana. Satu hal yang kuingat hanyalah, mereka begitu menawan.

Kembang-kembang merah merekah dengan cepat. Alangkah sesuatu bernama waktu itu benar-benar misterius. Kita tak pernah mengenal waktu, kita hanya mengenal angka dalam arloji yang disepakati sebagai penanda waktu. Mengenai apa sebenarnya waktu itu, adakah manusia yang benar-benar mengetahuinya? Maka, cepat atau lambatnya waktu kukira tak ada kaitannya dengan waktu yang kita rumuskan dalam angka-angka, melainkan sangat erat kaitannya dengan perasaan yang barangkali tak akan pernah bisa dirumuskan.

Aku terus membayangkan. Adakah tempat yang akan kutuju suatu saat merupakan sebuah tempat yang benar-benar ingin aku kunjungi atau justru sebaliknya. Kukira, aku tidak akan pernah tahu hingga aku mengalaminya sendiri. Kematian… kematian… betapa ia adalah persoalan yang begitu membingungkan. Betapa mengerikannya apabila kematian dapat diketahui perangainya dengan gamblang. Kukira, tak ada satu pun manusia yang akan siap menghadapi kenyataan itu. Setiap manusia ingin pergi ke sebuah tempat bernama surga, tetapi adakah di antara mereka yang rela mati untuk sampai ke sana?

Kehidupan… kehidupan… betapa sebentar ia mampu bersinar. Sebegitu cepatnya kehidupan meranggas bagai daun gugur yang diterpa angin—luruh ke tanah, membusuk ditempa usia. Untuk apakah sebenarnya kehidupan yang sangat cepat ini berlangsung?

Aku masih membayangkan. Di tempat antara kehidupan dan kematian yang sebegitu mengambang itu, suara-suara yang memanggil namaku timbul tenggelam dalam benak. Namaku banyak disebut, tetapi emosi macam apakah yang membersamai penyebutan nama itu? Kesedihan, kehilangan, kekecewaan, kemarahan, kepuasan, kemuakan, kegembiraan… bukankah semua itu mungkin saja? Tak semua orang akan menangisi kepergianku. Sebagian lain mungkin akan tidak peduli dan tidak terpengaruh—serta tetap menjalani hidup secara biasa, sebagian lainnya mungkin bergembira karena akhirnya orang yang (mungkin saja) mereka benci lenyap dari dunia ini. Ah, betapa kehidupan selalu berurusan dengan perasaan. Barangkali memang benar, kehidupan ini akan menjadi sangat hampa tanpa kehadiran berbagai emosi, misalnya cinta dan benci.

Aku terus mengambang, di sebuah dunia yang ganjil dan tidak diketahui. Menelusuri berbagai misteri yang terpecah menjadi kepingan-kepingan tak utuh yang entah bernama kenangan atau khayalan. Di sebuah dunia luas yang jauh lebih luas dari yang bisa diperhitungkan, aku seperti menuju sebuah titik yang entah di mana. Namun aku bisa membayangkan, bahwa sebuah titik yang entah di mana itu merupakan sebuah pintu. Pintu yang menghubungkanku dengan tempat peraduan di mana diriku yang sebenarnya akan dibaringkan entah dalam kedamaian atau kegelisahan. Suatu hal yang bisa kupastikan, setelah membuka pintu itu, aku membayangkan, aku benar-benar akan sendirian. Bahkan suara-suara yang menyebut namaku akan luput dari pendengaran dan aku terlempar dalam pengasingan yang bisa saja mengesankan dan bisa saja mengenaskan.

Aku akan membayangkan sekali lagi. Akankah… akankah kematian menyajikan suatu perasaan yang hangat ataukah dingin untukku di kemudian hari? Aku menantikannya dengan rasa takut. Begitulah kukira bagaimana setiap misteri hendak diketahui. Rasa ingin tahu dan rasa takut. Keduanya sudah seperti cinta dan benci. Amor dan horor. Kebahagiaan dan kesedihan. Pahala dan dosa. Surga dan neraka. Aku dan Aku yang Tak Diketahui.

Aku membayangkan sekali lagi…

Pemuda bernama Nimo itu meraih segenggam pil berwarna kuning yang baru dibelinya secara diam-diam di apotek. Pil semacam itu sebenarnya hanya bisa dibeli dengan resep dokter. Namun entah bagaimana, tanpa resep dokter, Nimo dapat memperolehnya—meski tidak dapat dibilang mudah. Dengan jumlah pil sebanyak itu, sudah jelas: siapa pun yang meminumnya akan mati. Semula tekadnya untuk bunuh diri sangat kokoh, tetapi entah kenapa, saat pil-pil itu berada di genggamannya, tangannya mendadak gemetar dan tekadnya menciut. Ia tidak begitu mengerti kenapa manusia bisa begitu takut menghadapi kematian, dan juga ia tidak mengerti kenapa ia yang semula sudah dengan matang akan mengakhiri hidupnya dengan lebih cepat mendadak merasakan ketakutan yang umum dirasakan banyak manusia. Hal itu barangkali karena Nimo juga seorang manusia.

Nimo memandang jam dinding. Waktu telah melewati tengah malam. Cuaca yang dingin, embun yang menempel di kaca, lampu lalu lintas yang kuning berkedip-kedip, membuat keraguannya bertambah tebal. Tiba-tiba perasaan carut marut menghinggapi hatinya yang begitu rapuh. Sebelum membuka bungkusan pil yang dibelinya siang tadi, ia sempat membaca beberapa buku secara acak, kemudian menyusunnya kembali dengan hati-hati di tempat semula.

Nimo memandangi lampu lalu lintas itu dengan tatapan yang sendu. Matanya menerawang entah ke mana, tetapi ia dapat melihat sesuatu yang lebih banyak ketimbang apa yang tertangkap indra penglihatannya. Manusia memang memiliki imajinasi, dan imajinasi memberi kemampuan pada manusia untuk menambahkan berbagai hal pada hal-hal yang serba terbatas. Imajinasi pula—mungkin saja—yang membuatnya bisa membayangkan banyak hal yang sebenarnya tidak perlu dibayangkan secara lebih jauh. Misalnya, tentang tanggapan-tanggapan negatif orang lain kepada kita. Kiranya itu yang membuat Nimo hidup dalam kebosanan. Ya, ia sangat bosan karena mampu menebak banyak hal. Ia mampu menebak bagaimana pola interaksi dan ke mana arah tujuannya, kemudian menebak (atau lebih tepatnya membayangkan) berbagai siasat tersembunyi dari setiap senyuman sopan orang-orang kepadanya. Hal-hal seperti inilah yang membuatnya merasa tidak nyaman, dan ketidaknyamanan itulah yang menurut Nimo cukup untuk dijadikan alasan untuk tidak meneruskan hidupnya.

“Seandainya aku bisa merasakan apa itu cinta…” begitulah Nimo seringkali bergumam. Bahkan kali ini pun, ia menggumamkan kalimat itu lebih banyak dari biasanya. Ia ingat sebelumnya, mungkin beberapa hari lalu, pernah melipat sudut halaman kertas buku bertema cinta yang ditulis filsuf kuno asal Yunani. Ia tiba-tiba merasa, setidaknya, harus membuka beberapa lembar buku itu dan membacanya kembali (meski hanya secara acak). Pil-pil di genggamannya ditaruh di meja kerjanya, di sisinya berserakan kertas berisi catatan sehari-hari. Catatan-catatan itu berisi daftar-daftar pertanyaannya tentang hidup, bila tidak berlebihan anggap saja demikian. Tangannya meraih buku bertema cinta yang dicarinya di lemari. Ia menaruhnya di meja, memandangi wajah orang tua yang terpampang dalam sampul buku tersebut. Simposium… Telunjuk dan jempolnya mulai membuka lembar-lembar buku tersebut dan mencari ujung halaman yang pernah dilipatnya. Namun sebelum menemukan halaman yang ia cari, ia berhenti. Menutup buku tersebut dan menaruhnya kembali di lemari. Ia memegangi kepalanya yang penuh dengan pergulatan pikiran. Ia kembali meragukan tekadnya—tekad yang sebenarnya tak begitu ia inginkan. Namun seolah-olah waktu memaksanya untuk bertindak cepat. Ia harus memilih antara menjaga tekad itu atau menghancurkannya. Jendela yang lembap itu ditatap kembali oleh Nimo. Ia memandang dunia yang ada di baliknya. Ia seperti mencari sesuatu yang kemungkinan besar bisa membantunya lepas dari situasi yang dipenuhi kegelisahan ini. Apakah benar, kematian yang mendadak lebih baik ketimbang kematian yang ditunggu-tunggu? Jawabannya mungkin saja ya. Seperti kenikmatan tidur yang tiba-tiba. Kenyenyakannya tiada terkira. Sama halnya dengan mati. Mati secara mendadak agaknya lebih melegakan daripada harus melewati detik demi detik sembari memikirkan bahwa kematian mendekat selangkah demi selangkah ke hadapan kita. Ini sangat mengerikan! pikir Nimo.

Nimo duduk di kursinya dan tetap menghadap ke jendela itu. Pil-pil kuning itu berserakan di hadapannya beserta kertas-kertas catatan dan buku-buku yang tak selesai ia baca. Ia memutuskan untuk merokok, menyulutnya, dan mengembuskan asapnya dengan perlahan.

“Apakah ini akan menjadi rokok terakhir yang kuhisap?” badannya melemas. Punggungnya yang kurus itu tersandar dengan berat ke punggungan kursi. Ia memandangi kusen jendela bagian atas yang berwarna hijau tua, memandang ke arah lemari dan buku-buku yang ia beli dengan harga mahal (sehingga membuatnya sering tidak punya uang untuk membeli makanan), memandang wajahnya di cermin kecil di sudut meja, dan memandangi dalam-dalam sorot matanya sendiri.

“Aku memang gila. Haha…” tawa itu terputus-putus, dan ia pun terbatuk-batuk karena asap yang dihisapnya tertelan banyak. Nimo menunduk dan memejamkan mata.

“Bila aku mati, adakah orang yang akan menangisi kematianku? Adakah orang yang menyesal karena pernah menyakitiku dan belum sempat meminta maaf padaku? Adakah orang yang menyesal karena memendam perasaan tertentu dan tidak pernah berkesempatan untuk menyampaikannya padaku? Adakah orang yang malah tertawa dengan dingin dan berkata ‘akhirnya, mampus juga kamu!’ kepadaku? Adakah orang yang akan mendatangi pusaraku dan mungkin menaburkan beberapa jenis bunga sebagai tanda belasungkawa? Adakah… adakah orang yang akan mengenangku sebagai bagian berharga yang pernah ada dalam kehidupan mereka?”

Sepasang mata dengan pupil berwarna biru hadir dalam imajinasinya. Nimo mengenal betul siapa perempuan itu meskipun tetap saja merasa asing. Setidaknya selama kurang lebih tiga tahun ini mereka menjalin suatu hubungan yang dekat. Perempuan itu bernama Maria. Ia adalah anak satu-satunya dari salah satu keluarga kaya raya di kota ini. Meski Maria terkesan seperti kekasihnya, juga sering mengatakan kalimat-kalimat penuh cinta padanya, entah kenapa Nimo merasa semua itu tak pernah cukup dan membuatnya ragu: jangan-jangan ketika aku mati, ia akan bersuka cita karena tidak harus mengasihaniku lagi dan menjalani hubungan yang penuh kepalsuan ini. Selama ini memang Nimo tak pernah menemukan kebohongan dalam tutur kata Maria ketika membicarakan apa pun, terlebih bila berkaitan dengan perasaan. Ia ingin sekali percaya bahwa Maria adalah orang jujur dan layak ia percayai, tetapi hatinya menolak itu dengan keras. Nimo ingin sekali memercayainya, dan sudah beribu-ribu kali ia mencoba memercayainya, tetapi kondisi anak sulung dari salah satu keluarga kaya yang mau menerima orang miskin sepertinya adalah hal yang cukup mencurigakan. Kecurigaan itu mengakar secara mendalam selama bertahun-tahun, dan seringkali membuat Maria menangis apabila menyadari jarak yang secara tidak langsung diciptakan oleh Nimo. Segala keraguan dalam hal memercayai atau tidak memercayai ini bagi Nimo sudah layak dipertahankan. Kita tidak bisa memercayai semua orang, karena semua manusia memiliki kecenderungan untuk berkhianat—dengan cara paling tidak terduga dan ironis, pikir Nimo. Ia menerawang awanan yang pekat dan gelap, menghitung berapa banyak waktu yang ia habiskan dalam kegelisahan semacam ini—dan menerka-nerka kemungkinan waktu kegelisahan ini akan berakhir.

“Mungkin saja waktunya adalah hari sabtu, yang berarti… hari ini.”

Nimo tiba-tiba mengingat masa kecilnya. Di masa itu, ia tidak kesulitan untuk berbahagia. Mudah sekali untuk berbahagia ketika menjadi anak-anak. Setiap tawa adalah pertanda yang tidak bisa diragukan lagi; bahwa ia adalah pancaran kebahagiaan yang murni. Ia dengan mudah pula berteman dan memercayai banyak orang. Tidak pernah ia menemukan teman yang bermuka dua, yang baik di hadapannya dan buruk di belakangnya. Anak-anak akan selalu jujur. Mereka akan mengatakan ‘tidak’ pada apa yang ditolaknya dan akan mengatakan ‘ya’ pada apa yang diterimanya. Itulah kebahagiaan tertinggi yang didapat dari kejujuran. Meskipun kejujuran semacam itu tidak luput menorehkan luka, setidaknya luka-luka itu hanyalah luka kecil yang mudah ditemukan obatnya—pengalihan diri. Anak-anak yang menangis karena tidak diajak bermain teman-temannya, misalnya, akan melupakan hal itu apabila ia mendapat penghiburan baru yang didapat dari keluarganya, atau hewan peliharaannya, atau mainannya, atau semacamnya. Kehidupan yang dibangun dari kejujuran tak Nimo temukan lagi di kehidupannya sekarang. Itu yang membuatnya muak. Waktu membawa manusia pada kebohongan-kebohongan yang abstrak. Kejujuran berubah menjadi mitos di usia dewasa. Banyak orang dewasa memasang senyuman atau bahkan tawa ketika mereka tengah berduka, dan juga sebaliknya—entah atas dasar apa. Kebohongan yang menjijikan.

Nimo memandangi cermin itu lagi. Ia menertawakan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya barusan. Misalnya, pertanyaan “adakah yang akan menangisi kematianku?”, ia tertawa dengan cukup kencang sampai membuat deru angin malam menjadi tertutup—setidaknya di ruangan itu. Ketika menimbang-nimbang tentang kehidupan masa dewasa yang dibangun atas dasar kebohongan itu, ia menjadi sangsi pada segala hal—pada keluarganya, teman-temannya, dan orang-orang yang konon mendukungnya. Pikiran—yang mungkin saja—negatif itu tiba-tiba merasuk dan ikut mengalir bersama pembuluh darahnya, serta membuat ia menggelinjang kepanasan. Nimo tiba-tiba saja marah dan menggebrak meja, kemudian membenamkan wajahnya ke pelataran meja.

“Meskipun aku mati, dunia ini tak akan mengingatku. Lagipula aku bukan siapa-siapa. Dunia tak akan berubah dengan kepergianku. Kurasa itu masuk akal. Pernyataan itu adalah hal yang paling masuk akal!” tekad itu kembali utuh dan kokoh di dalam hati Nimo. Ia mengepalkan tangan dan mengibaskan wajahnya ke udara, serta mengembuskan napas dengan sekuat tenaga. Perasaan carut marut yang bercampur di dalam dirinya masih tetap ada, bahkan bisa dikatakan semakin menggelora. Di antara tekad yang kokoh dan keraguan yang, barangkali, dipenuhi ketakutan, Nimo mencoba untuk memilih. Ia sangat membenci kehidupan karena kebebasannya. Keberadaan pilihan adalah pancaran kutukan yang hebat. Persis seperti kata filsuf Prancis bermata juling itu, manusia dikutuk untuk bebas, dan Nimo sangat terbebani oleh kutukan bernama kebebasan itu. Ia ingin sekali tak memiliki pilihan, yang kemudian membuatnya tak memiliki waktu untuk membiarkan keraguan masuk ke dalam hatinya, dan mungkin membuat malam ini berakhir dengan cepat karena ia tak harus berhadapan dengan pilihan yang rumit. Ia ingin sekali bisa mempercepat kehidupannya tanpa harus merasa ragu atau takut. Semua itu benar-benar memuakkan baginya dan membuatnya bersedih. Ingatan tentang orang-orang di sekelilingnya hadir kembali. Nimo mengingat betapa banyaknya orang-orang yang selalu menawarkan bantuan apabila ia dalam kesulitan, tetapi sebenarnya menyimpan kepuasan dalam hati apabila melihatnya menderita. Mereka semua penipu! Wajah orang-orang yang semula hangat mendadak menjadi dingin dan menyeramkan. Manusia selalu memiliki sisi gelap, dan sisi gelap itu lebih banyak mendominasi kejiwaan manusia—salah satu yang ditakuti oleh Nimo. Di dalam dirinya, tentu saja, ada sisi gelap serupa. Namun, Nimo paham betul bahwa sisi gelap itu akan berakhir ketika ia mempercepat hidupnya. Ia tidak ingin menjadi bagian dari orang-orang yang gemar membohongi orang lain demi kepentingan pribadinya.

Dengan sangat ragu-ragu, ia mengambil pil-pil kuning itu satu persatu ke genggamannya. Ia berkeringat sangat deras. Sembari tetap menggenggam pil-pil kuning itu, ia mengambil segelas air bening dan meminumnya. Duduk sejenak dan merapalkan beberapa doa yang ia ingat, kemudian tertawa karena menyadari tingkahnya yang konyol.

“Tuhan akan memaafkanku, atau bahkan mungkin Ia yang akan meminta maaf padaku karena menyebabkan aku menjalani kehidupan semacam ini. Tepat seperti kata penulis Brasil itu.”

Lampu lalu lintas masih mengedipkan cahaya kuningnya. Jendela semakin pekat oleh embun yang sebagian telah mencair dan mengalir—menyisakan ruas-ruas di jendela. Nimo memindahkan posisi cermin itu ke tengah meja—tepat di hadapan wajahnya, bersiap kalau-kalau keraguannya hilang. Nimo, yang masih menggenggam pil-pil itu, segera diarahkan ke mulutnya. Pil-pil itu kini berada di dalam mulutnya. Namun dengan segala kegelisahan, keberanian untuk menelan pil-pil itu tak lekas datang. Nimo menunduk dengan gemetar. Menggeram dengan keras dan memukul-mukul meja di hadapannya sekuat tenaga. Setelah bergelut dengan kebimbangan yang menyakitkan itu, Nimo memuntahkan pil-pil dari mulutnya ke genggamannya kembali, dan dengan sekejap ia melemparnya ke cermin yang membayang wajahnya dengan sangat keras. Nimo terdiam sejenak, ia masih gemetar. Dadanya yang sangat panas kini mulai mereda seiringan dengan lenguhan napas yang tidak berdaya. Kini ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri. Nimo tersenyum dingin. Kepalanya pening, tapi ia merasakan kelegaan yang luar biasa. Tiba-tiba saja ia menjadi mantap untuk menunda rencananya—mempercepat hidupnya, atau bahkan mungkin saja, jika kecamuk di dadanya sirna, ia akan membatalkan rencana itu secara tuntas.

“Konyol!” sebilah senyum dingin menghiasi wajah Nimo yang semakin pucat seperti mayat.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Peminat kajian filsafat (khususnya fenomenologi dan eksistensialisme). Menulis puisi, cerpen, novel, esai. Pernah belajar ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada.

2 Replies to “Kematian yang Nyaring”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email