Manusia terbiasa menggunakan motivasi untuk menggapai cita-cita. Motivasi dianggap penting untuk terus bertahan hidup. Abraham Maslow melihat motivasi sebagai salah satu pemicu manusia untuk bertindak dan memenuhi kebutuhan dasar. Motivasi bisa timbul dari diri sendiri maupun orang lain. Akan tetapi, kita perlu memperhatikan motivasi seperti apa yang dibutuhkan dan hal apa yang harus dihindari ketika mendapatkan motivasi dari orang lain.
Beberapa motivasi terbentuk dari pengalaman subjektif yang coba disesuaikan agar terlihat senada dengan kondisi seseorang. Panta Rhei yang disebutkan oleh Herakleitos merupakan aspek yang cukup signifikan untuk menilai kelayakan suatu motivasi. Motivasi yang diberikan seseorang akan memiliki konteks dan efektivitas berbeda. Misalnya motivasi untuk mulai berbisnis. Seseorang yang berasal dari keluarga kaya raya tentu saja akan senantiasa merespons motivasi sebagai instruksi untuk implementasi. Andai pun gagal, ia dapat menutup kerugian bahkan membangun bisnis baru dengan harta yang ia punya. Kondisi ini tentu sangat kontradiktif bagi seseorang dari keluarga miskin. Ia bertendensi lebih kritis bahkan ragu untuk membangun bisnis, sebab risiko gagal yang besar dan modal yang habis akan menghantuinya.
Kritik untuk Motivator
Manusia sebagai individu bebas tidak dapat dinarasikan ke dalam bentuk tunggal. Kita tidak mengeksplorasi suatu pengalaman saja. Bisa jadi pengalaman tersebut turut dihasilkan oleh faktor-faktor yang tidak kita perhitungkan. Melihat manusia sebagai aspek tunggal penerima informasi kritis tidaklah elok. Individu A dan B memiliki sejarah kehidupan mental dan material yang berbeda. Maka dari itu, kita perlu mengkritisi keyakinan yang dimiliki para motivator. Dalam hal ini, kita perlu menyadari bahwa keyakinan yang mereka miliki belum tentu memiliki dasar kebenaran yang mutlak dan kuat.
Baca juga:
Pada dasarnya, kebenaran dan keyakinan merupakan dua hal berbeda. Salah atau benarnya keyakinan merupakan hal yang masih perlu dipertanyakan. Seseorang bisa saja meyakini sesuatu meski hal tersebut keliru. Dengan demikian, jika pengalaman-pengalaman yang diyakini benar dinarasikan ke dalam motivasi untuk disebarluaskan, ini merupakan kekeliruan yang menjadi dasar keretakan empiris, sebab pengalaman yang berbeda akan menghasilkan pemahaman yang berbeda pula.
Misalnya seseorang yang pernah merasakan buah anggur, ia akan dapat menjelaskan secara jelas bagaimana rasanya. Ketika ia menjelaskan rasa buah anggur tersebut kepada orang yang belum pernah merasakan, pada dasarnya orang itu tidak memiliki gambaran jelas karena hanya tahu dari lompatan-lompatan pengalaman orang lain. Artinya kita perlu menyadari kesenjangan pemahaman orang lain sebelum kita mencoba untuk memberikannya motivasi. Sering kali kita lupa untuk mendengarkan apa yang mereka butuhkan. Tentu saja proses mendengarkan merupakan cara terbaik untuk mendapatkan analisis yang tepat bagi pembentukan narasi motivasi yang logis.
Pembentukan Motivasi Objektif
Pada dasarnya kita harus mengetahui permasalahan inti atau fakta fundamental dari orang yang hendak kita beri motivasi. Kita sering menjumpai motivasi-motivasi yang terkesan utopis bahkan memaksa seseorang melakukan tindakan di luar batas kemampuan. Pengabaian nilai fundamental menyebabkan motivasi cenderung menjadi toksik. Motivasi yang diniatkan untuk membangun semangat justru berubah menjadi destruksi eksistensi.
Baca juga:
Motivator juga tidak boleh menjadikan sekumpulan pengalaman sebagai perbandingan antarindividu. Pasalnya perbandingan berpotensi menciptakan masalah baru di dalam diri seseorang. Bisa saja keinginan untuk memotivasi diri berubah menjadi upaya untuk memperlambat atau bahkan berhenti berkembang, sebab perbandingan hanya didasarkan pada permasalahan yang bisa jadi tidak adil.
Motivasi One-Dimensional Man
One-dimensional man sudah tentu mengarah pada permasalahan-permasalahan di dalam sistem kapitalisme. Akibatnya manusia hanya berfokus pada satu titik dan mengabaikan titik susbstansial lainnya. Motivasi, jika kita menggunakan kacamata one-dimensional man, pada dasarnya akan menghasilkan motif baru. Ia hanya akan berfokus pada satu titik, yaitu untuk mencapai mimpi atau cita-cita.
Bagi sebagian orang, mungkin itu adalah hal baik yang perlu dipertahankan, namun kita perlu mempertimbangkan beberapa faktor yang sudah disebutkan di awal, bahwa motivasi tidak dapat dibentuk berdasarkan sekumpulan pengalaman seseorang yang kemudian dibandingkan dengan pengalaman orang lain. Hal ini akan membentuk proses pembentukan motivasi utopis, artinya mengabaikan apa yang menjadi syarat fundamental agar mimpi atau cita-cita tersebut dapat terwujud.
Misalnya ketika seorang motivator mengatakan agar orang tua kita bangga, kita harus menjadi juara 1 di kelas. Tentu saja motivasi ini tidak dapat berlaku pada setiap orang. Kita perlu mengetahui motif yang dapat mendukung tujuan tersebut tercapai, misalnya faktor ekonomi, pendidikan, mental, sosial, dst. Ketika motivasi hanya digunakan sebagai alat mencapai tujuan yang tidak objektif, atau menuntut seseorang untuk memperhatikan satu sisi kehidupan saja, maka ia tidak akan pernah mencapai tujuannya. Ia hanya akan terjebak pada ketidakmampuan pra-kondisi yang seharusnya ia pikirkan agar dapat mencapai apa yang diinginkan.
Dengan demikian, kita perlu menyadari bahwa tidak jarang motivasi hanya menjelma sebagai elemen one-dimensional man yang mengukur segala sesuatu dari satu aspek. Motivasi kemudian hanya akan menjadi pergesekan antara kepentingan subjektif pemberi motivasi dan menjadi hal yang toksik.
Editor: Prihandini N