Pengamat twitter, bisa ditemui di Jakarta dan sekitarnya seperti azan magrib.

Ini Hari Apa?

Inas Pramoda

7 min read

Aku percaya dalam hidup ini ada dua orang manusia, saat melihat seseorang sakit, yang satu berpikir obat apa yang sekiranya bisa menyembuhkan sakitnya, sementara satunya berpikir obat apa yang bisa ia jual ke orang sakit itu. Yang pertama adalah dokter, dan yang kedua politikus. 

“Terus siapa yang sakit?” tanya istriku. 

“Maksudmu?” 

“Dokter dan politikus butuh orang sakit kan?”

“Oh, itu…” Mataku lurus mengukur jarak aman dengan truk enam roda di depan. Entah muatan apa yang diangkutnya dengan bokong bak berhiaskan tulisan semaunya: KALAU KAU TAK BAHAGIA DENGANNYA, NOMORKU MASIH YANG LAMA. Mobil putih kecil keluaran tahun 2015 ini diapit dua truk depan-belakang yang suara mesinnya mendebarkan; kami berdua seperti dalam genggaman malaikat maut. Asap pekat yang menyembur dari knalpot di depan rasanya bagai membuka tabir menuju neraka lebih cepat.

“Mas?”

“Hem?”

“Kok malah bengong?”

Aku mematikan radio dan suara berisik dari luar makin kentara. Sejak format radio berubah jadi lebih banyak musik ketimbang obrolan, itu tak lagi terasa menyenangkan. Seorang penyiar pernah menjelaskan bahwa mereka mengikuti standar luar negeri, tapi aku punya standarku sendiri. Aku tak mengikuti musik-musik sekarang, dan aku yakin sekali para penyiar tua itu juga. Lalu mengapa repot-repot menyetel musik yang tak bisa dinyanyikan bersama-sama sambil sesekali mengingat dan melupakan masa lalu? Pasti tuntutan pekerjaan.

“Jadi siapa yang sakit, Mas?”

Truk enam roda di depan maju perlahan, aku mengekornya dan mungkin hanya bergerak tak lebih dari empat meter. Ting. Suara singkat itu berarti bar bensinku tersisa satu dan menambah rasa was-was karena perjalanan pulang masih setengah jalan. “Kita, kita yang sakit.” Menjelang magrib, kami berdua tak sempat memperhatikan senja yang ada di luar, hanya sesekali melirik jam digital di dashboard yang makin memperpanjang perjalanan kami.

Istriku menekan-nekan tombol di head unit dan menambah kebisingan baru. Tit tit tit. “Kamu cari apa sih?”

“Ini loh.” Telunjuknya mengarah ke jam digital di pojok kanan atas, 17:59. “Jamnya keliru.” Ia lanjut menekan sembarang tombol berharap tangannya itu dituntun Tuhan ke jalan yang benar. Pedal gas kuinjak lembut, mobil bergoyang pelan membentur tambalan di aspal jalan, tasbih kayu kaukah yang ayah gantung di spion dalam berayun mengikuti getaran yang merambat di sekujur mobil. Aku melirik jam casio di pergelangan kiriku. Baru pukul 17:45. Kulihat istriku sudah menyerah menjinakkan head unit kami, ia kembali merebah dengan kedua kaki dinaikkan. Aku membiarkannya, baik istriku maupun jam digital yang culas itu.

Di dalam ruang sempit berjalan ini tak ada kesempatan bagi kedua mataku untuk bermain imajinasi dengan awan-awan. Tiada lagi gajah, beruang, kodok, atau ikan terbang di langit, hanya ada gumpalan awan. Aku mulai mengantuk. Dan biasanya, berbatang-batang rokok di saku celanaku akan pelan-pelan amblas. Kini tak lagi seperti itu, aku tak pernah berhenti merokok, tapi sejak menikahi perempuan di sampingku, asap rokok di dalam mobil adalah tabu. Entah itu anugerah atau kutukan, hidupku jadi lebih sehat, tapi mataku cepat sekali mengantuk. Di saat begitu paha kiriku akan terasa terbakar, lalu kutemukan ibu jari dan sendi telunjuk istriku mengapit sejumput daging dari balik kain celanaku. Sesudah itu aku akan menyanggah segala prasangkanya, dan ia selalu mengerti aku sedang berbohong.

Sekali lagi paha kiriku terasa nyeri. Aku menoleh ke samping. “Masih seger kok.” Istriku hanya melengos ke depan, dagunya ia naikkan barang beberapa derajat. Kulihat truk enam roda itu sudah bermeter-meter jauhnya meninggalkanku, sial. Ketika pedal gas kuinjak berusaha mengejarnya, sedan hitam tepat di samping kanan merangsek masuk ke jalurku. Kaki kanan kutekan kian dalam. “Mas, udah, Mas!” Istriku menampar paha kiriku berulang kali supaya mengalah. Aku menyerah. Mungkin itu juga mengapa aku menikahinya, ia perempuan yang paling mengerti kalau aku lelaki yang selalu kehilangan kesabarannya di jalan raya. 

Aku tak pernah membayangkan akan berpisah dengannya, amit-amit. Namun, seandainya saja… pada suatu hari yang tak dikehendaki kami memutuskan hubungan ini berakhir, bisa kupastikan itu terjadi di tengah jalan sepulang kerja. Begitulah betapa aku membenci perjalanan di kota ini. Maka aku selalu bilang ke istriku, “Kamu boleh marah, tapi simpan itu sampai kita di rumah.” Percayalah, tak ada yang waras ketika terjebak macet dan disorot berbagai lampu sambil mendengar mobil-mobil berteriak. Lampu-lampu itu dan suara-suara itu, ah, tiada seorang pun yang mungkin berdamai dengannya. Itu hanya membuat matamu lelah, pandangan kabur, dan mengingatkan masa lalu yang ingin kita kubur. Aku yakin pembunuh yang tinggal di kota ini akan selalu mengingat wajah-wajah sekarat yang mereka habisi sebelum berakhir bunuh diri.

Hari pelan-pelan jatuh dan rumah masih jauh. Seekor nyamuk entah menyelinap dari mana dan suaranya berdengung pulang-pergi. Tubuh kecilnya selalu berhasil membuat pandanganku teralihkan. Dan entah kamu pernah dengar hal ini atau tidak, tapi tiap nyamuk keparat dalam mobil selalu berasal dari jenis yang paling gesit dan keras kepala. Butuh tujuh kali percobaan sebelum ia menjemput ajalnya di telapak tanganku. Istriku tak membantu sama sekali. Ia asyik dengan ponsel yang layarnya baru saja retak sehabis jatuh di tangga. Lalu notifikasi berbunyi di ponselku yang bersandar di kaca spedometer. Kulirik sekilas, istriku mengirim video di instagram. 

“Kamu ngirim apa?” Ia menjawabnya dengan menyodorkan layar ke arahku. Sebuah video amatir mempertontonkan dua bapak-bapak berbaju batik adu jotos di pesta pernikahan. Kursi plastik melayang, dan aneka benda lain yang tak seharusnya ada di udara. Istriku tertawa puas. “Kira-kira apa yang bikin mereka ribut?” Sepasang bahu kuangkat sambil tetap memegang setir. “Rebutan prasmanan paling.”

“Atau bau badan, yang satu gak terima disuruh mandi dan pakai deodoran.” Istriku tenggelam lagi dalam tawanya. “Kalau kamu bau badan, mungkin kita bakal ribut tiap hari Mas.”

“Kalau kamu bau badan, aku pastikan kita gak menikah dari awal.”

Matanya menyipit dan menatapku. “Jadi itu alasan Mas nikahin aku?”

“Hemm…” sekian jawaban berkelebat di kepalaku. “Salah satunya.”

“Apa lagi?”

Mendadak setiap jawaban yang sempat kupikirkan lenyap. Mengapa dulu aku menikahinya? Cantik, tidak bau badan, dagu terbelah, gampang tertawa, perhatian dengan keluarga, terbiasa hidup sendiri, mudah prihatin dengan kemalangan orang lain, tidak suka mengatur, tak pernah bertanya asal-usulku, pandai mengatur keuangan, apa lagi? Semua daftar itu bisa dengan gampang kutemukan di perempuan lain. Pertanyaan istriku hanya membentur jendela dan dihempaskan angin AC yang tak dingin.

Waktu di dalam sini masih bergerak menyeret seperti perempuan tua berhati-hati menyeberang jalan. Hari sudah gelap sebelum kami sempat menyadarinya. Namun, istriku pasti sadar lelaki di sampingnya mengabaikan pertanyaan yang ia ajukan. Saat kulirik wajahnya, ia tampak merajuk. Aku tak berniat menghiburnya dan memilih memperhatikan apa saja yang bisa ditampilkan kota ini di luar sana. Lima tiang besar berturut-turut menyangga papan reklame berisi tawaran hunian mulai dari 1,2 miliar. Dari kejauhan aku yakin jarak antar tiang itu bisa ditempuh kurang dari semenit berjalan kaki. Dan kami berdua baru melewati dua tiang setelah setengah jam. Betul-betul keparat.

“Ini hari apa ya?” tanya istriku tiba-tiba sambil terus menonton ponselnya. Hanya butuh sekian detik untuk menjawab soal itu. “Kamis.” Istriku hanya menimpali dengan suara ooooh panjang dan meneruskan diam.

Aku sampai di tiang reklame keempat dan menghidupkan radio kembali untuk mengisi keheningan janggal di udara. “Pelanin dong suaranya, kan aku lagi nonton,” gerutu istriku. Aku menurut. Sesekali kutatap wajahku terpantul di spion dalam dan tampak jengkel. Seorang penyiar radio mengabarkan jalur yang kulewati macet parah gara-gara warga sekitar menutup akses pintu keluar tol karena uang pembebasan lahan belum dibayar. Aku tak mau dibilang lelaki egois tanpa belas kasih, tapi harus kuakui malam ini pikiranku membara dan membakar segala penderitaan orang-orang yang rumahnya digusur itu. 

Setelah melewati tiang kelima dan menghabiskan dua jam sia-sia, aku takjub dengan perubahan pikiranku yang begitu mendadak dan saling bertentangan. Seperempat jam pertama aku mengutuki warga yang menutup jalan, seperempat jam berikutnya aku insaf dan menyumpahi pemerintah yang merampas hak rakyat. Keduanya salib-menyalib menguasai pikiranku sebelum akhirnya aku menyalahkan diri sendiri yang memaksa hidup di kota ini. Berkali-kali setelah itu aku teringat kata-kata istriku tiap kali rasa lelahnya mendidih dan meluap-luap, “Aku pengen pulang.” Tentu saja itu tak dimaksudkan ke rumah yang sedang kami tuju malam ini, melainkan kampungnya jauh nun di kaki Gunung Raung. Desa yang selalu kubilang terisolasi, tak dilalui tol, tak dilewati kereta, boro-boro ada bandara. Sementara kota ini punya segalanya, kecuali rumah. 

Aku hampir tak bisa mendengar ada lagu apa di radio, bahkan tak bisa membedakannya dengan jeda iklan yang diputar. Suara orang Korea bercakap-cakap satu-satunya yang paling lantang dan tak malu-malu memasuki telingaku, dan aku hanya mengerti saat mereka mengucapkan terima kasih atau saling menyapa. Istriku tampak tak tertarik menjelaskan alur drama yang sedang ia tonton. Aku ingin sekali bertanya tapi sepertinya akan sia-sia. Langit semakin gelap dan hujan turun. Ia memulainya dengan lembut seperti keran air di rumah yang tak bisa menutup rapat dan tak berhenti menetes. Ketika istriku menghabiskan satu episode, hujan sudah mengaburkan pandangan. Tiba-tiba saja ada dua hal yang kusyukuri: sebab hujan tak menurunkan tinta dan aku tak sedang naik motor. Aku sekaligus lupa kapan terakhir kali hujan-hujanan dan menikmatinya.

Kini ketambahan suara hujan dan wiper yang bising di dalam sini. Istriku tak lanjut menonton karena ibunya melakukan panggilan video. Meski keduanya mengobrol dengan bahasa yang masih asing bagiku, itu lebih mudah dipahami ketimbang percakapan drama Korea tadi. Mereka berdua meneruskan obrolannya sekitar 20 menit dan pintu keluar tol sudah mulai terlihat di kejauhan. “Salam dari ibu.” Istriku menoleh ke arahku. “Orang rumah sehat-sehat?” tanyaku dan langsung ia jawab singkat kalau semua baik-baik saja. Aku menyalakan sein ke kiri untuk masuk ke arah jalur keluar. Tok tek tok tek tok tek. Tepat setelah mobilku berhasil berbelok dan suara sein itu berhenti, istriku bertanya lagi, “Ini hari apa ya?” Aku menoleh sebentar ke arahnya, memastikan ia tak sedang mabuk. “Kamis. Ini hari Kamis. Kan tadi udah nanya.” Ia hanya bergumam ooooh panjang dan kembali bermain ponsel.

Belum ada perkembangan berarti dari jalan macet ini selain tujuh tanda panah hijau yang menunjuk pintu keluar tol dan terlihat makin dekat. Hujan masih deras. Lalu, suara yang paling tak ingin kudengar sayup-sayup menyalak dari sisi kanan dan kian lekat. Konon kiamat dimulai dari tiupan sangkakala yang akan mengobrak-abrik seisi semesta; aku tak pernah mendengarnya, tapi yakin sekali bunyinya seperti klakson biadab di belakang sana. Gemerlap lampu biru berkedap-kedip dan memantul di balik kaca spion; membutakan mataku sekilas kejap. 

Lagi-lagi mobil dengan pelat nomor berbintang ngotot membuka jalan dan aku terpaksa memberi yang ia mau, begitu pula barisan mobil di depanku yang serentak menyingkir. Dari belakang setir ini aku membatin, mungkin beginilah pemandangan yang disaksikan Firaun saat mengejar Musa yang membelah Laut Merah, lalu membayangkan mobil itu meledak seketika. Aku selalu berdoa mobil-mobil angkuh itu celaka kapan saja: dilindas truk tinja; ditabrak kereta api; atau ketiban papan reklame. Aku akan puas menertawakannya, lalu mendongengkan kisah itu ke anak-anakku kelak hingga mereka pulas tertidur dan berharap tak pernah jadi tentara. 

Tinggal tiga mobil lagi sebelum aku keluar dari tol ini: satu mobil pikap tanpa muatan dengan supirnya yang dari tadi membuang abu rokok sepanjang jalan; ambulans yang sedang tak terburu-buru; dan tepat di depanku, SUV hitam bersolek stiker Taman Safari di kaca belakang. Saat aku melewati gerbang tol itu, sudah nyaris jam 10 malam. Mobil polisi berhenti di pinggiran entah menunggu apa dengan strobo dibiarkan menyala. Aku benci sekali dengan cahaya biru itu. Mataku masih bisa akrab dengan warna merah dan kuning, tapi persetan dengan biru. Hujan reda dan jalan mulai terasa leluasa. Tinggal beberapa kilometer lagi menuju rumah. Bar bensin sudah kelap-kelip mengkhawatirkan dan kuputuskan sedikit mengisi tangki mobilku di SPBU. 

Aku meminjam uang tunai istriku. “Berapa?” Ia bertanya. “Isi seratus aja,” jawabku. “Kalau ini hari apa?” Tanyanya lagi. Aku menggerutu. Lagi-lagi ia hanya melenguh panjang seperti sapi. Setelah membayar aku langsung cabut dari sana tanpa mampir ke mana-mana lagi. Pada menit-menit terakhir perjalanan pulang, kami berdua macam manekin yang diam saja meski ditelanjangi. Aku memarkir mobil dengan kasar dan terburu-buru, membuat knalpot menggerung serak sebelum beristirahat. Lalu, selalu ada momen mengheningkan cipta beberapa detik setelah mesin mati yang menyisakan sensasi hangat hingga kursi depan.

“Kamu tahu hari apa ini, Mas?” Istriku tertahan di tempatnya.

“Ada apa sih? Kamu kenapa?”

“Ini hari apa?”

“Kamis! Dibilang Kamis!”

“Tanggal berapa?”

“Hah?”

“Ini tanggal berapa?”

“Tanggal?” Aku benar-benar tak mengerti maksudnya. “Tanggal?” Aku melirik jam casio di tangan. “Dua puluh–” dan saat itulah aku mengingat hal penting yang seharian terlupakan.

Aku mendengar suara pintu mobil dibuka, lampu segera menyala, dan raut wajah istriku diantar cahaya kuning temaram ke mataku. “Ini hari ulang tahunku,” ucapnya sebelum keluar dan masuk ke rumah tanpa menoleh ke belakang. Pintu depan ia tinggalkan terbuka dan kuncinya dibiarkan menggantung. Jarak antara pintu mobil dan pintu rumah hanya sembilan langkah, tapi rasanya lebih panjang daripada berjam-jam yang baru saja kuhabiskan di jalan. Malam ini aku benar-benar tak bisa memutuskan antara meminta maaf lebih dulu atau mengucapkan selamat ulang tahun; antara mengucapkannya sesaat sebelum tidur atau menunggu hingga besok pagi. Aku berjalan ke kamar seperti seorang pendosa, sambil bertanya-tanya dalam hati: butuh berapa puluh tahun menikah sebelum tiap orang memaklumi untuk melupakan ulang tahun masing-masing?

*****

Editor: Moch Aldy MA

Inas Pramoda
Inas Pramoda Pengamat twitter, bisa ditemui di Jakarta dan sekitarnya seperti azan magrib.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email