Bumi Terkikis, Hidup Tergerus

Sekar Jatiningrum

4 min read

“State simplifications… were not designed to transform nature and society, although they have often had that effect.” (James C. Scott – Seeing Like a State, 1998)

Perubahan lingkungan tidak sekadar soal degradasi hutan, pencemaran laut, atau hilangnya keanekaragaman hayati. Di pedalaman Nusantara, perubahan ekologi berjalan beriringan dengan pergeseran cara hidup, melemahkan tatanan sosial yang telah bertahan berabad-abad. Pancaroba Nusantara: Sketsa-Sketsa Perubahan Lingkungan dan Masyarakat Pedalaman Indonesia karya Roem Topatimasang dan Ahmad Mahmudi hadir sebagai catatan mendalam tentang keterkaitan antara manusia dan lingkungannya, merekam dampak pembangunan, eksploitasi sumber daya, hingga pergeseran budaya di berbagai pelosok negeri.

Melalui esai-esai yang kaya akan detail etnografis, buku ini membawa pembaca menelusuri jejak perubahan di berbagai wilayah—dari Papua hingga Maluku, dari pegunungan hingga pesisir. Ditulis dengan pendekatan yang reflektif dan berbasis pengalaman langsung, Pancaroba Nusantara bukan sekadar laporan akademik, melainkan potret nyata bagaimana kebijakan ekonomi dan dinamika global mengubah wajah masyarakat adat. Dengan gaya yang padu antara analisis ilmiah dan narasi jurnalistik, buku ini mengajak kita merenungkan, sejauh mana pembangunan yang diklaim membawa kemajuan justru mengikis ketahanan ekologi dan sosial masyarakat di pedalaman.

Baca juga:

Ekologi yang Rapuh, Hidup yang Rentan

Akhir Juli 1989, penulis menempuh perjalanan ke kampung-kampung terpencil di sepanjang tapal batas dengan Papua New Guinea. Bentang alam yang luar biasa menyambutnya—hutan dataran rendah yang rimbun, sungai-sungai besar yang berliku, serta rawa-rawa luas yang menyimpan beragam renik kehidupan. Namun, dari semua itu, yang paling membekas adalah kelimpahan bahan pangan. Hampir di setiap sudut pelosok, alam menyediakan lebih dari cukup.

Dengan luas daratan 785.753 km²—terbesar kedua di dunia setelah Greenland—Papua adalah surga keanekaragaman hayati. Namun, di tanah yang begitu subur, tragedi kelaparan tetap terjadi. Pada November–Desember 2005, kelaparan di Yahukimo merenggut 55 nyawa dan menyebabkan ratusan lainnya malnutrisi akut. Bagaimana mungkin wilayah yang kaya justru menyisakan derita kelaparan?

Persoalannya bukan ketiadaan pangan, melainkan ekologi yang rapuh dan perubahan pola konsumsi. Sejak lama, masyarakat Papua bertahan dengan beragam umbi-umbian: keladi, hipere, supuru, dan mbi. Lembah Baliem bahkan dijuluki lumbung umbi-umbian. Namun, sejak pertengahan abad ke-20, perubahan mulai terjadi. Beras, yang dibawa pendatang dan diperkenalkan pemerintah, menjadi simbol status sosial. Seperti di banyak daerah lain, muncul anggapan bahwa seseorang “belum makan” jika belum mengonsumsi nasi. Akibatnya, budidaya umbi-umbian meredup, lahan-lahan produktif terbengkalai, dan ketergantungan pada beras semakin dalam.

Di sudut lain Nusantara, di Teluk Kao, Halmahera, kerentanan ekologi juga menghantam kehidupan masyarakat. Perairan yang dahulu kaya hasil tangkapan kini sunyi. Nelayan yang dulu memenuhi teluk dengan perahu layar dan kapal motor, kini hampir tak lagi melaut. Ikan Kao, kebanggaan mereka, kian sulit ditemukan. Bukan karena ikan-ikan itu pergi, melainkan laut telah berubah. Sejak awal 1990-an, limbah industri pertambangan mencemari Teluk Kao. Limbah beracun—sianida dan merkuri—mengalir dari hulu sungai ke lautan, meracuni perairan yang selama ini menjadi tumpuan hidup masyarakat.

Baik di pegunungan Papua maupun perairan Maluku Utara, perubahan ekologi tidak hanya mengancam alam, tetapi juga keberlangsungan hidup manusia. Yang dulu berlimpah kini kian sulit diakses, dan cara hidup yang diwariskan turun-temurun dipaksa beradaptasi dengan perubahan yang tak selalu menguntungkan. Alam yang rapuh menciptakan hidup yang semakin rentan.

Kehidupan yang Tergusur oleh Krisis Ekologi

Di belahan lain negeri, eksploitasi sumber daya dan proyek pembangunan mengancam ekosistem pulau-pulau kecil serta keberlangsungan hidup masyarakat adatnya. Pulau Manuran, yang terletak di Distrik Waigeo, Raja Ampat, adalah salah satu korban dari kerakusan atas nama pembangunan.

Kepala Suku Ambel, pemilik sah ulayat Pulau Manuran, mengisahkan bagaimana kedamaian yang diwariskan turun-temurun terguncang pada tahun 2006. Puluhan alat berat datang, merobek hutan, mengeruk tanah, dan mengangkut tumpukan besar bongkahan nikel. Di balik gemuruh mesin-mesin tambang itu, sebuah tragedi diam-diam lahir.

Alat-alat berat itu milik PT Anugerah Surya Pratama (ASP), perusahaan nasional yang berpatungan dengan investor Australia dan Hong Kong. Mereka mengantongi izin pemerintah Indonesia untuk menambang nikel di Manuran selama 30 tahun di atas lahan seluas 817,68 hektare. Tak semua warga setuju, tetapi tekanan demi tekanan akhirnya membuat mereka menyerah. Mereka dipaksa menerima kompensasi yang, jika direnungkan, sungguh memilukan: Rp 15 miliar untuk tanah ulayat seluas 7.090.000 m². Itu berarti mereka ‘menjual’ warisan leluhur dengan harga Rp 2.115 per m²—lebih murah dari segelas kopi di kota besar. 

Sebagian warga yang mendadak menjadi “kaya baru” segera membelanjakan uang mereka untuk barang-barang yang dianggap mewah: televisi, kulkas, perabotan rumah tangga. Namun, tak butuh waktu lama sebelum semuanya sirna. Dalam beberapa bulan, uang mereka habis, sementara tanah yang seharusnya menjadi penopang hidup telah berpindah tangan. Kini, yang tersisa hanyalah penyesalan. Sebuah ironi pahit tergambar dalam keseharian: seorang lelaki tua yang dulu memiliki tanah luas, kini hanya bisa menghabiskan hari-harinya menghitung lembaran kertas rokok lintingan, seakan-akan mencoba menghitung kembali uang yang pernah melimpah di tangannya.

Perempuan Adat: Dari Pinggiran ke Pusat Perlawanan

Di pesisir utara-timur Pulau Kei Besar, Maluku Tenggara, perdebatan sengit mewarnai beranda rumah Kepala Wilayah Adat Maur Ohoiwut. Majelis Permusyawaratan Besar Adat, atau Madiwun Uun Matan Maur Ohoiwut (MUMMO), tengah digelar, dan pertanyaan besar mengemuka: sudahkah saatnya perempuan diperbolehkan hadir dalam rapat adat?

Bagi banyak orang, adat adalah benteng yang kokoh, dan perubahan adalah ancaman. Perempuan, selama ini, dianggap tak layak berada dalam ruang diskusi serius. Namun, wacana mulai bergeser ketika sebuah pelatihan mencatat sumber daya alam di setiap zona adat digelar. Awalnya, para lelaki begitu percaya diri menyebutkan berbagai biota laut dalam, tetapi mereka terdiam ketika diminta menyebutkan jenis biota di kawasan pasang surut. Seorang lelaki akhirnya menyela,  “Di bagian itu katong seng banyak tau. Itu daerahnya parampuang deng anak-anak. Dorang hampir tiap hari di sana, cari bia deng umpan. Dorang yang labe tau”.

Baca juga:

Pernyataan sederhana itu menjadi titik balik. Para perempuan yang selama ini berada di pinggiran justru memiliki pengetahuan yang lebih kaya tentang kawasan pesisir. Saat pelatihan berlangsung, mereka dengan cekatan mengumpulkan lebih dari 80 jenis biota—kerang, ikan karang kecil, alga, hingga cacing laut—dalam waktu relatif singkat, hanya satu jam saja. Data yang mereka susun begitu rinci, membuat para lelaki, termasuk tetua adat, terpaksa mengakui: mereka belum pernah memiliki informasi sekomprehensif ini.

Sejak saat itu, posisi perempuan dalam adat perlahan berubah. Pada sidang paripurna tahun 1995, untuk pertama kalinya dalam sejarah Maur Ohoiwut, beberapa perempuan hadir sebagai peserta resmi. Tak hanya hadir, mereka berbicara—bahkan dengan suara paling lantang—menentang kebijakan pemerintah yang mengabaikan hak ulayat dan sejarah wilayah adat mereka.

Langkah kompromi pun diambil. MUWATMO dibentuk sebagai ruang khusus bagi perempuan agar mereka bisa lebih bebas bersuara dan menyampaikan gagasan. Sejarah pun mencatat, bahwa dalam pertemuan adat yang selama ini didominasi lelaki, perempuan akhirnya tidak lagi menjadi sekadar penonton, melainkan menjadi suara yang diperhitungkan—suara yang mengubah arah peradaban.

Penutup

Perubahan lingkungan di Nusantara bukan sekadar soal degradasi hutan, pencemaran laut, atau hilangnya keanekaragaman hayati. Ia adalah cerita tentang masyarakat yang kehilangan tanahnya, lautnya, dan cara hidup yang diwariskan turun-temurun. Dari Papua hingga Maluku, dari pegunungan hingga pesisir, pembangunan yang dijanjikan membawa kemajuan justru sering kali berakhir sebagai ancaman bagi mereka yang paling bergantung pada alam.

Namun, di tengah krisis yang mendera, ada suara-suara perlawanan yang tak bisa diabaikan. Masyarakat adat, terutama perempuan, mulai mengambil peran dalam mempertahankan ruang hidup mereka. Mereka bukan lagi sekadar penonton dalam perubahan yang terjadi, tetapi pelaku yang berjuang agar hak-hak mereka diakui.

Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: Sejauh mana kita membiarkan pembangunan mengorbankan mereka yang selama ini menjaga keseimbangan ekologi? Dan mampukah kita membayangkan masa depan di mana kemajuan tidak harus berarti kehancuran? (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Sekar Jatiningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email