Keanarekaragaman hayati dan hewani selalu membikin penilik terpikat oleh negeri Indonesia. Hutan hujan tropis yang teduh, kayu-kayu jati yang tinggi menjulang dilumuri oleh lumut, kicau burung saling bersaut-sautan, dan gemercik air yang mengalir membentur bebatuan sampai pantai yang membujur menyiratkan keindahannya.
Mafhum, keindahan alam milik Indonesia tak banyak yang dapat menirunya. Pelbagai pujian yang cukup hiperbolis, sering kali muncul, bahwa negeri ini, adalah gambaran secarik surga, agar peniliknya terus melontarkan syukur. Meski syukur dilontarkan ketika menilik keanekaragaman itu, keberadaannya terusik oleh diksi ‘tertinggal’.
Di sela-sela hutan yang rimbun tinggal penduduk di dalamnya. Mereka hidup dari kekayaan alam yang berada di sekitarnya. Marcopolo kurang lebih lima bulan di Sumatera medio 1295, kemudian ada Ibnu Batutah dari Maroko melawat ke kerajaan Samudera Pasai pada 1345 dan selanjutnya Magellan dengan segala kepentingan politiknya untuk menyisir kekayaan alam di Nusantara pada medio 1522.
Alfred Russel Wallace pada medio 1854 melawat ke Singapura. Kedatangannya ke Nusantara, memperkuat niatnya untuk tujuan keilmuan. Wallace melawat dari pulau ke pulau. Berbekal keberanian beserta kertas dan pena, ia mencatat persebaran hewani di Nusantara. Mafhum garis khayali Wallace yang membaca persebaran satwa di Nusantara memudahkan kita untuk mengetahui bagaimana keaneka ragaman biota di negeri ini.
Baca juga:
Kakak tua kepala hitam, jalak ekor panjang, burung cendrawasih merah, badak bercula satu dan pelbagai hewan lainya tersebar di Nusantara. Wallace bukan hanya menelusuri keanekaragaman hewani, namun ia juga mengamati realitas sosial pada awal abad ke-19. Pelbagai suku di pulau ia singgahi tak luput ia catat. Mulai dari Sumatera, Jawa, Bornero, kepulauan Alor, Wetar, Buru, Seram Sulawesi, Watubela sampai Papua telah ia jajaki.
Di tengah kekayaan alam yang mengalir dari pegunungan sampai pesisir pantai, tinggal kelompok sosial yang kita namai sebagai Masyarakat Adat. Wallace mencatat perilaku di awal abad ke-19 itu. Manusia melekat dengan alam. Segala tafsir mereka coba untuk merekatkan antara manusia dan alam. Menyebar sesaji kemudian berucap syukur kepada yang tak tampak kemudian merawat alamnya.
Kiwari, keberadaan ruang itu berhadapan dengan keterasingan. Lahan yang rimbun sebagai tempat hidupnya terusik oleh diksi kebaruan untuk menciptakan energi ramah lingkungan. Diksi itulah alhasil melahirkan, mesin pengeruk tanah yang yang di mana tanah itu singgah masyarakat dan keanekaragaman hayati maupun hewani di dalamnya. Mafhum, suku Moronne, Bajo dan Bugis berhadapan dengan nestapa kala tanahnya tergadaikan demi diksi baru yaitu bebas emisi karbon.
Masyarakat Adat dan Bebas Emisi
Mario Vargas Llosa peraih nobel sastra 2010 membikin sebuah buku Sang Pengoceh (Penerbit Oak, 2016) diterjemahkan oleh Ronny Agustinus yang mengisahkan suku Machueinggia di Peru harus berhadapan dengan pembalakan hutan. Hutan subur yang menghidupi mereka kudu diganti dengan sebuah pabrik besar yang gemuruhnya konon menghasilkan banyak uang.
“Kalau harga yang harus dibayar untuk pembangunan dan industrialisasi untuk enam belas juta orang Peru, berarti bahwa sekian ribu orang Indian yang telanjang bulat itu harus memotong rambut mereka, menghapus tato mereka, atau untuk memakai kata yang paling dibenci kaum etnolog mengakulturasikan diri…” (Hlm. 29).
Llosa menyuguhkan kita agar banyak merenung menyoal kebijakan bagi masyarakat adat. Mereka telah tinggal turun-temurun jauh hari sebelum James Watt atau Thomas Newcomen menemukan mesin uap. Kiwari, hutan penghidupannya mengalami tekanan dari para penyuluh diksi kemajuan.
Baca juga:
Dunia sedang gelisah, kala alam semakin menghangat. Protokol Kyoto (1997) disepakati agar negara-negara di dunia mengurangi emisi karbon, lantaran banyak menggunakan sumber energi dari bahan fosil. IEA menarget negara di dunia mengikuti mekanisme Net Zero Emission. Konon, nikel bakal banyak dicari untuk bahan baku pembikin baterai. Mafhum kendaraan listrik jadi incaran yang kabarnya dapat mengurangi emisi karbon dibandingkan menggunakan batu bara.
Hutan rimbun yang teduh bakal banyak dikeruk. Liputan khusus Tempo berjudul Pencahar Nikel Illegal (29 Januari 2022) menyuguhkan data menarik mengenai hutan dan kegelisahan kita membaca krisis iklim. Keputusan untuk mengurangi emisi karbon, merubah etika lingkungan, di mana lahan dibabat secara masif guna memenuhi kebutuhan pasar yang semakin menukik. Agar mempermulus pengerukan dibutuhkan sokongan relasi kuasa kuat.
Indonesia jadi penyedia nikel terbesar di dunia. Pada 2021 tercatat 1 juta ton atau 37,04 persen produksi nikel global. Untuk memproduksi itu semua, hutan 10 ribu hektar telah dibuka untuk mengeruk tambang nikel, kurang lebih 8400 hektar berada di kawasan hutan Sulawesi.
Beberapa suku tinggal di area tersebut. Di antaranya suku Moronene, Bajau dan Bugis. Mereka dihadapkan oleh mesin pengebor nikel yang menderu dan pohon-pohon yang bergelimpangan diganti dengan gundukan tanah yang menggunung, lubang galian yang menganga dan kepulan asap yang membumbung. Syahdan, nasib Machiguenga mengingatkan kita bagaimana suku di manapun yang bersahabat dengan hutan itu, riskan sekali dipinggirkan.
Kegelisahan alhasil muncul, ketika hutan yang rimbun itu digadaikan. Sebuah penilitian yang komprehensif termaktub dalam buku Pergulatan Transisi Energi Berkeadilan (Kelompok Penerbit Gramedia, 2024) memberi gagasan segar mengenai tambang, emisi karbon dan keberlanjutan.
Dalam buku tersebut, Didid Haryadi berkesempatan menyelipkan gagasanya. Ia menulis artikel Keadilan Lingkungan, Gerakan Sosial, dan Ekonomi Politik Kendaraan Berbasis Listrik (KBL) di Indonesia. Menjemput bebas emisi yang ramah lingkungan terbilang klise, namun harus diperjuangkan keberadaannya. Keadilan lingkungan merupakan tipping point dari derap-harap manusia untuk menciptakan energi ramah lingkungan.
Jika Lyn White dengan kritis menunjuk antrhoposentrisme itu biang kerok hutan yang kelimpungan, maka Aldo Leopold menyuguhkan land ethic (etika bumi) agar manusia bisa lebih sadar, tanah yang ia singgahi akan berpengaruh kepada dirinya. Kekayaan alam yang tersebar di penjuru negeri ini menegaskan kembali, bahwa keberadaan mereka juga perlu dipikirkan untuk keberlangsungan hidup disamping kebutuhan kiwari untuk menyuguhkan energi yang bebas emisi. (*)
Editor: Kukuh Basuki