Menjelang tiga tahun kepemimpinan Jokowi setelah terpilih kembali di Pemilu 2019, para pendukungnya mulai gencar dan secara sistematis menggaungkan wacana memperpanjang masa jabatannya melalui penundaan pemilu 2024 atau perubahan UUD yang akan memberi jalan bagi Jokowi untuk menjadi presiden lagi.
Baca Editorial:
Menurut UUD yang berlaku sekarang setiap orang hanya boleh menjabat selama dua periode berturut-turut, dan setelahnya tidak boleh lagi dipilih kembali. Akan tetapi, para pendukung Jokowi yang tentu saja mendapatkan manfaat yang luar bisa besar selama ia menjabat, mulai dari ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, elite Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar, serta yang terbaru, loyalis terbesarnya, Luhut Binsar Pandjaitan, terus mengemukakan berbagai alasan tentang penundaan pemilu atau amandemen UUD.
Luhut berdalih bahwa dalam kondisi bangsa yang sulit sekarang, pemilu sebaiknya ditunda karena memakan biaya mahal, dan menurut “big data” yang dipunyainya, rakyat masih menginginkan Jokowi tetap presiden serta indonesia menjadi lebih baik dan akan lebih baik lagi jika Jokowi tetap presiden.
Tapi benarkah klaim Luhut tersebut? Benarkah Indonesia jadi lebih baik selama Jokowi berkuasa? Cukup melihat janji-janji dan program-program yang berikan Jokowi saat kampanye 2019 akan terlihat jelas bahwa klaim-klaim tersebut tidak benar.
Baca juga:
Dalam pilpres 2019, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin selaku capres dan cawapres mengusung Visi yakni “Terwujudnya Indonesia Maju Yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Visi tersebut kemudian diperkuat dengan misi “Peningkatan kualitas manusia Indonesia, struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing, pembangunan yang merata dan berkeadilan, mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan, kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa, penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya, perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga, serta pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif dan terpercaya, sinergi pemerintah daerah”.
Sebagaimana hakikat janji pada umumnya, maka janji politik yang disampaikan oleh Jokowi-Ma’ruf sebagai presiden dan wakil presiden terpilih di Pemilu 2019 harus ditepati sebelum lima tahun masa jabatannya usai. Namun menjelang tiga tahun pemerintahannya, hampir sebagian besar janji politik kepada masyarakat Indonesia yang memberikan mandat kepada keduanya belum ditepati. Beberapa aspek yang menjelaskan bahwa keduanya belum mampu untuk menepati janji politiknya dapat dilihat berdasarkan misi yang diusung pada 2019 silam.
Peningkatan Kualitas Manusia
Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa salah satu permasalahan di Indonesia adalah rendahnya kualitas individu secara umum. Baik kualitas fisik maupun nonfisik, keduanya relatif rendah. Kualitas fisik, yang dilihat dari sudut tinggi badan dan besar·tubuh serta tingkat kesehatan yang diukur dari panjang harapan hidup (saat ini rata-rata 62 tahun) relatif masih rendah. Sedangkan ditinjau dari sudut kualitas nonfisik, seperti tingkat pendidikan, sekitar 78 % dari angkatan kerja hanya mempunyai pendidikan dasar atau kurang.
Jika indikator non fisik yang digunakan, maka dapat dikatakan bahwa Jokowi-Ma’ruf belum mampu untuk meningkatkan kualitas manusia di Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa angka anak tidak sekolah baik di pedesaan maupun diperkotaan masih cukup tinggi. Hampir seperempat anak Indonesia, atau sekitar 20 juta anak, misalnya, tidak bisa mengenyam pendidikan tingkat SMA di tahun 2021. Angka tersebut menunjukkan bahwa perhatian pemerintah masih belum maksimal dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia.
Kurangnya pendidikan yang dimiliki tentu saja mempengaruhi kulitas sumber daya manusia maupun kualitas pekerja di Indonesia seperti yang ingin ditingkatkan oleh Jokowi-Ma’ruf. Pengaruh rendahnya kualitas pendidikan terhadap kualitas kerja ini bukan saja dimaksudkan terjadi di sektor swasta melainkan juga kualitas kerja di sektor BUMN maupun di instansi-instansi pemerintah selaku pelaksana layanan publik.
Pembangunan Berkeadilan
Sebagaimana di periode sebelumnya, janji pemerataan pembangunan hanya menjadi janji politik yang ditawarkan kepada masyarakat untuk meraup suara mereka. Dalam poin narasi, wawaca dan cita-cita (Nawacita) yang diusung dari periode Jokowi sebelumnya, juga salah satu poinnya menegaskan bahwa membangun Indonesia dari pesisir. Yang artinya bahwa pulau-pulau terluar akan menjadi konsentrasi pemerintah pusat dalam upaya mendorong pemerataan pembangunan.
Pada kenyataannya hal tersebut belum mampu untuk diwujudkan oleh Jokowi dan Ma’ruf. Kecenderungan untuk melakukan pembangunan salah satunya dalam bidang yang lebih condong kepada daerah-daerah yang dianggap memberikan keuntungan besar kepada Indonesia. Beberapa daerah yang menjadi perhatian adalah Papua dan Sumatera. Meskipun upaya tersebut dianggap baik, namun bertentangan dengan apa yang menjadi misi keduanya saat Pemilu 2019 yakni pembangunan yang merata dan berkeadilan, sehingga sudah seharusnya pembangunan dalam infrastruktur ini juga difokuskan kepada daerah-daerah lainnya yang masih tertinggal.
Upaya pemerataan pembangunan ini kemudian semakin tidak memungkinkan untuk diwujudkan mengingat hari ini fokus pemerintah besar kepada pembangunan Ibu Kota Negara baru di Kalimantan. Di sisi lain, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya tersisa dua tahun semakin menguatkan bahwa upaya untuk melakukan pemerataan pembangunan didaerah tertinggal akan semakin sulit. Padahal dengan anggaran pembangunan Ibu Kota Negara baru yang yakni 466 Triliun akan lebih efektif dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur di daerah yang masih tertinggal sekaligus untuk mewujudkan janji politik Jokowi-Ma’ruf kepada masyarakat Indonesia.
Lingkungan Hidup Berkelanjutan
Misi untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan rasanya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi selama dua tahun masa jabatan Jokowi-Ma’ruf. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa konflik pelepasan lahan sampai hari ini masih terus terjadi.
Baca Editorial: Robbing People in Broad Daylight
Data yang dihimpun oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan selama tahun 2020, telah terjadi perampasan lahan untuk tujuan infrastruktur seperti jalan tol, infrastruktur militer dan Polri, perkebunan, pertambangan dan lain-lain. sebanyak 12 persen perampasan dilakukan dengan klaim sebagai tanah negara. Sementara itu, selama tahun 2020, ada 41 kasus pelanggaran masyarakat adat. Dari kasus sebanyak itu, pelanggaran berupa kriminalisasi, tumpang tindih lahan, dirampas tanahnya, pencemaran lingkungan, dan dirampas hak spritulanya”.
Kasus-kasus pelanggaran agraria yang terjadi selama kurun waktu dua tahun terakhir menunjukan bahwa tidak adanya keberpihakan dari pemerintah kepada masyarakat adat. Bahkan beberapa kasus terbaru seperti Wadas dan Kabupaten Konawe rata-rata menempatkan masyarakat sebagai pihak yang harus mengalah untuk dirampas tanahnya dengan dalil kepentingan negara. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan apa yang menjadi janji Politik Jokowi-Ma’ruf pada Pemilu tahun 2019 silam. Perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945 dan salah satu Misi dari Jokowi-Ma’ruf sudah tidak lagi menjadi hal utama.
Baca tentang Wadas:
Penegakan Hukum
Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, itulah yang hari ini menjadi fenomana yang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Apa yang menjadi Misi Jokowi-Ma’ruf di Pemilu 2019 tentunya masih jauh dari kata terwujud, mengingat hari ini penerapan hukuman cenderung pilih kasih dengan memberikan keistimewaan kepada para pejabat yang melakukan pelanggaran hukum salah satunya korupsi. Hal inilah yang menyebabkan tidak ada efek jera kepada para pelaku korupsi sehingga angka korupsi di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan data ICW sebagaimana dikuti dalam data.tempo.co menyebutkan bahwa “nilai kerugian negara akibat korupsi ikut meningkat. Pada semester 1 2020, nilai kerugian negara dari kasus korupsi sebesar Rp 18,173 triliun, kemudian di semester 1 2021 nilainya mencapai Rp 26,83 triliun. Dengan kata lain, terjadi kenaikan nilai kerugian negara akibat korupsi sebesar 47,6 persen. Dalam empat tahun belakangan, nilai kerugian negara selalu menunjukkan tren peningkatan, sedangkan angka penindakan kasus korupsi fluktuatif. ICW membuat standar penilaian terhadap kinerja aparat penegak hukum—kepolisian, kejaksaan, dan KPK—dalam penindakan kasus korupsi. Ada 5 kategori nilai kinerja yang dibuat ICW berdasarkan persentase capaian target. Misalnya, 81-100 mendapat kategori A atau sangat baik, 61-80 kategori B atau baik, 41-80 kategori C atau cukup, 21-40 kategori D atau buruk, dan 0-20 kategori E atau sangat buruk”.
Meski ada peningkatan dibanding tahun sebelumnya, ICW memberi nilai E alias sangat buruk bagi aparat penegak hukum. Ini karena jumlah penindakan kasus jauh dari target yang ditetapkan. Secara keseluruhan, target penindakan kasus korupsi aparat penegak hukum pada semester 1 2021 ialah 1109 kasus korupsi, alias hanya 19 persen yang tercapai. Sedangkan Kejaksaan jadi instansi dengan nilai terbaik dibanding dua instansi lainnya dengan nilai C atau cukup.
Di sisi lain, beberapa kasus yang terjadi seperti pada kasus pengurangan masa tahanan mantan Menteri Edi Prabowo, Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki menunjukan betapa korupnya penegak hukum di Indonesia. Beberapa fenomena tersebut cukup untuk menjelaskan kepada masyarakat Indonesia bahwa janji politik Jokowi-Ma’ruf yang disampaikan pada saat kampanye 2019 yakni Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya belum dapat ditepati menjelan tiga tahun masa jabatan.
Janji politik sangatlah penting, sebagai bentuk pertanggung jawaban pemerintah kepada masyarakat, maupun untuk mengukur sejauh mana keberhasilan dari pemimpin yang diberikan mandat oleh masyarakat melalui mekanisme pemilu. Namun ternyata janji-janji itu kosong belaka dan hanya diberikan untuk meraup suara.
One Reply to “Ingkar Janji Tapi Mau Jadi Presiden Lagi”