Jika Sonia boleh berkata jujur, sedihnya itu belum tuntas atau mungkin tidak akan pernah tuntas. Baginya ditinggal sosok bapak sama halnya seperti sebuah penerimaan atau keikhlasan yang lebih mudah diucapkan daripada dijalani.
Kondisi itu mendorongnya mencari jalan agar bisa tetap terhubung dengan sosok bapak lewat puisi. Karena baginya, semua tentang sang bapak adalah puisi.
Buku Kumpulan Puisi Prihentemen karya Kadek Sonia Piscayanti yang diterbitkan di bulan Februari 2022 oleh Mahima Institute Indonesia ini berisi 19 puisi. Salah satu puisi di dalamnya bertajuk serupa dengan judul bukunya, Prihentemen. Sonia memilih menjadikan kidung Prihentemen sebagai gerbang menuju sosok bapak. Puisi ini terlahir dari kidung favorit beliau, yang mengantarkan pesan seorang anak kepada sosok bapak di alam Sunia. Kini, hanya puisi yang dapat menjangkau sang bapak.
Larik-lariknya bermakna amat mendalam. Pembaca dapat melihat upaya penulis melepaskan rasa sesak, rindu, kerelaan dirinya dan agar ringan langkah Bapak.
Prihentemen dharma dumaranang sarat
“sunia memanggil manggil dalam gigil: lepaslah lepaslah dengan adil”
Semua perkara akan berakhir
Dalam garis tangan maha adil
Tiada yang luput dari takdir
Semesta bergulir mengalir
Seperti air
Seperti air
“Prihan temen dharma dumaranang sarat” merupakan sebuah kalimat dalam bahasa Jawa yang diambil dari Kakawin Ramayana. Kalimat tersebut bermakna: “Usahakan dengan sungguh-sungguh untuk memegang teguh ajaran dharma (kebenaran) dalam menjalankan pemerintahan.”
Kakawin Ramayana adalah sebuah karya sastra yang berasal dari Jawa Kuno yang menceritakan kisah Ramayana, yaitu sebuah kisah epik dari India tentang kemenangan kebaikan atas kejahatan. Kakawin Ramayana ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan merupakan salah satu karya sastra yang paling terkenal dan dihormati dalam kebudayaan Jawa.
Sunia dan Puisinya
Sonia adalah nama pemberian sang bapak, muasalnya dari kata Sunia yang berarti kesunyian. “Dunia sunyi,” begitu katanya menggenapi.
Kepergian sosok penting dalam hidupnya di bulan Juli tahun 2021 menyentak kesadarannya bahwa dunia itu ternyata memang sunyi, terlebih setelah sang bapak pergi. Betul-betul sunyi. Padahal dia masih berharap bapaknya hidup lebih lama lagi.
Bagi Sonia, lelaki periang itu tidak pernah meninggalkan kenangan pahit, tidak pernah mengeluh kekurangan, tidak pernah meminta apa-apa, justru memberikan semuanya.
Apa yang diberikan sang bapak bukan berupa materi, tapi lecutan semangat, jiwa penuh kasih dan pemaaf. Doanya pun tidak pernah terhenti mengalir untuk anak-anaknya. Apa pun pencapaian anak tengah kelahiran Singaraja itu di dalamnya selalu ada andil sang bapak. Untuk semua yang tercapai, sedang dicoba, atau pun yang belum tercapai, adalah karena sang bapak. Dia selalu di sana menjadi pendukung terbesar.
Sebagai pembaca, saya dapat melihat jelas kekuatan sosok bapak dalam perjalanan hidup Sonia. Melebihi superhero yang kadang melampaui akal sehat.
Seperti tertulis dalam puisi Pesan Topi, Sonia seperti menyiratkan betapa sang bapak selalu mendukung, merestui atas apa pun yang dilakukannya.
Sunia,
Belikanlah Bapak topi ketika kau di Belanda sana
Atau ketika kau di Australia
Atau ketika kau di Nepal
Atau ketika kau di mana saja
Topi yang murah saja
Jangan yang mahal
Ingat!
Satu lagi, topinya harus berwarna hitam
Jangan putih apalagi merah
Hitam
Saya kemudian coba menafsirkan makna, tentu bukan hanya oleh-oleh topi yang betul-betul diinginkan sang bapak, melainkan agar anak perempuannya ini menjajaki lebih banyak bagian dunia. Dia harus melihat lebih banyak dari apa yang bapaknya pernah lihat. Mencapai lebih tinggi dari apa yang pernah bapaknya capai. Tapi bapaknya tetap di situ, menunggu Sonia kembali membawakan topi. Bapaknya lalu membuka lengan, memeluknya dengan dadanya yang penuh dengan rasa bangga.
Puisi dan Caranya Berkomunikasi
Goenawan Mohamad di sebuah tulisan mengatakan: dalam puisi pada mulanya adalah komunikasi. Atau pada akhirnya. Meskipun seorang penyair tak selalu mengacuhkannya. Ketika puisi diterbitkan, atau dibicarakan, seorang penyair seakan-akan menegaskan pesan terdalam yang tak terkomunikasikan melalui bahasa konvensional.
Prestasi kesusastraan yang matang mencerminkan suatu gaya, setiap gaya mencerminkan suatu kepribadian, setiap kepribadian tumbuh dan hanya bisa benar-benar demikian bila ia secara wajar berada dalam komunikasi. Artinya, ia benar-benar merdeka, bila orang-orang lain yang berkomunikasi dengannya juga merdeka.
Bagi mereka yang kebetulan tahu cerita di balik Kumpulan Puisi Prihentemen ini, bisa dipastikan turut merasakan dan ‘mendengarkan’ upaya Sonia mencari gerbang menuju sosok bapak. Meskipun tidak lagi bisa menyentuh, tapi baginya cukup bahagia bisa berkomunikasi lewat puisi.
Perasaan lega setelah menulis dan menebitkan buku ini ada pada kesempatan untuk tetap bisa berkomunikasi dengan sosok bapak. Baginya tidak ada lagi yang bisa menjangkau sang bapak di sana kecuali dua hal, doa dan puisi.
Baginya puisi merupakan sebuah metafora untuk mengatakan sesuatu yang subtil. Di hampir semua puisinya di buku ini, dia ingin menggambarkan bahwa sang bapak adalah pribadi sederhana. Dari sinilah terlahir puisi, Tan Artha.
tan artha tan kama pidonya tan yasa
kubuka dompetmu
dalam sunyi
ada tiga lembar seribuan
yang kau susun dengan hati-hati
tiga lembar seribuan
kenapa tiga
kenapa seribuan
apakah kau tak punya lebih
apakah kau tak punya lebih
Sosok sang bapak juga pribadi yang tidak pernah ribet dan pribadi yang selalu ingin mendahulukan orang lain. Beliau selfless dan lebih suka mendukung orang lain. Sama sekali tidak fokus pada harta namun pada kasih sayang.
Dalam sebuah perjumpaan dan bincang ringan dengan Sonia di Ubud, saya mengamati langsung bagaimana semangatnya untuk terus berkarya. Jelas terlihat dari puisi-puisinya, itu telah membaur ke dalam diri sebagai kesaksiannya. Kesaksian yang akan terus bertumbuh seiring waktu. Ini pun cara ampuh baginya menyembuhkan diri dari rasa kehilangan, rasa yang sesungguhnya setelah dirasai menjadi manis dan kuat, menjadi energi yang menumbuhkan dan menyembuhkan.
***
Editor: Ghufroni An’ars