Ini kisah tentang mereka yang diberi label sesat. Kisah tentang keberadaan minoritas di negeri yang konon toleran. Kisah tentang arogansi negara terhadap kelompok marginal. Tentang harapan yang terus tumbuh meski berkali dipatahkan.
“Tamu-tamu pulang dengan meninggalkan harapan besar di benak semua orang. Harapan tentang perubahan, harapan untuk segara kembali pulang ke rumah dan hidup normal…. waktu terus berjalan, tamu-tamu pun terus berdatangan, harapan tetap masih ditanam, tapi inilah kenyataan.” (hlm: 252)
Nyatanya, harapan itu tak pernah datang. Harapan bak siksaan untuk setiap orang Ahmadiyah.
Menengok arogansi negara dan praktik konspirasi dalam novel Maryam, setidaknya dapat membuka mata kita. Setidaknya tergambar bagaimana negara tak pernah memfungsikan kekuasaannya untuk melindungi kelompok minoritas yang tertindas.
Dalamn novel yang membawa Okky Madasari menjadi pemenang Penghargaan Sastra Katulistiwa 2012 ini, bentuk kekejaman negara direpresentasikan melalui tokoh-tokoh aparat, seperti polisi, gubernur, dan komnas HAM.
***
Novel ini secara urut menampilkan gambaran situasi minoritas dalam pengasingan. Orang-orang tanpa pengakuan dan terusir dari tanahnya sendiri. Rumah, tempat yang selalu dirindukan semua orang setelah merasa bosan di luar. Rumah akan selalu menjadi tujuan pulang walau jarak yang jauh di sana. Namun, itu tak berlaku untuk warga Ahmadiyah di Lombok. Cap sesat membuat mereka harus meninggalkan rumah yang di dalamnya tak hanya dihuni manusia, tapi juga kenangan mereka. Semuanya harus ditinggalkan karena perbedaan keyakinan.
Untuk mengobati rindu akan rumah dan tanah kelahiran, Maryam menyurati pemerintah agar bisa mengembalikan mereka ke rumah. Sebab, yang diinginkan warga Ahmadiyah yang menghuni Gedung Transito, Lombok, hampir enam tahun hanyalah pulang, tak lebih dan tak kurang.
“Kami hanya ingin pulang. Ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami beli dengan uang kami sendiri. Rumah yang berhasil kami miliki dengan susah payah, setelah dulu pernah diusir dari kampung kami.” (hlm: 274)
Gedung Transito menjadi tempat awal sekaligus akhir bagi Maryam dan kelompoknya. Ada kelahiran, pernikahan dan kematian. Ada yang lahir dan memulai hidup baru sebagai warga berlabel sesat dan terbuang dari negerinya sendiri, dan ada yang pergi untuk selamanya (wafat) setelah berjuang mencari keadilan. Apa hendak dikata, keadilan kunjung tak datang.
Gedung Transito adalah dunia kecil bagi warga Ahmadiyah. Gedung yang dikotak-kotakan untuk menjadi kamar tidur masing-masing warga Ahmadiyah itu semakin hari semakin penuh. Bukan hanya oleh manusia dan barang-barang warga, tapi juga harapan. Warga Ahmadiyah merasa tersinggkir dari suatu tempat yang seharusnya dihuni dan dimiliki; kampung halaman.
Di luar Gedung Transito, warga mayoritas menikmati kemerdekaan. Atas nama suara mayoritas, mereka bebas dari rasa takut dan serangan tiba-tiba.
Mereka tak butuh polisi untuk menjaga mereka, karena mereka adalah mayoritas. Sebaliknya, mereka yang diberi label sesat harus hidup dengan pengawalan yang setengah-setengah atau dalam bahasanya Okky, “disapa negara”.
Bisa dikatakan upaya negara dalam menangani problem minoritas memang setengah-setengah. Sebab, negara hanya menyumbang beras, dan lainnya untuk memenuhi hidup, sedangkan di satu sisi negara sengaja membiarkan warganya terlantar tanpa kepastian untuk kembali dari tempat pengusian, dan negara telah berkonsiparasi untuk membakar rumah warga Ahmadiyah.
“Lewat polisi yang memeriksa seminggu sekali dan bantuan sosial sebulan sekalilah mereka (Warga Ahmadiyah) bisa disapa negara.” (hlm: 246)
Rasa takut tak hanya dialami warga Ahmadiyah ketika masih di Gegerung. Di Gedung Transito pun rasa takut itu tak hilang. Takut jika diserang tiba-tiba dari kelompok yang dianggap benar atawa takut pada negara yang tak setuju dan tak menyukai keberadaan mereka.
“Semua terserah kalian! Kalau mau mati semua di sini, silahkan!” Kata Komandan Polisi. (hlm:227)
***
Wartawan datang silih berganti ke tempat pengungsian. Para pengungsi masih mendengar berita yang sama: Ahmadiyah sesat. Di mana negara? Negara malah sebaliknya melepaskan tanggunjawab terhadap Ahmadiyah. Negara bahkan menyuruh warga Ahmadiyah mencari perlindungan ke Australia.
“Gubernur: Ahmadiyah silakan cari suaka ke Australia.” (hlm: 271)
“Kalian cuma ratusan. Orang-orang itu ribuan. Bisa jadi ratusan ribu kalau datang dari mana-mana.” (hlm: 249)
Negara bersama warga mayoritas tanpa ragu mengutuk warga Ahmadiyah. Esensi negara yang seharusnya mengayomi serta menciptakan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat tak ditemukan dalam kasus Ahmadiyah. Sementara keyakinan para pengusi masih tetap konstan, di tengah kondisi yang tak menguntungkan bagi mereka.
“Namanya orang sudah percaya. Semakin susah semakin yakin kalau benar.” (hlm: 172)
Hidup sebagai minoritas benar-benar tak membahagiakan, yang ada cuma harapan yang juga tak kunjung ada titik terang. Berharap dapat kembali ke kampung halaman untuk menjemput masa depan dan menjahit kenangan tak bisa jadi nyata karena dilabeli sesat. Tak hanya pulang ke kampung halaman. Pulang ke tempat keabadian pun tak ‘membahagiakan’. Ayah Maryam Pak Khairuddin, yang wafat ketika menabrak truk, dan akan dimakamkan di pemakaman umum di Gerupuk dekat makam kedua orangtuannya, juga ditolak karena dianggap sesat.
“Tidak ada orang sesat yang boleh dimakamkan di sini (Gerupuk).” (hlm: 264)
Novel Maryam adalah kisah tentang perjuangan. Perjuangan mempertahankan keyakinan. Perjuangan untuk mencintai tanpa harus melihat perbedaan keyakinan. Perjuangan mendesak negara untuk mengfungsikan kekuasaannya secara adil kepada semua golongan.
Di negeri yang menilai kebenaran dari suara mayoritas saja, harapan itu selalu berbuah pahit. Di negeri ini, berharap itu sakit. Berharap pada negara layaknya upaya yang percuma.
***