Merangkul Disabilitas dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Martin Silaban

5 min read

Krisis iklim telah menjadi salah satu tantangan global yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Tak hanya berdampak pada lingkungan, perubahan iklim juga mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi, terutama bagi kelompok-kelompok rentan. Di antara kelompok yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim adalah penyandang disabilitas. Meskipun kelompok ini lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim, upaya adaptasi yang melibatkan mereka dalam proses perencanaan dan implementasi sangat minim. Ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim di banyak negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, telah terdapat beragam upaya untuk melakukan adaptasi perubahan iklim. Beberapa kebijakan tersebut seperti Peta jalan sektoral perubahan iklim Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rencana Aksi Adaptasi Perubahan iklim (RAN API),  Peta Jalan Kontribusi Iklim Nasional (NDS) untuk Adaptasi Perubahan Iklim oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KemenLHK), Permen LHK No 33/2016 terkait Pedoman penyusunan aksi adaptasi perubahan iklim, Permen LHK No 7/2018 tentang Kajian kerentanan, resiko, dampak, Perubahan Iklim dan Peta Jalan Kontribusi Iklim Nasional (NDS) untuk Adaptasi Perubahan Iklim oleh KemenLHK.

Selain berbagai kebijakan yang ada tersebut, beberapa kementerian terkait juga mendorong terwujudnya desa-desa berketahanan iklim. Kementerian kesehatan mencanangkan program yang disebut sebagai desa-desi atau desa tahan iklim. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen) LHK juga memiliki program kampung iklim (Proklim) yang kemudian pada tahun 2023 bertransformasi menjadi Program Komunitas untuk Iklim. Lalu ada pula program dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui desa Tangguh bencana (Destana).

Baca juga:

Salah satu kekurangan besar dari berbagai program adaptasi perubahan iklim yang ada saat ini adalah kurangnya perhatian terhadap kebutuhan penyandang disabilitas dalam kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Program-program tersebut cenderung melibatkan mereka hanya di awal atau pada tahap pelaksanaan dengan arahan yang datang dari luar, tanpa memberi ruang bagi mereka untuk menentukan apa yang terbaik bagi mereka. Berbagai kebijakan dan program yang diberikan juga masih belum berdampak pula pada peningkatan, penguatan kapasitas, maupun kemandirian masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Hal ini juga didukung berbagai penelitian yang menemukan penyandang disabilitas di Indonesia sering kali diabaikan dalam perencanaan kebijakan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Sebuah penelitian di beberapa desa di Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan bahwa 93% penyandang disabilitas tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan adaptasi perubahan iklim di desa mereka. Hal ini mencerminkan adanya pengabaian terhadap hak-hak mereka, baik dalam pengambilan keputusan di tingkat komunitas maupun pemerintah. Kurangnya aksesibilitas, informasi yang adaptif terhadap disabilitas, dan pelayanan dasar yang tidak memadai, semakin memperburuk situasi penyandang disabilitas, mengarah pada ketidakpedulian negara terhadap pemenuhan hak-hak mereka.

Salah satu laporan komprehensif dan sistematis terkait dengan sejauh mana penyandang disabilitas diikutsertakan dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim (API) juga datang dari penelitian Mcgill University yang berjudul status report on Disability Inclusion in National Climate Commitments and Policies. Laporan ini mencoba untuk menganalisis berbagai kebijakan terkait API pada negara-negara yang telah meratifikasi hasil dari Paris Agreement/Perjanjian Paris dengan mempertimbangkan pemenuhan hak-hak disabilitas yang merujuk pada konvensi PBB tentang hak penyandang disabilitas (UNCRPD).

Dalam laporannya, ditemukan bahwa hanya 35 dari 192 negara yang memasukkan pertimbangan dan membuat ketentuan untuk pemenuhan kebutuhan disabilitas dalam rencana adaptasi perubahan iklim nya. Dari 35 Negara tersebut, Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Penelitian tersebut menampilkan bahwa sekalipun terdapat negara-negara yang memasukkan disabilitas dalam rencana adaptasi iklim, tidak ada langkah-langkah konkrit yang diberikan dalam upaya peningkatan ketahanan maupun kapasitasnya.

Masalah ini perlu segera diatasi, karena ketidakmampuan dalam menyertakan penyandang disabilitas dalam perencanaan adaptasi iklim justru akan memperburuk ketahanan mereka terhadap dampak perubahan iklim. Dalam konteks ini, pendekatan pembangunan berbasis komunitas perlu diubah menjadi community-led development, di mana komunitas, termasuk penyandang disabilitas, menjadi aktor utama dalam merencanakan dan mengimplementasikan solusi untuk mengatasi tantangan perubahan iklim. Hal ini tidak hanya memperkuat kapasitas komunitas untuk menghadapi perubahan iklim, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan nyata mereka.

Dari Community Based Development ke Community-Led Development

Pendekatan yang diterapkan dalam berbagai program adaptasi perubahan iklim di Indonesia seringkali dikategorikan sebagai community-based development atau pembangunan berbasis komunitas. Dalam pendekatan ini, pihak eksternal biasanya dari lembaga pemerintah atau organisasi non-pemerintah berperan sebagai aktor utama, inisiator, dan penggerak. Inisiatif datang dari luar komunitas yang terdampak, di mana pihak luar ini yang mengidentifikasi masalah yang ada dan merancang solusi berdasarkan perspektif mereka. Proses perencanaan dan implementasi kebijakan pun didominasi oleh keputusan yang dibuat oleh aktor eksternal tersebut, yang mengarahkan bagaimana komunitas harus bertindak.

Akibatnya, komunitas yang seharusnya menjadi partisipan dari program ini sering kali tidak memiliki kontrol atau kekuasaan dalam menentukan arah kebijakan yang akan diambil. Kepemilikan kolektif terhadap intervensi yang dilakukan sangat minim, yang pada gilirannya menyebabkan rendahnya rasa tanggung jawab dan keterlibatan aktif dari komunitas itu sendiri. Penyandang disabilitas dalam konteks ini, seringkali hanya diikutsertakan di awal proses atau sekadar menjadi bagian dari pelaksanaan kegiatan dengan peran yang terbatas. Mereka lebih sering diberi arahan tentang apa yang harus dilakukan, tanpa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan yang akan langsung mempengaruhi hidup mereka.

Banyak kebijakan dan program yang diluncurkan dengan pendekatan ini, meskipun dilaksanakan dengan niat baik, masih belum mampu memberikan dampak signifikan dalam hal peningkatan kapasitas komunitas, penguatan kemandirian, serta ketahanan mereka dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Program-program tersebut cenderung tidak mengakomodir kebutuhan nyata komunitas, dan lebih berfokus pada intervensi yang dibuat oleh pihak luar tanpa melibatkan mereka dalam menentukan solusi yang paling relevan dan efektif. Ketidakmampuan untuk mendorong perubahan yang berkelanjutan dan memberdayakan komunitas mengarah pada kesenjangan yang lebih besar dalam pencapaian ketahanan iklim yang sejati.

Dalam hal ini, pendekatan community-led development yang melibatkan penyandang disabilitas sebagai pemimpin dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan adaptasi perubahan iklim dapat menjadi solusi yang efektif. Pendekatan ini berfokus pada pemberdayaan komunitas untuk menentukan solusi yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini berbeda dengan pendekatan pembangunan berbasis komunitas yang cenderung memposisikan pihak luar sebagai penggerak utama, sementara komunitas hanya menjadi partisipan. Melalui community-led development, penyandang disabilitas akan memiliki peran aktif dalam menentukan tindakan yang perlu diambil dan bagaimana kebijakan tersebut dapat diimplementasikan di lapangan.

Dalam pendekatan community-led development, komunitas tidak hanya menjadi partisipan, tetapi juga penggerak utama dalam setiap tahap proses, dari perencanaan, implementasi, evaluasi hingga identifikasi pembelajaran dari setiap tahapan yang telah dilakukan bersama. Penyandang disabilitas akan diberikan ruang untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka, merancang solusi yang sesuai dengan karakteristik jenis disabilitasnya, serta terlibat langsung dalam eksekusi program. Selain itu, mereka akan memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Komunitas penyandang disabilitas juga akan menjadi elemen kunci dalam jaringan informasi yang berkaitan dengan kebencanaan dan dampak perubahan iklim. Mereka tidak hanya berperan sebagai penerima informasi, tetapi juga sebagai sumber pengetahuan yang berharga dalam memahami dan merespons risiko serta tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Melibatkan mereka dalam sistem informasi ini akan memastikan bahwa perspektif dan kebutuhan mereka diakomodasi, sehingga strategi adaptasi perubahan iklim menjadi lebih inklusif, tepat sasaran, dan efektif.

Baca juga:

Meskipun pendekatan community-led development memberikan pemberdayaan bagi komunitas, peran pemerintah tetaplah penting dalam mendukung kebijakan adaptasi perubahan iklim yang inklusif. Pemerintah dapat berperan sebagai exemplar, investor, dan enabler dalam proses ini. Sebagai contoh yang baik (exemplar), pemerintah memiliki kewajiban untuk mengintegrasikan prinsip inklusivitas dalam setiap kebijakan yang mereka buat, termasuk dalam hal adaptasi perubahan iklim dan dampak bencana yang mengikutinya dan dirasakan oleh penyandang disabilitas.

Salah satu langkah yang sangat penting adalah dengan memastikan bahwa penyandang disabilitas dilibatkan secara aktif dalam perencanaan, respons darurat (ER), pemulihan, dan pemenuhan kebutuhan dasar mereka dalam menghadapi bencana atau dampak perubahan iklim. Hal ini harus tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang ada, seperti dalam Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) dan inisiatif seperti Program Kampung Iklim yang inklusif.

Sebagai investor, pemerintah memiliki peran penting dalam menyediakan pendanaan dan sumber daya yang memadai untuk memastikan bahwa program-program adaptasi perubahan iklim berjalan dengan baik, terutama yang melibatkan penyandang disabilitas. Lebih jauh lagi, pemerintah dapat mendukung program adaptasi perubahan iklim bagi penyandang disabilitas dengan membuka akses pembiayaan untuk penelitian yang berfokus pada dampak perubahan iklim terhadap mereka. Pendekatan penelitian yang komprehensif ini harus menjadi ujung tombak dalam memperdalam pemahaman kita tentang bagaimana penyandang disabilitas terpengaruh oleh perubahan iklim, serta bagaimana mereka dapat lebih dilibatkan dalam upaya mitigasi dan adaptasi.

Sebagai enabler, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa infrastruktur dan sistem yang ada dapat memfasilitasi partisipasi penuh penyandang disabilitas dalam program-program adaptasi perubahan iklim. Salah satu langkah penting adalah dengan menerjemahkan berbagai media terkait perubahan iklim ke dalam format yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Ini termasuk penyediaan informasi melalui berbagai saluran, seperti teks braille untuk tunanetra, subtitle atau deskripsi audio untuk mereka yang memiliki gangguan pendengaran, serta platform digital yang ramah disabilitas untuk memudahkan aksesibilitas. Termasuk juga pada penyandang disabilitas intelektual yang masih kekurangan instrument atau alat komunikasi yang mampu menjelaskan terkait perubahan iklim.

Pemerintah juga harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuat dapat mempertimbangkan konteks lokal, termasuk pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh komunitas penyandang disabilitas. Keberagaman karakteristik dan kebutuhan penyandang disabilitas, serta interseksionalitas mereka dengan faktor-faktor sosial lainnya, harus menjadi perhatian utama dalam merancang kebijakan adaptasi perubahan iklim. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Martin Silaban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email