Presiden Prabowo kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait dengan konflik antara Palestina dan Israel. Prabowo mengusulkan adanya relokasi sementara terhadap warga Gaza yang menjadi target operasi militer Israel.
Menurut keterangan dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, relokasi dilakukan untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan mencegah adanya korban jiwa yang lebih banyak. Akan tetapi, niat baik tersebut jelas keliru, sebab upaya perelokasian warga Gaza keluar dari Palestina merupakan ide dari Presiden Trump dan Benjamin Netanyahu.
Relokasi menjadi penting bagi Trump dan Netanyahu karena Gaza merupakan kantong perlawanan milisi Hamas terhadap Israel. Jika sikap pemerintah Indonesia tidak berubah, jelas Prabowo telah masuk perangkap Trump dan Netanyahu. Di samping itu, Indonesia semakin mendelegitimasi upaya pembentukan negara Palestina yang merdeka dan mandiri.
Lobi dengan Trump untuk Mengosongkan Gaza
Sejak terpilih kembali menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump sebagai salah satu sekutu terdekat Israel melakukan berbagai lobi untuk memindahkan penduduk Palestina di Gaza ke beberapa negara Arab atau Islam.
Baca juga:
Upaya tersebut jelas merupakan cara halus Trump dan Netanyahu untuk kembali mencaplok tanah Palestina untuk dijadikan pemukiman penduduk Israel yang luas wilayahnya semakin melebar sejak ekspansi pertama di lakukan tahun 1948.
Melalui media sosial resminya, Trump mengunggah rencananya untuk menjadikan Gaza sebagai sentra pariwisata ekslusif baru dengan membangun berbagai tempat hiburan bagi wisatawan dan Trump tower. Trump menganggap ini sebagai proyek besar.
Rencana Trump jelas didukung oleh Benjamin Netanyahu karena dapat mengurangi potensi ancaman militer dari kelompok milisi Hamas yang beberapa kali melancarkan aksi serangan balasan terhadap Israel dan dapat menguntungkan secara ekonomis.
Relokasi Penduduk Gaza Tidak Akan Menghentikan Agresi Israel
Akar permasalahan konflik antara Palestina dan Israel tidak akan selesai dengan proses relokasi terhadap penduduk Gaza. Akar permasalahan konflik tersebut adalah penyerobotan lahan secara paksa yang dilakukan oleh Israel dengan melakukan berbagai agresi termasuk genosida dan ethnic cleansing. Relokasi justru semakin menguatkan posisi Israel sebagai penjajah alih-alih memberikan tekanan bagi Israel untuk menghentikan serangan terhadap Palestina.
Sejak awal berdiri, Israel enggan mengakui Palestina sebagai negara otonom atau merdeka, bahkan mereka menganggap Palestina itu tidak ada. Hal itu didukung oleh pandangan politik ekstrimis Benjamin Netanyahu yang tidak akan menghentikan serangan sampai Hamas binasa dan Palestina tunduk terhadap otoritas Israel.
Mengikuti kemauan Trump dan Netanyahu untuk merelokasi penduduk Palestina dari Gaza sama saja dengan mendelegitimasi perjuangan Palestina untuk menjadi negara merdeka seutuhnya. Dan ini bertentangan juga dengan UUD 1945 yang dengan jelas menyatakan “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”.
Oleh karena itu, seharusnya pemerintah Indonesia tidak merelokasi warga Gaza dari tanah mereka, sebab itulah yang diharapkan Trump dan Netanyahu. Pemerintah seharusnya bersikap keras dengan memberi tekanan dalam tingkat internasional melalui two state solution (kesepakatan dua negara) dengan menfasilitasi perjanjian damai dan gencatan senjata permanen.
Jangan Sampai Berdiri dalam Sejarah yang Salah
Presiden Prabowo harus diingatkan untuk bisa memosisikan keberpihakan Indonesia dengan benar dalam konflik antara Palestina dan Israel. Presiden Soekarno telah mengingatkan dengan lantang, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel”.
Baca juga:
Fakta sejarah dan sikap bangsa Indonesia yang selalu mendukung upaya kemerdekaan Palestina jangan sampai berubah karena adanya tekanan, apalagi untuk urusan lobi tarif resiprokal terhadap Amerika Serikat. Advisor presiden di Kementerian Luar Negeri Indonesia pun juga bermasalah sebab tidak memberikan pandangan terkait bagaimana seharusnya Indonesia bersikap. Malahan, Sugiono selaku Menteri Luar Negeri justru mendukung upaya relokasi tersebut. Padahal dalam struktural Kementerian Luar Negeri pun ada Wakil Menteri yang membidangi urusan Timur Tengah dan negara Islam yang dijabat oleh Anis Matta.
Dalam hal ini jelas bahwa Kementerian Luar Negeri gagal sebagai pembisik dan peramu langkah taktis untuk urusan konflik Palestina-Israel dan membuat pandangan masyarakat dunia terhadap Indonesia semakin melemah. Terlebih saat Prabowo melakukan kunjungan kenegaraan ke Turki, usulan Prabowo untuk melakukan relokasi warga Gaza keluar ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Turki.
Presiden Prabowo jelas salah langkah dalam menentukan langkah strategis Indonesia dalam melindungi hak-hak warga Palestina dari agresi yang dilakukan oleh Israel. Upaya pemindahan penduduk baik itu sementara atau permanen bukan suatu langkah yang bijak.
Presiden Prabowo harus segera disadarkan. Jangan sampai ia menempatkan Indonesia di sisi sejarah yang salah. Jika tetap dilakukan, Indonesia secara langsung berdiri bersama Israel dan Amerika Serikat, yaitu melemahkan perlawanan Palestina untuk mencapai kemerdekaan.
Editor: Prihandini N