Unbelievable: Delegitimasi Kesaksian Korban Kekerasan Seksual dalam Sistem Hukum

Sekar Jatiningrum

4 min read

Ketika seorang perempuan melaporkan kasus pemerkosaan, respons yang seharusnya ia terima adalah perlindungan dan kepercayaan. Namun, realitas sering kali berkata sebaliknya—korban justru dihadapkan pada keraguan, intimidasi, dan tekanan untuk membuktikan bahwa ia benar-benar mengalami kekerasan.

Miniseri Unbelievable (2019), yang diadaptasi dari liputan investigasi pemenang Pulitzer Prize An Unbelievable Story of Rape oleh T. Christian Miller dan Ken Armstrong, menggambarkan kegagalan sistem hukum dalam mempercayai penyintas. Liputan ini, yang diterbitkan sebagai proyek bersama oleh ProPublica dan The Marshall Project, mengungkap bagaimana ketidakpercayaan terhadap korban kekerasan seksual masih mengakar dalam praktik penegakan hukum.

Baca juga:

Serial ini mengangkat kisah nyata Marie Adler (Kaitlyn Dever), seorang penyintas yang tidak hanya kehilangan kepercayaan dari kepolisian, tetapi juga dari orang-orang terdekatnya. Pengalaman ini mencerminkan bagaimana sistem yang seharusnya melindungi korban sering kali menjadi sumber viktimisasi sekunder (secondary victimization), yakni kondisi ketika korban kembali mengalami penderitaan akibat respons negatif dari aparat penegak hukum dan masyarakat.

Marie dan Kesaksian yang Diragukan

Pada tahun 2008, Marie Adler, remaja berusia 18 tahun, diperkosa di apartemennya di Lynnwood, Washington. Pelaku mengenakan pakaian serba hitam, sarung tangan, dan penutup wajah. Setelah menyerang Marie, ia mengancam bahwa jika Marie berbicara, foto-foto dirinya akan disebarluaskan. Ketakutan itu tidak menghentikan Marie. Ia melaporkan kasusnya ke polisi, berharap keadilan berpihak padanya. Namun, realitas berkata lain.

Alih-alih mendapat dukungan, Marie dipaksa mengulang kisah traumatisnya berkali-kali di hadapan dua detektif laki-laki yang tidak menunjukkan empati. Mereka tidak melihatnya sebagai korban, melainkan sebagai gadis yang sedang merajut kebohongan. Seiring tekanan yang bertubi-tubi, Marie akhirnya menyerah. Dalam keheningan yang pahit, ia menarik pengakuannya—bukan karena kebohongannya terbukti, tetapi karena sistem yang seharusnya melindunginya justru membuatnya runtuh.

Ironisnya, bukan pelaku yang dihukum, melainkan Marie yang justru didakwa dengan pelanggaran ringan berat atas tuduhan laporan palsu. Ia pun terpaksa menerima kesepakatan pembelaan yang mengharuskannya menjalani masa percobaan dan membayar denda sebesar $500. ProPublica/Marshall Project mencatat bahwa pengacara Marie terkejut dengan dakwaan tersebut, sebab pernyataan Marie tidak merugikan siapa pun. Ia menduga bahwa polisi menjatuhkan tuduhan bukan karena bukti yang kuat, melainkan karena merasa kesal dan menganggap waktu mereka telah disia-siakan.

Keraguan terhadap Marie mencerminkan kegagalan sistem hukum yang bias gender dalam memahami kompleksitas trauma yang dialami korban. Stevanovic dan Peräkylä (2012) menekankan bahwa dalam proses investigasi, penyidik memiliki kewenangan penuh dalam membentuk cara laporan korban dipersepsikan. Ketika korban tidak memenuhi ekspektasi stereotipis tentang “perempuan yang benar-benar diperkosa”—misalnya, ia tidak menangis histeris atau tidak langsung melapor—kesaksiannya lebih rentan untuk diragukan.

Penelitian lain menunjukkan bahwa pengungkapan kasus pemerkosaan adalah langkah pertama menuju keadilan, tetapi langkah ini sering kali dihambat oleh rasa takut yang tertanam dalam budaya dan masyarakat (Sato & Howard-Payne, 2024). Ketakutan ini tidak hanya muncul dari stigma sosial, tetapi juga dari kemungkinan penghinaan dan keraguan yang mereka hadapi dari aparat penegak hukum. Ehrlich (2001) menambahkan bahwa korban sering kali menghadapi dua tantangan besar: pertama, ketakutan bahwa masyarakat tidak akan mempercayai mereka; kedua, pertanyaan-pertanyaan invasif dalam penyelidikan yang dapat memperburuk trauma mereka.

Ketidakadilan yang Sistematis

Kasus Marie bukanlah satu-satunya. Pada tahun 2011, di Colorado, Detektif Karen Duvall (Merritt Wever) menerima laporan dari seorang perempuan yang mengalami pemerkosaan. Berbeda dengan detektif di Lynnwood, Duvall menangani kasus ini dengan pendekatan yang penuh empati, mendengarkan korban dengan sabar, serta memastikan bahwa ia merasa aman dan dihargai. Sikap ini sangat kontras dengan pengalaman Marie, yang justru diinterogasi dengan penuh kecurigaan dan tekanan.

Baca juga:

Di wilayah lain dalam negara bagian yang sama, Detektif Grace Rasmussen (Toni Collette) tengah menyelidiki kasus pemerkosaan lainnya. Bersama rekannya, Detektif Karen Duvall, ia menemukan pola kejahatan yang mencolok: pelaku menahan korban selama berjam-jam, berbicara dengan mereka setelah serangan, memaksa mereka mandi setelah diperkosa, dan secara sistematis menghilangkan jejak kejahatannya. Seiring berjalannya penyelidikan, keduanya menyadari bahwa mereka sedang memburu pelaku yang sama. Namun, meskipun bukti semakin kuat, dominasi budaya maskulin dalam kepolisian tetap menjadi penghalang dalam mengakui keterkaitan antara kasus-kasus ini, mencerminkan bagaimana bias institusional sering kali memperlambat atau bahkan menghambat keadilan bagi korban kekerasan seksual.

Ketidakpercayaan terhadap korban tidak hanya muncul dari bias individu, tetapi juga dari struktur sosial yang lebih luas. Macleod (2010) mengungkap bahwa mitos pemerkosaan (rape myths) begitu mengakar dalam sistem hukum, sehingga sejak tahap awal penyelidikan, penyintas sering kali menghadapi respons yang meragukan. Dalam sistem yang dibangun di atas standar maskulin, perempuan kerap ditempatkan dalam posisi subordinat—kesaksian mereka dianggap tidak cukup valid tanpa bukti fisik yang “objektif” (Anderson & Doherty, 2008).

Lebih jauh, ketidakadilan terhadap korban diperparah oleh sistem hukum yang korup dan tidak sensitif terhadap pengalaman perempuan. Koenig et al. (2003) menemukan bahwa di banyak negara berkembang, penegakan hukum terhadap pelaku sering kali minim akibat kurangnya perhatian pemerintah serta stigma sosial yang membungkam korban. Ini mencerminkan bagaimana kekuasaan dan maskulinitas saling berkelindan, menciptakan dominasi struktural yang semakin membuat korban tak berdaya.

Budaya Pemerkosaan dan Normalisasi Kekerasan Seksual

Sistem hukum yang bias gender berakar pada budaya pemerkosaan (rape culture), yang menciptakan lingkungan di mana kekerasan seksual dianggap wajar, dibenarkan, atau bahkan dimaafkan (White & Smith, 2004). Dalam budaya semacam ini, beban pembuktian justru sering kali dibebankan pada perempuan, sementara laki-laki jarang dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan yang mereka lakukan. Buchwald, Fletcher, & Roth (2005) menjelaskan bahwa masyarakat yang terpengaruh oleh budaya pemerkosaan cenderung meremehkan atau bahkan menormalisasi kekerasan seksual. Sementara itu, Wilhelm (2015) menyoroti bahwa kondisi ini tidak hanya melemahkan legitimasi kesaksian korban, tetapi juga berkontribusi pada rendahnya tingkat penegakan hukum terhadap pelaku.

Hal ini terlihat dalam reaksi orang-orang di sekitar Marie. Setelah pengalamannya di kantor polisi, Marie berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa, meski jelas ia mengalami trauma. Namun, bagi ibu asuhnya, Judith, sikap Marie yang tampak “terlalu santai” justru menjadi alasan untuk meragukan kesaksiannya. Mitos pemerkosaan sering kali menggambarkan korban sebagai sosok yang penuh trauma, syok, dan sulit berfungsi secara normal. Padahal, setiap penyintas memiliki cara tersendiri dalam menghadapi dan menyesuaikan diri dengan pengalaman mereka. Persepsi semacam inilah yang membuat banyak korban, seperti Marie, mengalami delegitimasi atas pengalaman mereka sendiri.

Baru tiga tahun kemudian, kebenaran kasus Marie akhirnya terungkap—berkat kerja luar biasa dua detektif perempuan tersebut. Ketika para penyidik menggeledah rumah pelaku, mereka menemukan setumpuk foto yang diambilnya dari para korban, termasuk bukti yang pernah ditangani Duvall dan Rasmussen. Di antara koleksi itu, mereka menemukan gambar seorang perempuan muda yang diikat dan disumpal di tempat tidur. Tersemat di dadanya, ada surat izin belajar dengan alamat Lynnwood, Washington. Itu adalah Marie. Bukti pasti bahwa ia berkata jujur sejak awal.

Penutup

Kasus Marie Adler bukan hanya kisah individu, tetapi cerminan dari permasalahan sistemik dalam penegakan hukum terhadap kekerasan seksual. Dominasi mitos positivisme dalam sistem hukum membuat pengalaman korban kerap disangsikan jika tidak sesuai dengan standar “rasional” yang dipaksakan. Budaya pemerkosaan yang mengakar semakin memperburuk keadaan, menyebabkan banyak korban tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya mereka terima. Reformasi hukum yang lebih sensitif gender serta perubahan budaya dalam cara kita memandang kekerasan seksual menjadi langkah mendesak untuk memastikan bahwa korban tidak lagi disalahkan atas penderitaan yang mereka alami. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Sekar Jatiningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email