Kehadiran banyaknya perpustakaan modern yang megah di beberapa wilayah di Indonesia, seperti membawa angin segar bagi dunia literasi Indonesia. Sebut saja Perpustakaan Grahatama Pustaka Yogyakarta, Micro Library Bandung, Perpustakaan Soeman HS Pekanbaru, Perpustakaan Jakarta Taman Ismail Marzuki, dan beberapa perpustakaan kampus ternama di Indonesia yang dibangun dengan desain arsitektur lebih modern. Hal itu untuk meninggalkan kesan perpustakaan yang kuno dan membosankan.
Secara konsep, barangkali kehadiran perpustakaan modern yang megah itu menjadi pertanda kemajuan dalam upaya peningkatan minat baca masyarakat Indonesia. Namun, apakah benar kehadiran perpustakaan yang didesain dengan arsitektur dan interior yang modern itu berhasil menarik banyak pengunjung? Apakah cukup berdampak pada peningkatan literasi masyarakat Indonesia?
Barangkali pepatah don’t judge the books by its cover menjadi landasan awal mengapa perpustakaan megah itu dibangun. Kalau penampakannya saja sudah tidak menarik, jangankan membaca buku-buku di dalamnya, masuk pun malas.
Pemerintah sengaja merancang image perpustakaan lebih menarik agar mendapat perhatian masyarakat. Cara ini mungkin di awal-awal berhasil meningkatkan pengunjung. Namun sayangnya, di sisi yang paling krusial, ini tidak efektif untuk meningkatkan daya literasi masyarakat di kalangan yang paling membutuhkan.
Diketahui, kemampuan membaca atau literasi anak Indonesia tidak berkembang selama 18 tahun jika merujuk pada hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA).
Pada tahun 2000, skor kompetensi siswa Indonesia di PISA berada pada angka 371. Setelah 18 tahun kemudian, angka itu masih sama persis di 2018. Padahal, dana yang digelontorkan untuk memajukan literasi di negeri ini tidak sedikit, mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya.
Banyaknya dana yang digelontorkan itu apakah cukup hanya dengan membangun perpustakaan megah, lantas literasi di Indonesia ikut meningkat?
Sasaran Melenceng
Perilaku kita yang sangat terikat dengan media sosial menanamkan antusiasme dan euphoria berlebih di awal pada hal-hal atau tempat baru yang sedang tren. Antusiasme dan euphoria tersebut kemudian akan pudar dalam waktu singkat. Setidaknya setelah pernah mencoba atau merasakan dan tentu saja sudah diabadikan di media sosial masing-masing.
Ini sama ketika dibukanya sebuah mal baru. Semua orang berbondong-bondong datang bahkan rela berdesak-desakan untuk sekadar melihat-lihat saja. Perpustakaan sudah tidak lagi menjadi tempat sebagaimana fungsinya, yaitu tempat membaca buku. Selain itu, dengan mental ‘budak konten’ yang terbentuk akhirnya hanya dimanfaatkan untuk ‘berswafoto ria’ dan membuat konten video demi eksistensi dunia maya. Waktu kita pun habis bukan untuk mengakses buku dengan bebas, melainkan hanya menjajal tempat yang sedang hits saja.
Layaknya sebuah mal, perpustakaan yang dibangun megah, tampaknya hanya bisa diakses kalangan menengah ke atas saja. Nyatanya tidak semua orang bisa masuk dan menikmatinya. Masih banyak kalangan menengah ke bawah yang belum bisa mengakses fasilitas publik yang disediakan pemerintah tersebut.
Bisa dikatakan banyak sasaran melenceng. Meningkatkan daya literasi masyarakat tidak efektif akibat ilusi keindahan arsitektur dan interior. Nasib buku-buku pun pada akhirnya tidak berubah: diabaikan. Di sisi lain, sistem keamanan dan administrasi yang rumit lalu menimbulkan pertanyaan, bagaimana caranya fasilitas publik bisa dinikmati semua kalangan?
Smart City or Selfiesh City?
Saya tidak tahu apakah masalah ini pernah dipertimbangkan atau belum. Salah satu perpustakaan yang saya sebut di atas, Perpustakaan Taman Ismail Marzuki, ternyata memiliki syarat administrasi yang harus dipenuhi sebelum masuk ke sana. Mulai dari reservasi lewat website, scan barcode dan sebagainya, agaknya terlalu rumit bagi mereka yang tidak paham dan tidak memiliki smartphone.
Proses administrasi yang berbelit-belit –karena tidak paham prosedur ditambah tidak memiliki smartphone– membuat sebagian besar masyarakat kalangan bawah terpaksa mengurungkan niat untuk berkunjung. Alih-alih fasilitas untuk publik, yang mana berarti semua kalangan semestinya bisa mengakses dengan mudah, kenyataannya kalangan kelas ekonomi rendah yang paling sulit mendapat akses ke perpustakaan.
Kita tahu ada Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) terbatas. Untuk ukuran kota besar seperti Jakarta saja, banyak anak tak memiliki ruang bermain yang memadai. Apalagi ruang literasi. Ujung-ujungnya, anak-anak mereka tetap berakhir di jalanan. Waktu senggang mereka pun, entah digunakan untuk apa. Yang jelas, kebanyakan bukan untuk membaca.
Besar pertanyaan di benak saya, untuk siapa perpustakaan megah ini sesungguhnya dibuat? Apa benar tujuannya adalah meningkatkan literasi dan minat baca masyarakat Indonesia? Lalu, kenapa dibuat persyaratan administrasi yang memberatkan kalangan bawah?
Wacana Smart City yang digembar-gemborkan tidak cocok untuk pembangunan infrastruktur yang egois. Hanya menonjolkan keelokan atau kemajuan suatu kota tanpa menghiraukan peningkatan kualitas manusia itu sendiri. Karena tempat-tempat baru yang berpredikat instagramable lebih sering dimanfaatkan untuk konten atau swafoto, mungkin lebih pas kalau disebut Selfiesh City dibanding Smart City.
Kepala Perpustakaan Nasional RI, Muhammad Syarif Bando menyebut 70% kegiatan perpustakaan, apa pun itu jenisnya, mulai dari perpustakaan nasional, perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan khusus, perpustakaan umum, sampai perpustakaan sekolah, seharusnya bisa melakukan transfer knowledge. Bukan hanya sekadar menjadi tempat kerja para pekerja kreatif, tempat swafoto atau membuat konten belaka.
Benahi dari Akar
Acara pembukaan dan peresmian salah satu perpustakaan baru di Jakarta sangat out of context. Melihat dari akun media sosialnya, acara tersebut diramaikan oleh musisi-musisi kenamaan. Sekali lagi saya ingatkan kalau memang tujuannya hanya meningkatkan pengunjung, cara itu ampuh sekali. Tetapi apakah akan berhasil meningkatkan minat baca dan kemajuan literasi masyarakat secara longitudinal?
Saya menganggap pemerintah sudah kehabisan cara. Atau memang terlalu malas berpikir. Lebih parahnya lagi, semua sektor dianggap sebagai komoditas dan dijalankan dengan paradigma ekonomi: untung-rugi. Tidak heran kalau cara yang dipakai sama dengan yang diterapkan ke sebuah mal.
Hampir tidak terdeteksi sedikitpun suatu inisiasi —event dan semacamnya— yang mencerminkan kepedulian terhadap minat baca dan literasi masyarakat. Tidak menyajikan hiburan kosong belaka. Padahal buku juga berfungsi sebagai hiburan. Cara terbaik untuk kita melepaskan penat dan ‘kabur’ dari rutinitas.
Apa tidak sebaiknya dibuatkan saja acara-acara yang memprioritaskan program peningkatan minat baca dan literasi terlebih dahulu. Misal, pembacaan dongeng untuk anak, menulis cerita, dan sebagainya.
Kemegahan yang terus ditampilkan banyak perpustakaan lambat laun melupakan aspek fundamental dalam meningkatkan minat baca dan literasi. Tidak semua orang akan sering datang ke perpustakaan besar.
Sepertinya perlu dipertimbangkan juga untuk membangun budaya literasi dalam lingkup kecil terlebih dahulu. Misal, dalam lingkungan RT, desa, atau dusun. Perlu sebuah perpustakaan mini untuk memenuhi kebutuhan literasi daerah setempat. Tidak perlu megah atau modern, asalkan memiliki stok buku yang relevan.
Duta Baca Gol A Gong pernah menyampaikan bahwa sebetulnya minat baca anak Indonesia cukup tinggi, hanya saja stok buku yang tersedia di perpustakaan sangat terbatas. Belum lagi akses untuk ke perpustakaan umum jauh dari tempat tinggal mereka. Sepertinya dengan dibangun perpustakaan mini di tiap desa atau tingkat RT, cukup memberi dampak pada budaya membaca orang Indonesia.
Ratusan miliar dana yang digelontorkan untuk literasi, sebaiknya juga dimanfaatkan untuk menyubsidi buku-buku yang menarik. Sehingga, koleksi buku di perpustakaan menjadi variatif dan tidak membosankan. Terutama buku untuk anak-anak.
Penelitian Perpustakaan Nasional pada 2021 menunjukkan jumlah buku bacaan di seluruh perpustakaan umum yang ada di Indonesia sebanyak 28.512.996 eksemplar. Adapun berdasarkan standar International Federation of Library (IFLA), jumlah koleksi buku perpustakaan umum akan tercukupi apabila rasio jumlah koleksi buku dua kali jumlah penduduknya. Artinya, jika penduduk Indonesia berjumlah 273,8 juta jiwa, buku yang harus disediakan pemerintah dua kali jumlah penduduk.
Peningkatan minat baca dan literasi juga bisa dilakukan dengan mengenalkan buku pada anak sejak usia dini. Karena itu, peran orangtua untuk menularkan gemar membaca pada anak amat penting. Selain untuk mengoptimalkan kecerdasan anak, membacakan buku untuk anak juga menjadi gerbang awal agar anak mencintai buku. Hal itu pernah disampaikan Psikolog Anak Devi Raissa. Jika anak di masa bayi sudah dibangun pondasinya dengan rutin dibacakan buku, kelak anak dengan sendirinya butuh akan buku.
Usaha-usaha ini lebih efektif meningkatkan minat baca dan literasi ketimbang sekadar membangun perpustakaan yang megah dan mewah. Jangan terlalu sering terpukau oleh kemegahan. Kualitas tidak dibangun dari hal itu. Benahi dari akar tidak hanya menuntaskan masalah, tetapi akan membuat perubahan yang berkelanjutan.
***
Editor: Ghufroni An’ars
Menurut pendapat rakyat jelata seperti saya mungkin lebih efektif perpustakaan tidak terlalu general dengan semua genre buku,
Ada baiknya perpustakaan di kerucut kan dengan minat individu agar seseorang lebih sadar buku apa yang sedang dia butuhkan dan pelajari.
Mungkin bisa dibuat perpustakaan teknik, perpustakaan bisnis, perpustakaan pendidikan, perpustakaan sejarah, dll
Kita juga tidak bisa menutup mata dengan maju nya teknologi dan dimudahkan nya informasi, orang lebih banyak memilih cara yang instant dan mudah.
Contoh kasus, seseorang ingin membuat kue atau kopi, pastinya dengan mudah orang akan google atau youtube. Apakah ada yang menyarankan coba cari di buku A atau B, tidak. Bukan perpustakaan nya yang salah, tapi generasi sekarang sudah terlanjur di manja kan dengan teknologi yang tentu saja ada sisi positif dan negatif nya.
Sangat tepat apa yang disampaikan penulis harus dimulai dengan lingkungan terkecil dari keluarga, RT, dll.
Tapi, fenomena yang terjadi sekarang ini pun, lingkungan terkecil kita mayoritas sibuk dengan gadget dan terbiasa mengkonsumsi informasi instant dimana sifat nya dopamine.
Kalau saya bisa dapatkan informasi ini dengan mudah, loh ya ngapain saya harus ke perpustakaan dan membaca buku toh saya dapat informasi tersebut hanya dalam beberapa menit.
Semua kembali lagi ke tujuan membaca, karena membaca tidak selalu hanya agar mendapatkan informasi, tapi bisa juga meningkatkan fokus, memperbaiki sel otak, meningkat iq, menstabilkan emosi.
Kemungkinan perlu dikaji dan di edukasi kembali tujuan dan manfaat mebaca buku “fisik” kepada masyarakat hal tersebut.
Yuk diskusi
You know me lah
Keren banget