Andai buku-buku dapat berbicara, mungkin mereka akan mengajukan protes ketika ada putusan penempatan di ruang publik. Andai rak buku berfungsi seperti kamera pengintai, maka ia akan merekam wajah-wajah yang mengabaikannya tidak terjamah dalam kesepian di tengah keramaian.
Pengandaian-pengandaian itu mungkin tidak berlaku bagi mereka yang hidup tenteram di ruang perpustakaan rumah mereka. Sebab, di sana orang-orang datang bersilaturahmi menanyakan kabar dan mereka menjamunya. Begitu pun dengan mereka yang berada di toko buku. Buku-buku di sana sering disambangi, meski belum tentu dipinang oleh para pembeli. Setidaknya, mereka mendapat perhatian walau sekadar dibaca judul atau dilirik sampulnya.
Jika ada HAB (hak asasi buku), mungkin buku-buku yang mendapat mandat penempatan di ruang publik akan demo minta persamaan hak. Sebagai buku, mereka menuntut kodratnya terpenuhi. Penempatan mereka di ruang publik sama halnya seperti memiliki kekasih yang enggan menafkahi batin pasangannya. Mereka kesepian, merana. Mereka ingin dijenguk, dibelai, dibuka, dan tentu dibaca. Apa yang paling nikmat bagi buku selain dibaca?
Baca juga:
Dalam tiga kali kesempatan yang berbeda, saya merasa iba pada nasib buku di ruang publik. Di Kantor Samsat Pamekasan, di Terminal Purabaya Surabaya, hingga di stasiun MRT Lebak Bulus, rak atau pojok buku sama-sama bernasib sepi dan terasing di tengah keramaian. Seolah-olah itu semua hanya pajangan pemanis ruangan.
Di Kantor Samsat Pamekasan, segelintir buku tersusun di sisi sebelah kiri ruang tunggu tes tulis. Ruang baca itu tak lebih dari tiga meter. Dibanding panjang rak yang dipasang menempel dinding, deretan buku itu tak sampai setengah rak. Ketika penulis hampiri, tak ada buku menarik. Apakah itu menjadi alasan ruang baca sepi? Ataukah karena orang-orang lebih sibuk mengurus keperluannya masing-masing?
Pengalaman di Terminal Purabaya Surabaya lain halnya, tak sampai seratus meter dari pintu masuk, kita akan mendapati sebuah perpustakaan mini berupa ruangan kecil berdinding kaca mirip toko buku. Dari balik kaca yang tembus pandang itu kita dapat melihat jejeran buku-buku yang tertata rapi. Tentu ruang baca ini lebih layak disebut sebagai pojok buku dibanding ruang baca di Samsat Pamekasan tadi. Sayangnya, ruang baca di terminal itu tutup ketika penulis mendatanginya tahun 2021 lalu. Pada kaca pintunya tertulis keterangan bahwa ruang baca tutup selama pandemi. Jadilah ruangan itu kosong dan buku-buku di sana hanya menjadi pajangan.
Rak buku di stasiun MRT Lebak Bulus terletak setelah eskalator menuju pintu keluar. Saya tidak menemukan buku menarik di situ, koleksi buku-bukunya pun minim. Selain diri sendiri, saya tidak melihat orang lain datang mendekat. Saya bertanya-tanya, apakah mereka pernah mengalami hal yang sama—tidak menemukan buku menarik—sehingga enggan mampir walau cuma sejenak?
Isu “Indonesia darurat membaca” sering dijadikan kambing hitam dalam memaknai fenomena sepi dan boring-nya rak buku di tempat umum. Saya pun awalnya termakan pengambinghitaman yang mentah itu. Saya kemudian menyadari bahwa fenomena sepinya rak buku di ruang publik adalah masalah yang tampak di permukaan. Permasalahan yang patut diangkat justru terabaikan selagi permasalahan itu terus memperparah kedaruratan membaca orang-orang kita dan menjadikan rak buku di tempat umum kian sepi.
Setidaknya, ada tiga sudut pandang untuk memahami permasalahan rak buku sepi pengunjung, yaitu pembaca, penyelenggara, dan pemerintah.
Dari sudut pandang pembaca, saya menilai minimnya pilihan buku di sana yang membuat pojok baca sepi. Sebagai pembaca, saya punya ketertarikan pada topik-topik tertentu, begitu pula pembaca lainnya. Ketika dihadapkan pada rak buku yang hanya menyajikan segelintir buku bertopik seragam yang sudahlah kurang menarik, tidak sesuai minat calon pembaca pula, wajar saja bila ada rasa enggan untuk menjamahnya.
Kemudian, penyelenggara atau penyedia buku bacaan yang setengah hati menjalankan tugas mereka. dikunjungi pembaca. Sebab itu, mereka tidak (mau) tahu buku apa saja yang sekiranya dapat menarik perhatian pengunjung. Boleh jadi, mereka juga bukan pustakawan yang sering melayani para pembaca, pun tidak hobi membaca. Namun, mereka tetap patut diapresiasi atas usaha pengadaan ruang baca sekalipun itu hanya formalitas demi mendapatkan bintang dari pemerintah.
Terakhir, pemerintah sebagai pihak yang mengadakan tempat baca di ruang publik dengan motif meningkatkan literasi masyarakat. Pengadaan tersebut biasanya dalam rangka menghapus atau memperbaiki penilaian buruk terhadap budaya literasi masyarakat Indonesia.
UNESCO mencatat tingkat literasi di Indonesia sebesar 0,001 alias 1 banding 1000. Artinya, dari seribu orang Indonesia, hanya ada satu orang pembaca buku. Untuk itu, pemerintah merasa perlu mengupayakan pengadaan akses baca di ruang publik yang kemudian direspons oleh instansi-instansi di bawahnya dengan program serupa. Akan tetapi, pertanyaannya adalah apakah mereka pernah melihat langsung kebutuhan literasi di masyarakat? Apa yang sebenarnya menjadi masalah mereka?
Baca juga:
Sebatas pengalaman saya bertemu dengan masyarakat di kampung, jangankan membaca buku, melihat buku saja mereka sudah takjub. Buku seperti barang asing yang mereka segani. Buku seolah-olah adalah kitab suci yang hanya bisa dibaca oleh orang-orang tertentu. Singkatnya, mereka merasa berjarak dengan buku. Ada jarak yang memisahkan antara mereka dengan buku. Apakah itu?
Saya pun tidak tahu. Belum. Namun, bila mengingat kondisi ruang baca di stasiun MRT yang terletak di kota dan disambangi orang-orang urban pula, sepertinya masalah berjarak-dengan-buku juga eksis di sana. Lagi-lagi, saya dibuat bertanya-tanya, apa yang menjadi jarak antara mereka dengan buku?
Kembali, saya tidak tahu jawabannya. Belum. Mungkin kita dapat menanyakannya langsung pada buku-buku? Mungkin saja mereka tahu.
Editor: Emma Amelia