Kabar hanyutnya seorang tenaga pendidik yang terbawa arus banjir masih terekam jelas di kepala masyarakat Kerinci yang terkena ganasnya bencana ekologi ini beberapa bulan lalu. Beberapa trauma lain juga masih menghantui masyarakat korban banjir karena hilangnya hewan ternak, runtuhnya rumah, serta beberapa hal mencekam lainnya. Bencana ekologi berupa tanah longsor juga masih diingat oleh pengguna jalan Kayu Aro – Sungai Penuh. Akses jalan terputus karena tanah longsor menghadirkan banyak sekali kerugian yang tak terhitung nilainya. Belum lagi persoalan kekeringan yang menimpa masyarakat tani bulan-bulan terakhir ini yang menyebabkan banyak sekali petani yang gagal panen.
Begitulah nasib menjadi masyarakat kecil di negeri yang katanya didatangkan dari surga ini. alih-alih menjadi surga, negeri ini menjelma menjadi neraka yang sangat mencekam bagi masyarakatnya. Puncak dari semua ini adalah ketika mendapati realitas bahwa tidak ada calon pemimpin kepala daerah yang benar-benar serius bicara perihal perubahan iklim dan bencana ekologis. Agaknya, diskursus tentang perubahan iklim dan bencana ekologis masih sangat jauh kalah seksi dibanding isu-isu populis lainnya. Padahal posisi Kerinci yang dikelilingi oleh Taman Nasional Kerinci Seblat begitu penting. Masyarakat mestinya didorong, melalui komitmen kepala daerah untuk menjadi ujung tombak dalam upaya pelestarian taman nasional melalui berbagai program peningkatan produktivitas usaha di luar kawasan dan kegiatan-kegiatan konservasi berbasis masyarakat lainnya.
“Ya beginilah menjadi petani, Mas, serba susah. Kalo bisa, orang-orang kaya sampeyan jangan jadi petani,” ucap Pak Man, seorang petani di kaki gunung Kerinci. “Dulu kami bisa panen hingga 30 karung, tapi dengan kondisi cuaca seperti ini, kami hanya bisa panen di bawah sepuluh karung mas.” Pak Man mengeluh.
Bencana ekologis, rendahnya produktivitas pertanian ditambah harga komoditas pertanian yang fluktuatif membuat para petani kian menjerit. Beberapa petani di Kayu Aro mesti menjadi petani yang siap menerima risiko jika suatu waktu terjadi banjir tiba-tiba yang bisa menghanyutkan tanaman di ladang mereka. Hal ini karena hutan di kaki gunung Kerinci sudah ditebang dan diubah menjadi lahan pertanian hortikultura oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Lagi-lagi, pemerintah daerah tidak ada yang serius menyelesaikan ini secara sistemik dan komprehensif. Alasan bahwa taman nasional adalah wewenang pusat menjadi dalih mereka. Tentu ini tidak dapat dibenarkan.
Menanti Komitmen Ekologis
Beberapa calon yang ikut kontestasi politik saat ini juga tidak ada yang membicarakan itu. Mereka hanya sibuk berkampanye ria, begoyang, menari dan tentu, Rentak Kudo. Mungkin kesemua ini patut kita sebut dengan istilah “Politik Rentak Kudo”, menari, bergoyang, lalu kesurupan. Yang lebih menyedihkan lagi, beberapa teman-teman mahasiswa yang lahir dari rahim perjuangan kampus juga termakan politik ini. Mereka mengadakan acara besar hanya untuk berentak bareng calon pemimpin negeri. Entah bagaimana gagasannya, yang penting Rentak Kudo.
Calon pemimpin yang hanya bisa berkampanye seperti itu biasanya ketika mereka menjadi pejabat, jarang sekali mau mendatangi teman-teman komunitas yang sedang bergerak secara serius membangun gerakan sosial.
“Kami mengundang berbagai instansi pemerintah untuk menghadiri kegiatan Kemah Literasi ini, namun tidak ada yang datang,” keluh Jeri, Penanggung Jawab Kemah Literasi 2024.
Kemah Literasi sendiri merupakan kegiatan untuk memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan oleh kaum muda di Kerinci. Kegiatan yang bertempat di Renah Kayu Embun ini dibawa dengan tema Literasi dan Konservasi : “Merajut Kata, Merawat Alam”. Sesuai spiritnya, kegiatan ini berupaya menumbuhkan optimisme di kalangan kaum muda Kerinci untuk lebih giat dalam menyebarkan pengetahuan literasi dan konservasi sebagai upaya membangun peradaban masyarakat yang lebih maju dengan basis berkelanjutan (sustainability).
Baca juga:
- Deforestasi Ugal-Ugalan Atas Nama Pembangunan
- Suku Kajang, Penjaga Kelestarian Hutan Bulukumba
- Apa Kabar Manusia Indonesia di Tahun Politik?
Dalam suatu diskusi, seorang sastrawan, akademisi sekaligus praktisi literasi, Okky Madasari pernah berkata, “Dalam sosiologi pengetahuan, masyarakat dibentuk oleh pengetahuan.” Artinya, upaya mendistribusikan pengetahuan adalah hal penting yang perlu dilakukan dalam membentuk peradaban masyarakat. Mungkin inilah yang diilhami oleh teman-teman penggerak Rumah Baca Lentera dalam mengadakan kemah literasi. Martin Suryajaya mengartikulasikan aktivitas literasi sebagai aktivitas mengonsumsi dan melahirkan kebudayaan. Pertanyaan ini disambut baik oleh teman-teman penggerak Rumah Baca Lentera untuk melahirkan kebudayaan pengetahuan di tengah masyarakat.
Diskusi yang berlangsung dalam agenda Kemah Literasi diwarnai dengan peserta yang aktif bertukar tambah pengetahuan. Narasi besar yang menjadi konsensus adalah menumbuhkan budaya baru berbasis ekologi di benak kepemimpin politik atau sederhananya mendorong kepemimpinan berbasis politik ekologis untuk menciptakan lingkungan hidup yang aman, nyaman dan tentram bagi masyarakat dan generasi mendatang.
The Creative Minority
Di tengah kemunculan berbagai gerakan sayap kanan tim pemenangan Pilkada berupa gerakan muda atau gerakan milenial yang pragmatis buta, Kemah Literasi berupaya mengumpulkan kaum muda kritis yang peduli akan kelestarian alam di Kerinci. Mereka dihimpun dari sudut-sudut negeri Kerinci. Membawa suara keresahan rakyat, khususnya mengenai persoalan ekologis yang tidak ditanggapi serius oleh pemerintah maupun tokoh-tokoh yang ikut berkontestasi dalam pesta politik tahun 2024 ini.
Dalam kegiatan yang berlangsung selama dua hari tersebut, muncul berbagai istilah dalam diskusi yang dilemparkan oleh peserta seperti SDM yang rendah, money politik, pemimpin yang tidak punya komitmen politik ekologi serta istilah menarik lainnya. Kesemua istilah itu disuarakan oleh kaum muda yang berumur rentang 16-18 tahun. Artinya, kaum muda khsusunya gen Z, adalah orang-orang yang kritis. Mereka peduli pada daerah dan tanah kelahirannya. Mereka tentu tidak mau hanya dijadikan sebagai komoditas untuk meraup suara semata. Lebih dari itu, mereka ingin berkontribusi untuk negeri, untuk bumi yang lestari.
Kaum muda dalam kemah literasi ini bergerak dengan kesadaran kritis. Mereka hadir dengan ciri-ciri kaum intelektual yang selalu mendambakan perbaikan demi perbaikan. Mereka menjelma menjadi semacam kelompok kecil kreatif (creative minority). Jika keberadaannya diperhatikan, dan potensinya doptimalisasi, mereka yang akan banyak memberi sumbangsih pemikiran untuk pembangunan kedepan. Mereka akan tumbuh dan menjelma menjadi kelompok kritis dan pikiran-pikiran tajamanya akan terus mengkritisi kepemimpinan di negeri yang disebut sebagai “sekepal tanah surga” ini.
Editor: Kukuh Basuki