Fomo dan Apatisme Politik

Martunas Munthe

2 min read

Buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tidak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat semuanya bergantung keputusan politik. – Bertolt Brecht

Hasil tiga kali pemilu terakhir seharusnya telah menyadarkan rakyat Indonesia tentang pentingnya politik dan pentingnya suara mereka dalam pemilu untuk menentukan hampir setiap aspek kehidupan mereka. Pemilu, misalnya, akan menghasilkan presiden dan anggota DPR yang akan mengambil kebijakan yang menentukan tingginya rendahnya harga makanan, beras, biaya kuliah, harga pupuk sampai potongan gaji bagi pegawai.

Presiden dan anggota DPR akan menentukan bebas tidaknya rakyat bisa berkumpul dan berdiskusi di manapun, kapanpun dan tentang hal apapun.

Tingginya harga-harga bahan makanan di bawah Presiden Joko “Jokowi” Widodo serta pemotongan gaji pegawai lewat Tapera berdampak langsung kepada kehidupan rakyat sehari-hari. Ini adalah akibat dari dua kali pemilu di 2014 dan 2019 yang menghasilkan Jokowi Sebagaimana presiden dan anggota DPR sekarang yang melakukan pembiaran.

Pentingnya kurikulum pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik, di mana sikap kritis dari masyarakat harus terus ada untuk memastikan dunia pendidikan bergerak ke arah yang lebih baik. Penegakan hukum juga merupakan hasil dari kebijakan politik. Masih sering ditemukan penegakan hukum yang lebih keras terhadap masyarakat kelas bawah, sehingga diperlukan sikap kritis terhadap kebijakan hukum di negeri ini.

Penggerebekan terhadap sebuah diskusi diaspora di Kemang, Jakarta Selatan, baru-baru ini oleh preman sewaan dengan “restu” polisi, misalnya, menunjukkan pentingnya pemimpin yang berpihak ke kebebasan bersuara. Apakah hasil pemilu 2024 yang menghasilkan Prabowo Subianto sebagai presiden akan memperburuk kondisi kebebasan bersuara atau sebaliknya? Kita akan melihat perkembangannya dalam beberapa bulan ke depan.

Pemilu presiden dan legislatif memang telah berlalu. Tapi pemilhan kepala daerah — gubernur, walikota dan bupati — masih akan berlangsung. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, terdapat 204.807.222 orang yang terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional. Dari jumlah tersebut, sekitar setengahnya adalah pemilih muda, di mana pemilih berusia 17 tahun berjumlah sekitar 6 ribu orang, sementara mereka yang berusia 17-30 tahun mencapai sekitar 63,9 juta jiwa, dan mereka yang berusia 31-40 tahun sekitar 42,395 juta jiwa.

Pemilu menjadi momen yang dinantikan banyak warga Indonesia karena memberikan kesempatan untuk berperan serta dalam menentukan arah kepemimpinan dan kebijakan yang telah terbukti dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan melalui para calon pemimpin yang dipilih. Namun, ironisnya, masih banyak generasi muda yang enggan terlibat dalam pesta demokrasi ini.

Pemikiran kuno seperti “Siapapun yang menjadi presiden, hidup saya tidak akan berubah” masih dianut oleh sebagian generasi muda. Mereka gagal menyadari bahwa keputusan politik tidak hanya memengaruhi kehidupan pribadi mereka, tetapi juga generasi mendatang. Bahkan ketika ada yang berbicara soal politik di media sosial, mereka kerap kali dicap sebagai “Fear of Missing Out” atau FoMO, yang artinya sekadar mengikuti tren yang sedang ramai diperbincangkan.

Namun, sebenarnya ikut membicarakan isu politik adalah sesuatu yang baik, terutama karena Pemilu 2024 didominasi oleh kaum muda. Hal ini menunjukkan bahwa mereka peduli akan masa depan negara, diri mereka sendiri, dan generasi penerus.

Sayangnya, pemikiran yang dangkal dan stigma FoMO politik ini menyebabkan apatisme di kalangan pemuda terhadap politik, membuat mereka sulit berpartisipasi aktif. Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah sebelumnya atau rasa kecewa karena janji-janji politik yang tidak terpenuhi juga menjadi alasan lain mengapa generasi muda menjadi tidak peduli terhadap politik. Bahkan, ketika beberapa pemuda turun ke jalan untuk memperjuangkan isu politik, mereka kerap kali dianggap melakukan hal yang sia-sia oleh rekan-rekan mereka yang apatis.

Sekarang adalah waktunya bagi generasi muda, yang dikenal sebagai agen perubahan, untuk mengesampingkan sikap apatis dan menumbuhkan sikap kritis. Bersikap apatis terhadap politik sama saja dengan membiarkan para pemimpin bertindak semena-mena. Generasi muda harus berdiri teguh pada prinsip mereka, bukan sekadar mengikuti arus. Mereka yang tidak kritis akan dengan mudah tersingkir dalam peradaban.

Martunas Munthe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email