Menulis: Jalan Keluar bagi yang Ingin Bersuara tapi Kagok Bicara

Audia Irfan

2 min read

Menulis adalah pelampiasan buat saya yang sering kalah dari rasa gugup. Bicara di depan umum lumayan bikin mampus. Grogi, cemas, blank, takut salah ngomong—lengkap. Jadi, ya, lebih baik saya mencurahkan isi kepala lewat tulisan. Bebas berekspresi, kalau pun ada yang nyinyir atau julid di tulisan saya, omongannya tidak langsung saya bawa hati seperti respons setelah berdiskusi.
Tapi, ironinya, ada saja yang menganggap saya ini orang yang kritis dan vokal. Gara-gara apa? Gara-gara rentetan story Instagram yang isinya repost kritik sosial-politik. Hasilnya orang jadi berpikir saya jago berargumen langsung. Mereka enggak tahu, saat dimintai pendapat lisan, saya sering kehilangan struktur bahasa yang benar di tengah jalan. Ujung-ujungnya saya malah tidak enakan akibat gagasan disampaikan itu belibet.
Lucunya, ekspektasi orang sering berbanding terbalik sama kenyataan. Ketika mereka berhadapan langsung, anggapan “kritis dan vokal” itu akhirnya runtuh. Saya sih santai aja. Enggak perlu jadi tokoh diskusi kalau bisa jadi ghostwriter di balik layar.
Baca juga:
Bagi saya, menulis adalah seni kebebasan. Menulis juga memungkinkan interpretasi yang lebih luas. Dalam forum, gagasan kita seperti telepon kaleng: pesan langsung sampai, tapi sering kali enggak ada kesempatan untuk mendalami maknanya. Tapi dalam tulisan? Pembaca adalah raja. Mereka bisa membaca, memahami, lalu memaknai sesuka hati.
Seperti kata Roland Barthes, “pengarang sudah mati”, nah, saya nggak mati beneran, tapi tulisan saya dibiarkan hidup bebas untuk pembaca. Terserah mereka mau memaknai atau menilainya bagaimana, intinya saya sudah menyampaikan gagasan yang telah lepas ikatan dengan penulisnya sejak tulisan itu dibaca orang lain.
Kesenjangan Lucu Antara Bicara dan Menulis
Ada hal menegangkan sekaligus lucu soal berbicara di depan umum. Saat bicara, semua mata tertuju pada kita. Mau enggak mau, kita jadi seperti artis dadakan. Masalahnya, “artis dadakan” kadang lupa teks. Jadi, kalau bicara langsung adalah dunia panggung, menulis adalah panggung belakang—tempat saya bisa berekspresi tanpa sorot lampu menyilaukan.
Bahkan dalam diskusi kecil, saya sering terpeleset oleh ekspektasi orang lain. Satu waktu, teman saya mengajak ngobrol soal feminisme. Awalnya saya pede karena saya tahu inti teori dan penerapannya. Tapi begitu bicara, saya malah blunder dan memberikan tanggapan yang itu-itu saja dan iya-iya saja. Tamat sudah. Niatnya diskusi, tapi yang keluar hanya jawaban standar.
Menulis menyelamatkan saya dari momen-momen “garing” semacam itu. Dengan menulis, saya punya waktu untuk memilih kata yang pas. Lebih penting lagi, menulis memberi saya kendali penuh untuk menyampaikan argumen tanpa gangguan loading, “eh bentar, apa lagi istilahnya ya?”
Sindiran Tipis untuk Para Pendengar Diskusi
Bukan berarti saya benci diskusi. Saya suka diskusi, selama tidak ada yang memaksa saya untuk jadi pembicara. Sebab, mari jujur, kadang pendengar diskusi juga nggak mendengarkan sepenuh hati. Berapa kali Anda melihat orang yang mengangguk-angguk seperti paham di forum? Mungkin dia mengiyakan karena sopan, bukan karena paham. Nah, di sinilah tulisan punya keunggulan. Tulisan tidak butuh basa-basi. Kalau tidak suka, ya sudah tinggal tutup lamannya dan tidak perlu bertahan jika menurutmu tidak menarik, berat, atau membosankan.
Baca juga:
Ironi lainnya adalah ketika orang menilai kita berdasarkan penampilan di satu forum. Satu kesalahan kecil, langsung dilabeli keberpihakan dan sebagainya. Obrolan verbal sifatnya respons yang cepat, salah kata atau diksi memungkinkan penilaian personal. Sementara itu, jika gagasan dituangkan ke tulisan, kita bisa memperhitungkan diksi yang lebih tepat. Kenapa? Karena menulis adalah seni menyampaikan gagasan tanpa tekanan waktu dan ekspresi.
Tulisan dan Bicara, Mana yang Autentik?
Saya kadang bertanya, apakah tulisan lebih autentik dibandingkan pembicaraan langsung? Atau sebaliknya? Jawabannya mungkin tergantung pada preferensi pribadi. Bagi saya, tulisan adalah refleksi pikiran yang matang sedangkan berbicara adalah seni spontanitas. Sayangnya, spontanitas sering membuat saya “tersandung.”
Jadi, ketika orang lain memilih panggung dan mikrofon, saya lebih memilih pena dan kertas. Ya, mungkin saya tidak akan jadi juru bicara. Tapi, saya yakin, tulisan saya tetap bisa berbicara untuk saya.
Audia Irfan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email