“Gerombolan Oknum Simpanse Menerjang Wilayah Timur Tewaskan Empat Simpanse.”
Judul berita utama di Harian Simpanse itu membuat seekor bapak Simpanse ragu melanjutkan membaca koran. Tapi, itu kejadian kemarin petang. Dan semua koran pagi pasti menyajikannya sebagai berita utama hari ini.
Ia membalikkan Harian Simpanse dan matanya menangkap baris judul lain. “Tersangka Z Mengakui Membunuh Kekasihnya Sebab Cemburu.” Ia menghela napas dan sebelum mengalihkan pandangan, matanya kembali menemukan judul yang lain: “Mengeluh Soal Bau Badan Si Kekasih, Simpanse Betina Dipukul Hingga Tewas.”
Simpanse membuka koran pagi perlahan. Ia mulai membaca berita penerjangan oknum Simpanse telah menewaskan empat Simpanse wilayah Timur. Dalam berita tersebut dinyatakan, tindakan itu dilakukan setelah oknum Simpanse wilayah Timur bertengkar dan berkelahi dengan oknum Simpanse penyerang itu. Tak dijelaskan secara rinci penyebab pertengkaran dan perkelahian itu.
Begitulah berita kerap disajikan setengah-setengah, berupa nukilan-nukilan. Sementara pikiran pembaca telah terlalu liar dipatik kalimat yang tertulis. Lalu jemari mereka jadi begitu lentik menghujat atau menghakimi pihak lain pedahal perkara sebenarnya begitu samar.
Bapak Simpanse ingat bahwa hal semacam ini pernah terjadi. Penyerangan macam ini bukan tidak mungkin menyulut amarah Simpanse wilayah lain. Pada akhirnya, akan terjadi perang saudara Simpanse tak terhindarkan.
Seraya menyesap kopi, Simpanse teringat bahwa telah tertulis dalam Kitab Para Simpanse ajakan untuk berani. Setiap Simpanse punya harga diri yang mesti dibela. Selain itu hidup berkelompok tentulah perlu menjunjung tinggi nama baik kelompoknya masing-masing. Sungguh menakutkan jika perang terjadi dengan alasan semacam itu. Jelas akan habis-habisan, mati-matian.
Tapi hal-hal yang menakutkan kelak akan menjadi buah pemberitaan tak ada habisnya. Tinggal bagaimana menuliskan dan dari sudut pandang mana diceritakan. Tinggal siapa yang mau ditonjolkan sebagai korban dan siapa sebagai pahlawan. Bukankah kita bisa dengan mudah menjadi pahlawan dalam cerita yang kita karang? Sama mudahnya dengan menjadikan pihak lain menjadi pecundang dari cerita yang sama.
Simpanse meletakkan koran. Ia tersenyum pada anak yang duduk di sisinya. Si anak Simpanse membuka koran dan mulai membaca. Tampaknya ia tertegun dan bisa jadi merasa cemas. “Ayah, apa ini bakalan terjadi? Di sini?” tanya anak Simpanse perlahan.
Simpanse mengamati rumput-rumput dan pagar pembatas rumahnya. Pagar bambu itu rapuh dan bisa saja kawanan Simpanse wilayah lain datang menerjang.
Simpanse mulai mempertimbangkan cara mengantisipasi jika terjadi penyerangan. Tak salah lagi, ia mesti lekas memperbaiki pagar itu. Ia mesti menyiapkan dana yang cukup besar jika ingin punya pagar yang cukup kokoh.
Ia mencoba mengingat kali terakhir memperbaiki pagar itu. Juga biaya yang dikeluarkan saat itu. Tapi anaknya memanggil, mengulangi pertanyaan dan membuat pikirannya buyar seketika.
Simpanse menghela napas. “Aku tidak tahu, Nak,” kata Simpanse. Simpanse berharap dengan memberi jawaban itu, maka akan runtuh semua pertanyaan yang bakal diajukan anaknya. Tapi Simpanse lupa, anaknya bukan jenis simpanse yang demikian.
“Ayah, apa mereka tidak ingat ya kalau yang diserangnya ini juga Simpanse?”
Simpanse memandang anak gadisnya itu. Mata yang bulat lucu itu menatapnya dan jelas si kecil menunggu jawaban. Bulu matanya lentik dan sekuntum kembang mekar diselipkan di telinganya.
Simpanse berdeham-deham untuk sedikit menggugurkan rasa tidak nyaman karena mesti menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan biasa yang diajukan pasca membaca berita itu.
“Kenapa tanya gitu?”
“Ya, aku pengin tahu, Yah.” Simpanse mengangguk-angguk saja. Diam-diam dia berharap anaknya lupa pada pertanyaan yang belum dijawabnya.
Simpanse kembali berdeham. Itu jadi alasan yang baik untuk segera mengambil kopinya. Ia berlama-lama menempelkan cangkir kopi di bibirnya. Berpura-pura menyesap kopi adalah cara terbaik menghindari pertanyaan anaknya.
Cara itu tampaknya cukup ampuh. Anaknya diam, tampak sibuk membolak-balikkan koran. Keheningan itu membuat Simpanse mengira anaknya lelah bertanya. Ia pun merasa bangga pada kecerdasannya dalam mencari cara menghindari pertanyaan. Simpanse menyesap kopinya seraya tersenyum samar.
“Lalu ini gimana, Yah? Mengapa bisa ada Simpanse jantan yang membunuh Simpanse betina hanya untuk menunjukkan kalau dia hebat, memegang kuasa, dan harus dihargai? Atau mungkin mau menunjukkan kalau dia jantan, makanya dia membunuh? Kenapa sih mesti ada kelompok yang merasa bisa memusnahkan dan kelompok lain menjadi yang dimusnahkan hanya karena identitas yang tidak bisa diubah itu? Padahal lho ya sama-sama Simpanse.”
Kali ini Simpanse tersedak sungguhan. Ah, sialan. Simpanse mengucapkan itu dalam hati. Ia tak berani menyesali pikiran kritis anaknya. Masalahnya, berita-berita di Harian Simpanse pagi ini memang mengguncangkan sisi rapuh kesimpanseannya.
Pada saat yang sama, Simpanse tahu dirinya sedang tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Baik dalam jawaban diplomatis, apalagi dalam jawaban yang filosofis.
Simpanse memutuskan tidak menjawab. Simpanse menanamkan dalam pikirannya bahwa ia menolak menjawab bukan karena takut salah menjawab. Ia hanya tidak tahu, jawaban yang tepat tanpa menimbulkan pertanyaan lain. Dia memutuskan diam agar wibawanya tidak jatuh di hadapan anaknya. Ya, diam itu adalah upaya penyelamatan yang sebaik-baiknya bisa diusahakan.
Di tengah upayanya menyugesti diri bahwa tidak memberi jawaban adalah langkah yang baik, Simpanse mendengar suara anaknya. “Terus, Yah, baiknya saat aku besar nanti aku masuk kelompok yang mana? Apakah boleh aku menjadi kelompok yang berbeda dan melawan? Boleh tidak aku berdiri dan bicara lantang membela kaumku? Kalau pada akhirnya ada yang harus menerima nasib dimusnahkan sebab sesuatu yang tak bisa diubah, kenapa dia mesti diciptakan?”
Simpanse terkejut. Ia meneguk ludah susah payah.
*****
Editor: Moch Aldy MA