Masyarakat Indonesia kini berbondong-bondong melakukan transformasi hidup dan pekerjaan dengan memanfaatkan kekuatan media sosial. Orang-orang kini tak hanya ingin eksis di dunia nyata, tetapi mereka juga ingin eksis di dunia maya. Sekarang ini media sosial punya pengaruh besar dalam membentuk pola interaksi masyarakat. Namun sayangnya, segala kemudahan yang ditawarkan media sosial belum diimbangi dengan transformasi manusianya. Alih-alih memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan kesadaran atas perbedaan dan merawat keharmonisan, media sosial justru menjadi alat untuk mememenuhi kepentingan pribadi atau golongan yang berpotensi memecah belah persatuan.
Hal ini menjadi penting mengingat ketertarikan masyarakat Indonesia terdadap media sosial sangat tinggi. Lembaga survei global Ipson for Reuteurs News merilis temuan yang isinya menyatakan bahwa pengguna media sosial di Indonesia adalah yang tertinggi di antara 24 negara dan menyumbang presentase 83%, menyisihkan China dan India.
Ketika masih bekerja di Semarang pada awal 2017, saya pernah mengikuti kegiatan kajian dakwah. Hampir 95% jamaah adalah anak muda, anak muda yang populer termasuk di dalamnya. Beriringan dengan itu, 80% dari jamaah juga aktif melakukan dakwah di media sosial. Selain itu, forum kajian juga melakukan live streaming untuk menjangkau kalangan yang lebih luas.
Di sana saya aktif menjalin komunikasi sekaligus mengikuti perkembangan media sosial beberapa jamaah yang sudah saya kenal. Di sini naluri pikiran saya mulai timbul karena konten dakwah yang disebarkan bernada provokatif. Belakangan saya mengetahui bahwa afiliasi komunitas ini adalah Jemaah Islamiyah, yakni gerakan bawah tanah yang menjadikan Barat sebagai musuh. Tentu kita bisa menebak komunitas ini mencita-citakan negara seperti apa, yang jelas bukan negara demokrasi.
Buzzer
Beberapa tahun belakangan ini, kita juga sering dijamu politik SARA oleh penduduk dunia maya. Pada tahun-tahun itu juga akun-akun buzzer banyak bermunculan. Buzzer adalah sebutan populer dari warganet untuk seseorang yang aktif menyuarakan pendapatnya dengan identitas pribadi atau anonim guna menyatakan suatu kepentingan di media sosial.
Tentu kita semua ingat dengan orkestrasi pilpres 2014 antara Jokowi-Jusuf Kalla melawan Prabowo-Hatta dan 2019 antara Jokowi-Mar’uf Amin melawan Prabowo-Sandi. Dalam konteks ini, politik SARA sering kali menjadi amunisi untuk saling menyerang dan menjatuhkan.
Buzzer dibutuhkan untuk mendukung opini seseorang atau sekelompok orang dengan suara yang sama guna memengaruhi pengguna media sosial lainnya. Pasukan buzzer ini terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu pro-pemerintah dan kubu oposisi. Bagaikan kisah Uni Soviet dan Amerika serikat, para buzzer juga terlibat perang dingin di media sosial.
Baca juga:
Penduduk dunia maya seolah-olah lupa bahwa integritas, kapabilitas, dan kinerja adalah indikator utama untuk menilai seorang calon presiden. Panasnya pertarungan politik, kurang cermatnya pengguna media sosial, ditambah perang dingin antar buzzer berdampak pada munculnya sentimen politik berbasis agama dan etnis di kalangan masyarakat Indonesia.
Dari dua persoalan di atas, dapat kita simpulkan peran media sosial begitu besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Saya sepakat bahwa golongan ekstremis masih ada dan mereka satu langkah lebih maju dalam menyebarkan pahamnya, yakni dengan memanfaatkan media sosial.
Besarnya pengguna media sosial di Indonesia harusnya menjadi modal awal untuk mendorong penyebaran konten anti kekerasan, nilai-nilai toleransi, solidaritas kemanusiaan, sekaligus integritas bernegara. Pemuda yang sadar akan hal ini harus mengambil peran untuk melakukan tranformasi, jangan sampai peran ini diambil alih oleh pasukan buzzer. Jika peran ini diambil oleh pasukan buzzer, akan sangat mungkin situasi politik dibenturkan dengan isu SARA. Dampak yang terjadi adalah timbulnya polarisasi dan perpecahan di tengah masyarakat Indonesia.
Kita harus merawat keberagaman dan persatuan di dunia maya dengan membangun ekosistem yang lebih humanis. Salah satu caranya adalah dengan melakukan transformasi manusia. Transformasi manusia yang saya maksud adalah dengan melakukan perubahan pola pikir dan perilaku dalam memanfaatkan teknologi digital dengan menyuarakan semangat toleransi, keberagaman dan persatuan di dunia maya. Hal ini penting dilakukan guna melawan isu SARA dan kebencian yang telah dikonsolidasikan dengan rapi oleh buzzer dan kelompok kelompok garis keras.
Editor: Prihandini N