Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Unpad

Ambisi Airlangga, Pragmatisme Nasdem

Gaston Malindir

2 min read

Pertemuan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh 10 Maret lalu menyiratkan kedua partai besar ini membuka pintu untuk berkoalisi mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilihan Presiden 2024.

Namun, meskipun gabungan suara mereka di Pemilu 2019 mencapai  hampir 22 persen yang berarti melebihi presidential threshold yang 20 persen dan cukup untuk membangun satu poros pengusung pasangan capres-cawapres, koalisi akan sulit terwujud jika Airlangga berkeras ingin menjadi capres.

Baca Editorial: Jokowi for Life?

Golkar setidaknya sudah mantap menunjukan sosok bakal calon yang akan diusung pada Pilpres 2024 yang tidak lain adalah Airlangga Hartarto selaku Ketua Umum. Sebagaimana pernyataan Dave Laksono selaku Ketua DPP Partai Golkar baru-baru ini bahwa “Kita punya kewajiban mendukung dan mengawal Keputusan Munas Partai Golkar, Keputusan Mubes Kosgoro 1957, untuk mensukseskan Ketum Partai Golkar Bapak Airlangga Hartarto sebagai capres pada Pemilu 2024 mendatang.”

Sementara, sebagai partai yang sangat pragmatis dalam memilih calon, Nasdem kecil kemungkinan mau mengusung Airlangga sebagai capres karena elektabilitas yang rendah. Dalam survei terakhir Litbang Kompas bulan Februari, misalnya, Airlangga bahkan tidak cukup populer untuk masuk dalam daftar capres.

Baca Editorial: You Don’t Know Us, Uncle

Nasdem sudah sempat menggadang-gadang calon alternatif, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Nasdem menunjukan sikap politik untuk lebih fokus mencari partai politik untuk membangun koalisi dan batal melakukan konvensi yang semula akan dilakukan di tahun 2022. Hal ini disampaikan langsung oleh Surya Paloh yang menyatakan, “Kami sangat perlu koalisi. Tapi sayang seribu sayang, banyak partner yang masih sibuk ingin jadi presiden. Jadi, untuk apalagi diteruskan konvensi?

Faktanya, elektabilitas Anies jauh melampaui Airlangga jika melihat survei-survei dari lembaga yang cukup kredibel. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Airlangga mau menjadi cawapres Anies? Dan jika ia mau, apakah Nasdem rela memberikannya?

Belum ada pernyataan resmi dari kedua partai ini karena dalam konfrensi pers yang dilakukan setelah pertemuan tersebut kedua ketua umum mengatakan bahwa pertemuan itu dilakukan dalam rangka menyelaraskan sikap politik untuk memastikan roda pemerintahan Presiden Joko Widodo terus berjalan efektif sampai 2024.

Namun pertemuan antar kedua ketum partai tidak hanya dapat dilihat dari aspek kepentingan penyelenggaraan pemerintahan saat ini saja, melainkan dari potensi koalisi yang dapat dibangun antar keduanya.

Tahun 2022 merupakan tahun politik mulai dari penetapan tanggal pemilu dan rangkaian pemilu sampai dangan tahun 2024 oleh pelaksana, pemilihan Komisiner KPU dan BAWASLU yang dilakukan oleh Komisi II DPR RI, dan persiapan partai politik dalam mempersiapkan kader terbaiknya yang akan maju pada Pemilu di tahun 2024. Oleh karena itu maka bukan tidak mungkin bahwa pertemuan yang digelar akan menjadi awal bagi kedua partai untuk berkualisi khusunya dalam mempersiapkan capres dan cawapres menuju 2024.

Mengacu pada pemilu serentak yang diadakan pada tahun 2019, kedua partai menempati posisi lima besar dari hasil pemilihan anggota legislatif (pileg). Sembilan partai dinyatakan lolos ke Senayan karena memperoleh suara melebihi batas ambang parlemen 4 persen. Kesembilan partai itu adalah PDIP (19,33 persen), Gerindra (12,57 persen), Golkar (12,31 persen), PKB (9,69 persen), NasDem (9,05 persen), PKS (8,21 persen), Demokrat (7,77 persen), PAN (6,84 persen), dan PPP (4,52 persen). Apabila melihat pada data tersebut maka sangat memungkinkan bahwa kedua partai dapat membangun poros koalisi baru di luar dari PDIP selaku partai pemenang pemilu.

Secara administrasi apabila Nasdem dan Golkar membentuk koalisi maka presentase yang terbangun sudah melebih syarat yang ditentukan yakni 29.891.581 atau 21,62% keterwakilan kedua partai di Parlemen. Jika mengacu pada ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Threshold) yang diatur dalam Undang-undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 222 berbunyi “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”,  maka jelas bahwa kedua partai sudah memiliki kans besar dalam membangun koalisi tandingan yang tergolong kuat.

Apabila dilihat dari statistik Pemilu 2019 dan dikaitkan dengan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (Presidential Threshold) yang cukup tinggi maka partai-partai dengan presentasi yang rendah pada pemilu legislatif sebelumnya akan kesulitan untuk memainkan peran untuk menjadi partai pengusung. Kondisi inilah yang memberikan keuntungan kepada partai-partai dengan presentasi yang tinggi untuk memegang kendali sebagai pengusung dan membentuk poros koalisi. Dengan begitu maka Nasdem dan Golkar dapat berkoalisi serta membentuk poros baru untuk pilpres 2024.

Gaston Malindir
Gaston Malindir Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Unpad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email