Bulan puasa kali ini adalah bulan puasa terberat dalam hidupku. Sudah beberapa hari aku menjalankan puasa dalam kondisi yang tidak fit. Kepalaku pening, mual, perut melilit, pandangan kabur, dan badanku lemas sekali.
Keadaan seperti itu sangatlah berdampak buruk dalam kehidupan sehari-hariku. Kuliah jadi tidak fokus, tugas kuliah terabaikan, block writer’s, dan berkomunikasi dengan orang lain itu jadi malas.
Saat menulis ini pun, aku bertanya pada diri sendiri, ”Apakah aku sedang mengalami gejala depresi?” Mungkin saja! Soalnya, hal-hal di atas itu terjadi karena belakangan ini aku sedang banyak pikiran.
Semua bermula ketika di media sosial beredar video rapat tertutup tentang Revisi Undang-Undang (RUU) TNI beberapa minggu yang lalu. Maka, seketika bayangan buruk tentang cerita-cerita tentang kekerasan militer dan penyalahgunaan kekuasaan mencuat di kepalaku, bahkan bayangan itu menjadi mimpi buruk di setiap langkahku.
Di setiap waktunya, kepalaku menyajikan ingatan betapa mengerikannya militer membantai masyarakat sipil yang dituduh komunis. Menurut penuturan orang tua dulu, sungai-sungai dipenuhi mayat-mayat dan airnya pun berwarna merah.
Aku tidak tahu itu benar atau berlebihan, tapi data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), membuatku percaya. Ada sekitar lima ratus ribu sampai satu juta korban genosida pada tahun 1965–1966.
Baca juga:
Kemudian, ada kekerasan lainnya seperti Malari 1974, penembakan misterius (Petrus), Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, penculikan aktivis pro-demokrasi di tahun 90-an, dan masih banyak peristiwa lainnya.
Selain melakukan kekerasan terhadap masyarakat, militer kerap kali digunakan mengontrol dan mengendalikan sosial-politik di sebuah negara. Contohnya, di zaman Orde Baru militer memanipulasi pemilihan umum untuk kelanggengan rezim Soeharto.
Begitulah isi kepalaku. Kemudian hari berganti hingga RUU tersebut disahkan resmi oleh DPR menjadi Undang-Undang, meskipun terjadi banyak penolakan dari banyak kalangan. Melihat itu, aku bertanya-tanya, ”Sebenarnya urgensinya apa sih pemerintah buru-buru sekali menetapkan RUU TNI menjadi UU di tengah kondisi Indonesia yang sedang babak belur?
Kondisi babak belur tersebut terekam dalam Survei Kepemimpinan Nasional Kompas 4–10 Januari 2025. Sebanyak 60,8 persen masyarakat menyatakan tidak siap menghadapi kondisi perekonomian yang semakin buruk. Dari 60,8 persen tersebut, 47 persennya adalah masyarakat dari kelas bawah dan kelas menengah bawah.
Di lapangan, kita bisa melihat sendiri bahwa lapangan pekerjaan semakin sempit, pengangguran, biaya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tercekik karena daya beli masyarakat yang turun drastis, pendidikan mahal, upah buruh yang masih rendah, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, dan hal-hal lainnya.
Lalu dari banyak masalah di atas kenapa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) malah mendahulukan UU TNI? Bukankah seharusnya DPR harus membuat kebijakan relevan dengan masalah di atas? Bukankah DPR adalah wakil rakyat, tapi kenapa mereka seakan-akan malah tidak peduli terhadap masalah masyarakat yang sebenarnya? Sangat tidak etis!
Apa jangan-jangan, sebenarnya memang tidak peduli kepada kita. Mungkin saja kan? Buktinya pasal yang mereka revisi tidak ada urgensinya terhadap masalah-masalah yang mengakar di masyarakat. Kebijakan yang mereka buat terlihat seperti kepentingan elit saja.
Contohnya, Pasal 47 yang awalnya menyatakan bahwa anggota TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan di Kementerian/Lembaga yang berjumlah 10 direvisi menjadi 14.
Sebenarnya, sebelum direvisi saja, kita telah melihat beberapa anggota TNI aktif yang berulang kali melanggar ketentuan. Entah terlibat dalam kampanye politik praktis sampai pengangkatannya sebagai sekretaris kabinet (Seskab).
Maka seharusnya, jika pemerintah ingin merevisi aturan dalam pasal 47 adalah mengurangi anggota TNI aktif menduduki jabatan sipil, bukan menambahkannya. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan pasal-pasal yang tegas agar kasus prajurit TNI yang melanggar ketentuan tidak terulang kembali.
Kita mundur sebentar, pada tahun 2023, ada kasus dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang menyeret nama anggota TNI aktif, Marsdya Henri Alfiandi.
Ketika melakukan operasi tangkap dan penetapan tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan protes dari Markas Besar (Mabes) TNI. Menurut Mabes TNI, KPK telah menyalahi aturan karena memproses anggota TNI aktif, tanpa berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Memang dalam UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Pasal 64 Ayat (2), telah mengatur bahwa prajurit TNI aktif yang melakukan tindak pidana yang bersifat umum itu diadili oleh peradilan umum. Faktanya, pelaksanaan agar anggota TNI tunduk kepada peradilan umum sangatlah sulit. Ada Pasal 74 Ayat (2) yang membuat anggota TNI aktif tidak bisa diadili di peradilan umum meskipun dia melakukan tindak pidana umum.
Baca juga:
Sejak diberlakukannya UU TNI, peradilan militer masih memiliki wewenang mengadili anggota TNI aktif ketika melakukan tindak pidana umum selama UU Peradilan Militer yang baru belum di bentuk. Ini tertulis dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Maka, kita tidak usah heran kalau ada kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang masuk ke peradilan militer, pelakunya tidak dihukum dengan setimpal.
Melihat pola-pola kasus di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa penetapan RUU TNI menjadi UU adalah kebijakan tidak pro-masyarakat sipil. Seharusnya yang perlu direvisi oleh pemerintah adalah UU tentang Peradilan Militer.
Kemudian, Pasal 53 tentang batas usia pensiun bintara dan tamtama bertambah menjadi 55 tahun, sedangkan batas usia pensiun perwira hingga kolonel menjadi 58 tahun. Kemudian batas usia pensiun jenderal bintang satu paling tinggi 60 tahun, jenderal bintang dua 61 tahun, jenderal bintang 62 tahun, serta jenderal bintang empat hingga 63 tahun dan bisa ditambah hingga 65 tahun.
Menurut Co-Founder Indonesia Strategic and Defense Studies (ISDS), kebijakan di atas merugikan tubuh TNI sendiri karena menyebabkan stagnasi karier. Tapi, aku tidak terlalu peduli akan hal itu. Yang menarik perhatianku adalah alasan Komisi 1 DPR, TB Hasanudin tentang batas pensiun jenderal bintang empat hingga 65 tahun.
Ia mengatakan bahwa batas usia pensiun jenderal bintang empat hingga 65 tahun itu kalau sosok jenderal tersebut masih dibutuhkan negara untuk Pemilu. Aku sendiri tidak tahu alasannya dibutuhkan untuk apa.
Kemudian, ia menambahkan bahwa batas usia pensiun jenderal bintang empat hanya bisa dilakukan oleh presiden, Prabowo Subianto. Ini yang bagi menarik bagiku. Masalahnya ada dua jenderal bintang yang begitu dekat dengan Prabowo.
Pertama adalah Agus Subiyanto. Ia adalah sosok yang memberikan ide Joko Widodo untuk memberikan gelar kehormatan kepada Prabowo. Apakah ini akan berujung pada politik balas budi?
Kedua adalah Maruli Simanjuntak. Ia adalah mantan anak buah Prabowo. Bahkan, sempat viral foto Prabowo menggendong dirinya sehabis menjurai lomba olahraga judo. Berarti begitu dekat sekali hubungan mereka.
Karena di dalam UU TNI, TNI berada dalam arahan presiden, wajar saja aku punya ketakutan Orde Baru akan kembali. Mungkinkah pelan-pelan karena kedekatan itu militer akan kembali mengontrol dan mengendalikan sosial-politik di Indonesia? bahkan melanggengkan kekuasaan Prabowo dan kawan-kawan dekatnya?
Kalau menurutmu bagaimana?
Editor: Prihandini N