Sejarah selalu menyisakan jejaknya, terkadang samar, terkadang begitu jelas hingga terasa seperti bayangan yang kembali mendekat. Rancangan Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) datang dengan daya tusuk yang tajam, penuh lekuk, seolah mengulang kembali kisah yang pernah terjadi di masa lalu—ketika militer bukan sekadar penjaga negara, tetapi juga pengendali di dalamnya.
Dulu, di masa Orde Baru, dwifungsi ABRI adalah pisau bermata dua. Dengan dalih menjaga stabilitas, militer tak hanya bertugas dalam pertahanan, tetapi juga meresap ke dalam kehidupan sipil, menjadi aktor utama dalam pemerintahan. Mereka tidak hanya memegang senjata, tetapi juga mengendalikan roda politik dan ekonomi. Di parlemen, di kementerian, di perusahaan negara, bahkan di tingkat daerah, perwira-perwira militer duduk di kursi kekuasaan, sering kali tanpa mekanisme pemilihan yang transparan.
Baca juga:
- Dari Dwifungsi ke Multifungsi: Melihat TNI Menari di Atas Kuburan Reformasi
- RUU TNI: Mengembalikan Dwifungsi ABRI dalam Wajah Baru?
Konsekuensinya? Demokrasi tercekik dalam cengkeraman kekuasaan yang terpusat. Kritik dibungkam, perbedaan pendapat dicurigai sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional. Militer, yang seharusnya menjadi alat negara, perlahan menjadi alat kekuasaan. Reformasi 1998 mencoba mencabut akar itu—mengembalikan militer ke baraknya, memastikan bahwa sipil memegang kendali atas negara.
Namun kini, lekuk pertama dalam RUU TNI seperti membawa kita kembali ke persimpangan yang sama. Ketika prajurit aktif diizinkan mengisi posisi strategis di enam belas kementerian dan lembaga, itu bukan sekadar penyesuaian birokrasi, melainkan sebuah gerbang yang kembali terbuka lebar. Batas antara sipil dan militer yang selama ini dijaga bisa terkikis, membawa kita pada masa ketika supremasi sipil hanya menjadi jargon tanpa makna.
Pada lekuk kedua, kekuasaan militer semakin melebar, tak hanya di birokrasi, tetapi juga dalam kewenangan hukum dan keamanan dalam negeri. Operasi Militer Selain Perang (OMSP) kini diperluas, menyentuh ranah yang dulunya menjadi domain kepolisian dan institusi sipil lainnya. Jika ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kita akan kembali pada pola lama, ketika kehadiran militer dalam kehidupan sehari-hari menjadi sesuatu yang wajar, bahkan tak terbantahkan.
Lekuk ketiga, menyentuh struktur internal militer itu sendiri. Dengan diperpanjangnya usia pensiun prajurit, regenerasi yang seharusnya menjadi denyut kehidupan militer bisa terhambat. Pada masa Orde Baru, banyak perwira yang tetap bercokol dalam jabatan strategis selama bertahun-tahun, menciptakan lapisan kekuasaan yang sulit ditembus oleh generasi muda. Kini, pola yang sama bisa kembali terjadi—struktur yang stagnan, yang lebih berpihak pada mereka yang telah lama berada di dalamnya daripada pada mereka yang membawa pemikiran baru.
Namun, lekuk keempat adalah yang paling mencekam—RUU ini disusun dalam senyap, tanpa keterlibatan luas dari masyarakat sipil. Dulu, saat dwifungsi ABRI berlaku, banyak kebijakan strategis dibuat di balik pintu tertutup, tanpa transparansi, tanpa ruang bagi rakyat untuk berbicara. Kini, pola itu seperti terulang. Milititer tidak akan demokratis, aturan yang akan keluar ialah bentuk komando, hierarkis, padahal demokrasi seharusnya dibangun dengan partisipasi, bukan dengan keputusan yang muncul tiba-tiba dan memaksa rakyat untuk menerimanya tanpa perlawanan.
Daya tusuk RUU ini memang penuh lekuk. Ia menyerupai jejak lama yang pernah ditinggalkan, tetapi kini muncul dengan wajah baru. Jika RUU TNI ini disahkan tanpa perubahan mendasar, gelombang yang ditimbulkannya akan mengguncang fondasi demokrasi, mengoyak supremasi sipil yang selama ini dijaga dengan penuh perjuangan. Ini bukan sekadar revisi teknis di atas kertas, melainkan gerbang yang mengarah pada pergeseran besar dalam tata kelola negara—sebuah pergeseran yang bisa membawa kita kembali ke lorong-lorong gelap sejarah.
Di titik pertama tusukan, kita akan menyaksikan retaknya supremasi sipil, benteng yang dibangun dengan darah dan air mata reformasi. Selama lebih dari dua dekade, supremasi sipil telah menjadi perisai yang menahan bayang-bayang masa lalu, memastikan bahwa militer tetap tunduk pada kekuasaan yang dipilih rakyat. Namun, jika aturan ini diterapkan, tembok itu bisa runtuh. Dari celah-celahnya, militer akan merayap masuk, menyusun kembali cengkeraman mereka atas kebijakan negara, mengukir jejak kekuasaan yang dulu pernah begitu kuat membelenggu.
Di titik kedua tusukan, kita akan melihat semakin kokohnya politik militer. Saat prajurit aktif diizinkan menempati posisi strategis di kementerian dan lembaga negara, batas yang selama ini tegas antara ranah sipil dan militer akan menjadi samar, seperti bayangan yang membaur saat senja. Netralitas militer, yang seharusnya menjadi tiang penyangga demokrasi, perlahan-lahan akan rapuh. Kebijakan publik, yang seharusnya lahir dari nurani rakyat, bisa saja menjadi refleksi kepentingan seragam hijau, meredupkan suara-suara yang berseberangan.
Baca juga:
Di titik ketiga tusukan, langkah ini akan menyeret kita pada kemunduran reformasi TNI—sebuah gerakan panjang yang bertujuan memisahkan tentara dari panggung politik dan pemerintahan. Reformasi, yang selama ini menjadi nyala api dalam kegelapan, terancam meredup. Jika RUU ini diberlakukan tanpa batasan, maka dua dekade perjuangan bisa lenyap begitu saja, menguap seperti embun di bawah terik matahari kekuasaan.
Dan akhirnya, yang paling mencekam adalah ancaman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa ketika militer diberi kuasa atas ranah sipil, kebebasan individu sering kali menjadi korban pertama. Jika operasi militer diperluas hingga mencakup hukum dan keamanan dalam negeri, maka potensi pelanggaran HAM akan meluas seperti riak yang tumbuh menjadi gelombang besar. Kita telah melihatnya di masa lalu—pintu rumah yang digedor di tengah malam, suara-suara yang dibungkam dalam sunyi, dan kebebasan yang hilang tanpa jejak. (*)
Editor: Kukuh Basuki