RUU TNI 2024 menyelundupkan hantu Orde Baru ke dalam naskah undang-undang. Ini adalah sebuah skema sistematis untuk mengubah tentara menjadi algojo demokrasi, mengubur supremasi sipil, dan membenamkan Indonesia ke dalam kubangan fasis-militeristik yang kita kira sudah mati pada 1998.
Dengan dalih penyesuaian teknis, RUU ini justru menghidupkan kembali doktrin dwifungsi dalam format yang lebih bengis: Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dikemas sebagai solusi atas krisis sipil, batas usia pensiun yang dipanjangkan untuk memelihara oligarki jenderal, dan ilusi koordinasi sipil melalui Kementerian Pertahanan yang sarat konflik kepentingan.
Tiga racun ini bukan sekadar ancaman abstrak—mereka adalah palu godam yang siap meremukkan tiang-tiang demokrasi, mengembalikan TNI ke posisi deep state yang mengatur negara dari balik layar, sementara masyarakat sipil dipaksa berlutut di bawah todong senapan ‘stabilitas’. Jika disahkan, RUU ini bukan hanya pengkhianatan terhadap korban pelanggaran HAM masa lalu, melainkan penguburan hidup-hidup masa depan kebebasan generasi mendatang.
Pengkhianatan Terhadap Reformasi 1998
Pasca reformasi 1998, TNI secara bertahap dipisahkan dari politik praktis melalui Tap MPR No. VI/2000 dan UU No. 34/2004 tentang TNI yang secara eksplisit membatasi peran militer di bidang pertahanan (Pasal 7 ayat 2). Namun, RUU TNI justru membuka celah bagi TNI untuk terlibat dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti penanggulangan terorisme, bencana alam, hingga konflik agraria. Legalisasi RUU TNI ini berbahaya karena tiga alasan:
Pertama, klausul “penugasan lain dari pemerintah” dapat dijadikan alat politik untuk mengerahkan TNI dalam urusan sipil yang bersifat politis, seperti pengamanan pemilu atau represi terhadap protes sosial.
Termaktub dalam naskah akademik RUU TNI yang berbunyi: “Selain itu, beberapa prajurit aktif TNI antara lain juga dapat diperbantukan pada kementerian kelautan dan perikanan, staf kepresidenan, badan nasional penanggulangan terorisme, badan nasional penanggulangan bencana, badan nasional pengelolaan perbatasan, kejaksaan agung, serta kementerian/lembaga lainnya atas kebijakan Presiden.”
Kedua, batas usia pensiun yang diubah. Perubahan batas usia pensiun perwira TNI dalam RUU ini bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan strategi sistematis untuk memelihara oligarki militer di jantung kekuasaan. Dengan memperpanjang masa dinas, RUU ini menciptakan “kasta gerontokrasi”—para jenderal yang tetap bercokol di posisi strategis hingga usia lanjut. Dampaknya dua arah: pertama, menghambat regenerasi kepemimpinan muda yang potensial membawa pembaruan, sehingga memupuk budaya konservatisme dan resistensi terhadap reformasi internal. Kedua, perpanjangan masa jabatan membuka ruang bagi perwira tinggi untuk membangun jaringan politik dan bisnis yang lebih kokoh, mengubah TNI menjadi kartel kekuasaan yang abai terhadap prinsip netralitas.
Contoh konkretnya terlihat dari maraknya mantan jenderal yang memasuki parlemen atau menduduki posisi sipil pasca-pensiun—sebuah praktik yang akan semakin massif jika usia pensiun diperpanjang. Dengan kata lain, kebijakan ini bukan untuk memajukan institusi, melainkan mengabadikan hegemoni segelintir elite militer yang berkepentingan mengontrol negara dari belakang layar.
Ketiga, kedudukan TNI yang dapat berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan. Klausul yang menempatkan TNI di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan (Kemhan) sekilas terlihat sebagai upaya memperkuat kontrol sipil. Namun, ini adalah manuver semantik yang menutupi fakta bahwa Kemhan sendiri masih didominasi oleh perwira aktif atau purnawirawan TNI. Di Indonesia, Menteri Pertahanan kerap dijabat oleh figur berlatar belakang militer, seperti Prabowo Subianto (2020–2024) atau Ryamizard Ryacudu (2014–2019).
Artinya, “koordinasi sipil” yang dijanjikan RUU ini hanyalah sirkus birokrasi di mana TNI mengontrol diri sendiri melalui Kemhan—sebuah praktik self-regulation yang bertentangan dengan prinsip checks and balances. Lebih berbahaya lagi, klausul ini berpotensi melegitimasi intervensi militer dalam kebijakan pertahanan sipil, karena TNI bisa menggunakan kedok Kemhan untuk mendikte agenda politik nasional.
Jika TNI dan Kemhan menyatu dalam hierarki yang kabur, siapa yang akan mengawasi ketika kebijakan pertahanan diselewengkan untuk kepentingan politik segelintir jenderal? Klausul ini justru mengukuhkan militerisasi birokrasi sipil, alih-alih menjinakkan militansi politik TNI.
Dua perubahan ini saling terkait dalam membentuk ekosistem otoritarianisme baru. Perpanjangan usia pensiun memastikan para jenderal tetap berada di lingkar kekuasaan lebih lama, sementara koordinasi dengan Kemhan memberi mereka akses legal untuk menginfiltrasi kebijakan sipil. Kombinasi ini bukan hanya mengancam profesionalisme TNI, melainkan juga mengubah demokrasi menjadi sistem hybrid di mana militer menjadi puppet master yang menggerakkan politik dari balik layar.
Jika RUU ini disahkan, kita akan menyaksikan kelahiran rezim militerisme teknokratis: otoritarianisme yang dibungkus bahasa reformasi, namun hakikatnya adalah restorasi kekuasaan absolut tentara atas nama “stabilitas”. Inilah bahaya terbesar: demokrasi tidak mati oleh kudeta terbuka, melainkan digerogoti pelan-pelan lewat revisi UU yang seolah “teknis”, namun mematikan.
Pelanggaran Prinsip Kemanusiaan
Secara konstitusional, RUU TNI bertabrakan dengan UUD 1945 Pasal 30 ayat (3)-(5) yang menegaskan bahwa pertahanan negara dilaksanakan melalui sistem total warfare yang melibatkan seluruh rakyat, bukan monopoli TNI. Lebih parah lagi, RUU ini mengabaikan prinsip due process of law dengan memberi kekebalan hukum kepada personel TNI yang bertindak di luar prosedur operasi standar (SOP). Kekebalan ini berisiko menciptakan impunitas baru, terlebih di tengah catatan buruk TNI dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM seperti pembunuhan Munir, Tragedi Trisakti, dan kekerasan di bumi mutiara hitam, Papua.
Di tingkat internasional, RUU ini berpotensi melanggar Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum (1990) yang melarang militer terlibat dalam penegakan hukum sehari-hari. Selain itu, perluasan peran TNI dalam penanganan terorisme (Pasal 7 ayat 3e) bertentangan dengan Rekomendasi Komite HAM PBB tahun 2020 yang meminta Indonesia membatasi peran militer di wilayah sipil.
Ancaman Sistematis Terhadap Kebebasan Sipil
Pembukaan keran OMSP dalam RUU TNI berpotensi menjadi senjata represif baru untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat. Dalam lima tahun terakhir, keterlibatan TNI dalam kasus kriminalisasi aktivis—seperti intimidasi terhadap petani Kendeng atau penggusuran paksa di Kalimantan—telah meningkat 120% (Imparsial, 2022). Dengan legalisasi OMSP, aksi-aksi serupa akan mendapat legitimasi hukum, sehingga memperkuat militarisme struktural dalam tata kelola negara.
Lebih mengkhawatirkan lagi, RUU ini tidak menyertakan mekanisme pengawasan sipil yang memadai. Sekali pun nanti dibentuk Komite Pengawas, komposisinya didominasi oleh perwira aktif TNI dan kementerian pertahanan, sehingga tidak independen. Tanpa partisipasi publik dan lembaga HAM dalam pengawasan, RUU ini hanya akan mengukuhkan TNI sebagai negara dalam negara yang bebas dari akuntabilitas.
RUU TNI 2024 adalah kemunduran besar bagi demokrasi Indonesia. Alih-alih mereformasi TNI menjadi institusi modern yang menghormati HAM, RUU ini justru menghidupkan kembali doktrin dwifungsi, atau bahkan multifungsi, dalam format yang lebih represif. Pemerintah dan DPR harus mencabut seluruh klausul OMSP dan mengembalikan TNI pada fungsi pertahanan murni sertamemperkuat mekanisme pengawasan sipil melalui pembentukan badan independen yang melibatkan CSO, akademisi, dan Komnas HAM.
Sejarah membuktikan bahwa demokrasi tidak bisa hidup di bawah bayang-bayang senjata. Jika RUU ini dipaksakan, Indonesia tidak hanya mengubur reformasi 1998, namun juga membuka pintu bagi kembalinya otoritarianisme yang lebih sistematis. Generasi muda berpotensi terjebak pada kumparan protofasisme melalui militerisasi masyarakat sipil.
Titik Nadir Demokrasi dan Seruan Akhir Zaman Kebebasan
RUU TNI 2024 bukan sekadar produk legislatif cacat demokrasi, melainkan manifestasi pengkhianatan terstruktur terhadap jiwa reformasi 1998. Dengan mengukuhkan militer sebagai tangan besi yang berhak mengintervensi urusan sipil, RUU ini menghidupkan kembali hantu dwifungsi dalam baju kekinian yang lebih bengis: sebuah multifungsi yang membolehkan TNI merangkap sebagai algojo politik, pengawas opini publik, sekaligus penjaga status quo kekuasaan.
Setiap klausul OMSP dalam RUU ini adalah palu godam yang siap meremukkan sendi-sendi kebebasan sipil, mengubah Indonesia menjadi laboratorium militerisme di mana senjata lebih sah berbicara daripada konstitusi. Jika pemerintah dan DPR tetap bersikeras meloloskan RUU ini, mereka bukan hanya menginjak-injak korban pelanggaran HAM masa lalu, tetapi juga menyerahkan nyawa demokrasi ke mulut buas rezim yang haus represi. Ini bukan revisi undang-undang, melainkan kudeta konstitusional yang dilegalisasi melalui meja paripurna.
Sejarah akan mencatat RUU TNI sebagai titik nadir demokrasi Indonesia—saat negara memilih menjadi penjara terbuka di bawah kendali seragam, ketimbang merawat kebebasan sebagai warisan reformasi. Setiap dukungan terhadap RUU ini adalah persetujuan diam-diam pada fasisme; setiap pembiaran adalah pengkhianatan terhadap darah para mahasiswa 1998 yang mati untuk memastikan militer tetap di barak.
Jangan terkecoh oleh retorika “stabilitas” atau “pertahanan negara”—RUU ini adalah senjata pamungkas oligarki untuk mematenkan kekuasaan dengan moncong senapan. Kepada publik, inilah saatnya berteriak: tidak ada kompromi dengan militerisme!
Tarik RUU ini, atau hadapi gelombang perlawanan dari generasi yang menolak hidup dalam bayang-bayang diktator berlagak patriot. Demokrasi mungkin terluka, namun selama satu suara sipil masih berani melawan, ia tidak akan pernah mati diinjak sepatu lars.
Seret TNI kembali menuju barak!
Editor: Prihandini N