Menjadi guru berarti menjadi manusia yang belajar sepanjang hayat (long life learning). Namun, banyak guru yang belum menyadari tugasnya itu mulia. Banyak guru yang menganggap profesinya sebagai profesi atau pekerjaan pada umumnya. Tapi itu salah! Lebih dari itu, guru harus punya kompetensi dan mempertanggungjawabkan ilmu pengetahuan yang ia miliki demi misi suci membumihanguskan kebodohan yang ada di negeri ini. Karena itu, hendaknya para guru “berguru” kepada Bung Hatta.
Pendidikan dan Buku
Bung Hatta memulai pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School (ELS). Lalu, ia melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO). Hingga pada 1921, ia menjadi mahasiswa di Rotterdamse Handelshogeschool, sekolah tinggi ilmu ekonomi terkemuka di Belanda.
Ada kisah menarik manakala Bung Hatta berada di negeri Oranye itu. Sebagaimana dalam Buku Seri Tempo Bapak Bangsa edisi Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman (KPG, 2018), Bung Hatta begitu kesulitan buat membeli buku. Dikisahkan, sebagai mahasiswa baru Bung Hatta mewajibkan dirinya membeli buku. Apalah daya, ia belum menerima dana beasiswanya. Uang saku yang ia bawa dari kampungnya tidaklah seberapa.
Baca juga:
Namun, Bung Hatta nekat. Tanpa uang saku, ia mendekati rak buku besar di dalam toko buku di Rotterdam, De Westerboekhandel. Bung Hatta mengambil buku Hartley Withers, Schar, dan beberapa buku karangan T.M.C. Asser. Ia tak tahu mau dibayar dengan apa semua buku itu. Beruntung, pemilik toko buku itu tahu bagaimana ia harus bersikap kepada mahasiswa miskin dari belahan Dunia Ketiga.
Dalam buku Mohammad Hatta Memoir, Bung Hatta menulis, “Dengan De De Westerboekhandel aku adakan perjanjian bahwa buku-buku itu kuangsur pembayarannya tiap bulan f10. Aku diizinkan memesan buku itu terus sampai jumlah semuanya tak lebih dari f 150”. (hlm. 29-30)
Sepulangnya ia dari negeri Kincir Angin, Bung Hatta berniat menjadi guru. Bung Hatta malah ditertawakan sejawatnya ketika ia ingin mengajar di Hindia sepulangnya kuliah dari Belanda. Dalam buku Polemik Kebudayaan suntingan Achdiat K. Mihardja (Pustaka Jaya, 1986), ada esai gubahan Sutan Takdir Alisjahbana bertajuk Pekerjaan Pembangunan Bangsa sebagai Pekerjaan Pendidikan.
Terbaca, bahwa ketika Moh. Hatta dalam zaman perselisihan berhubungan dengan Partai Nasionalis Indonesia melalui Mr. Sartono cs. Dari negeri Belanda menulis, bahwa ia setibanya di Indonesia akan bekerja di ranah social-paedagogiek. Ia ditertawakan oleh beberapa pihak, malahan ada yang menyatakan bahwa Moh. Hatta sudah melempem dan takut akan berjuang di gelanggang politik. Bahwa Bung Hatta tidak memedulikan tuduhan itu. Ternyata pula, ia ingin melahirkan perkumpulan yang dinamakannya: Pendidikan Nasional Indonesia.
Tulisan tadi membikin kita menduga bahwa Bung Hatta berniat membersihkan kotoran yang ada di anak-anak pribumi karena dampak buruk kebijakan pendidikan di masa Politik Etis (etische politiek) yang diinisiasi oleh C. Th. van Deventer. Era itu ditandai dengan lahirnya sekolah-sekolah yaitu: ELS, MULO, AMS, sampai STOVIA yang menerapkan kurikulum bergaya Eropa dan diperuntukkan untuk anak-anak orang Belanda dan anak-anak pilihan keturunan bangsawan pribumi.
Baca juga:
Sekolah-sekolah tadi mengajarkan kedustaan yang merugikan bangsa Indonesia. Buktinya, anak-anak harus menguasai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pelajaran, sejarah Belanda, keadaan geografis negeri Belanda, dan sangat mengabaikan pelajaran soal sejarah, kehidupan, maupun kebudayaan di Nusantara. (Suradi Hp, 1986: 7-9)
Yang benar saja, ketika ia dibuang ke Banda Naira pada 1936, Bung Hatta bersama Sutan Sjahrir menjadi guru di sana. Jika menonton YouTube dan menyimak film dokumenter bertajuk Bung di Banda (17 Februari 2020) di kanal GiePicture, terlukis bagaimana menakjubkannya gugusan kepulauan Banda Neira. Film itu juga menceritakan keseharian kedua Bung itu ketika menjalani pengasingan di sana.
Atas kesadaran mereka berdua, Bung Hatta dan Bung Sjahrir mengadakan sekolah untuk anak-anak pribumi di Banda Neira. Menurut penuturan Najirah Amsi, dosen sejarah STKIP Hatta-Sjahrir, Banda Naira, Bung Sjahrir mengadakan sekolah di kelas pagi dan mengajarkan Bahasa dan berhitung. Lalu di kelas sore, Bung Hatta mengajar ilmu ekonomi dan ilmu tata letak buku.
“Bung Hatta juga mengajar sejarah nasional, karena ketika itu Belanda mengajarkan ke anak-anak pribumi bahwa mereka punya pahlawan nasional seperti William Orange, Jan Pieterszoon Coen, dan mendistorsi fakta bahwa Sultan Agung adalah penjahat perang dan Pangeran Diponegoro adalah pemberontak.” Tandas Najirah.
Kiwari
Dari apa yang telah terhampar di atas, Bung Hatta memberikan refleksi bagi guru-guru kita saat ini. Bagaimana cintanya Bung Hatta dengan buku, memberikan teladan yang baik untuk generasi muda, terutama guru-guru kita yang masih muda pula. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh para guru. Membaca buku harus menjadi kewajiban pada diri mereka. Toh, bukankah Bung Hatta pernah bilang, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku”.
Baca juga:
Namun, nyatanya tidak. Guru-guru sekarang jarang membaca buku. Paling-paling mereka hanya membaca buku lembar kerja siswa (LKS) atau paket untuk dipresentasikan di depan murid-murid mereka. Bagi saya, itu jauh dari kata layak. Pasalnya, buku-buku itu sifatnya hanya pengantar. Selebihnya, guru harus punya kesadaran dan kompetensi untuk mengeksplorasi dokumen-dokumen lain sehingga para murid punya perspektif lain dan mempunyai cakrawala kemampuan yang lebih luas.
Selain itu, satu hal yang diajarkan Bung Hatta buat guru-guru kita adalah ihwal keikhlasannya mengajar. Hal itu semata-mata untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan agar anak-anak kita tidak kehilangan jati dirinya sebagai bangsa.
Begitu. Apa yang telah dilakukan Bung Hatta dalam perjuangan di medan pendidikan menjadi warisan buat guru-guru dan kita semua. Lalu, mampukah kita menjaga warisan Bung Hatta itu?
Editor: Prihandini N