Pengangguran terselubung, pembangkang terbuka

Kretek Haji Agus Salim: Melawan Ketamakan, Merawat Spirit Revolusi

Dendy Wahyu Anugrah

3 min read

“Carried on the warm breezes of a sultry tropic night, the scent of kretek—Indonesia’s indigenous clove cigarette—is the aromatic soul of a nation, the fragant embodiment of all things Indonesian.” – (Mark Hanusz, Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, 2000)

Meski produk rokok filter banyak diminati, dari dalam negeri maupun luar negeri, ternyata rokok kretek tetap memiliki penikmat yang (cukup) banyak di Indonesia. Cita rasa dan suara khas “kretek” saat dihisap, agaknya tidak dapat tergantikan oleh rokok jenis filter atau, yang sedang tren sekarang, model elektronik (e-cigarette) seperti vape dan pod. Di tengah arus rokok elektrik, kretek masih diminati banyak orang dan bahkan melahirkan varian rasa yang unik dan, tentunya, nikmat kala dihisap.

Sejauh ini, kretek memang selalu identik dengan masyarakat kita, khususnya sebagai teman klangenan dan ngobrol ngalur-ngidul di kedai kopi, warung nasi, dan pos ronda. Galibnya, rokok kretek selalu disandingkan dengan seduhan kopi hitam plus pisang goreng hangat di atas piring. Rokok kretek, kopi hitam, dan pisang goreng adalah perpaduan hasil bumi yang pas.

Kendati tembakau dan kretek menyimpan “kenangan pahit” dalam sejarah bangsa kita karena mengingatkan pada masa penjajahan, toh karena tembakau dan rokok kretek pula kita dapat meraih kemerdekaan. Bagaimana tidak, lha wong banyak tokoh di negara kita ini yang menyukai rokok kretek. Derap langkah revolusi Indonesia tak akan terlepas dari tembakau dan kretek. Salah satu tokoh penting yang lekat dengan kretek ialah Agus Salim. Menurut cerita, Agus Salim suka sekali dengan rokok kretek. Bahkan, meski ia berada di negeri yang jauh dari tanah airnya, kretek tetap menjadi rokok favorit orang yang pernah dipanggil “Si Jenggot Kambing” ini.

Baca juga:

Kretek & Kelakar: Kisah Rokok Agus Salim

Dalam pergerakan nasional, nama Agus Salim, Menteri Luar Negeri Indonesia pada tahun 1947-1949, tidak pernah absen di dalam buku-buku sejarah. Sosok yang dijuluki “The Grand Old Man” ini, selain cerdas dan pemberani, juga memiliki sifat yang humoris. Seperti yang sudah banyak kita dengar, Agus Salim adalah potret “intelektual organik”—istilah Gramsci. Pandangan dan gerakan politik Agus Salim terbilang luwes dan tidak kaku. Hal ini disebabkan oleh cakrawala pengetahuan dan pengalamannya dalam kancah politik yang tidak diragukan lagi.

Pada suatu waktu, diplomat ulung itu menghadiri acara besar penobatan Ratu Elizabeth II di Buckingham Palace, Inggris. Di sela-sela acara, Agus Salim menyalakan rokok kretek kesukaannya. Tak lama, Agus Salim menghampiri suami Ratu Elizabeth II, Pangeran Philip (Duke of Edinburgh), sembari mengayun-ayunkan sebatang rokok kretek yang diapit kedua jarinya di hadapan Pangeran Philip.

Haji yang menguasai banyak bahasa dan pandai berpidato itu kemudian memulai obrolan dengan Pangeran Philip. “Apakah Paduka mengenali aroma ini?”. Dengan menggunakan indra penciumannya, Pangeran Philip berusaha menebak aroma (bau) kepulan asap rokok yang dihisap Agus Salim. “Rasanya saya tidak mengenal aroma ini, Tuan,” jawab Pangeran Philip.

“(kretek) inilah yang membuat bangsa Paduka beramai-ramai mendatangi negeri saya,” jawab Agus Salim dengan seulas senyum. Mendengar jawaban itu, Pangeran Philip lantas tertawa.

Selain di Inggris, Agus Salim juga pernah ditanya oleh seorang tamu dalam sebuah jamuan diplomatik di London. “What is that you’re smoking, Sir?” tanya seorang tamu yang melihat sebatang rokok yang berada di bibir Si The Grand Old Man, Agus Salim.

“Is the reason for wich the West conquered the world!” jawab Agus Salim dengan nada diplomatis seraya menghisap kretek asli Indonesia yang terkenal dengan cita rasa yang khas.

Kretek Agus Salim: Melawan Ketamakan, Merawat Spirit Revolusi

Kisah Agus Salim dan Pangeran Philip yang diabadikan dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984) dan Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarette (2000) di atas memberi pelajaran bagi kita, bahwa bangsa kita adalah bangsa yang besar dengan sumber daya alam yang melimpah.  Tentu, sudah semestinya kita menjaga anugerah itu dengan sebaik-baiknya. Sikap Agus Salim, selain sebagai simbol kegagahan diri suatu bangsa di hadapan bangsa lain, ternyata juga mengandung makna yang perlu menjadi bahan refleksi, jika ditelisik lebih dalam.

Pertama, menjaga alam Indonesia. Usia negara kita, sejak kemerdekaan, sudah menginjak 79 tahun. Umumnya, orang melihat Indonesia sedang berjalan menuju era keemasan (Indonesia Emas). Namun, di sisi lain, perjalanan negeri kita ini nampaknya agak paradoks. Sebab, di balik gegap gempita “Indonesia Emas”, masih banyak konflik ekologis yang belum terselesaikan. Hal ini merupakan akibat dari ketidaksadaran kita akan anugerah yang diberikan kepada Indonesia; kekayaan, keindahan, dan kesuburan sumber daya alam.

Tembakau yang dihisap Agus Salim di depan bangsa asing itu, adalah hasil dari tanah subur Indonesia. Oleh karena itu, menjaga dan merawat sumber daya alam di Indonesia ini merupakan kewajiban yang dibebankan bagi setiap manusia Indonesia. Jika bukan kita, lantas kepada siapa?

Kedua, melawan ketamakan dan penindasan manusia. Kita tahu, dulu berbagai bangsa berusaha menjarah dan menguasai Indonesia dengan ragam cara. Bertahun-tahun lamanya, nenek moyang kita mengalami penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsa asing. Setiap hisapan kretek yang selama ini kita nikmati, terdapat sejarah kelam yang seyogianya menjadi spirit kita untuk melawan ketamakan dan segala bentuk eksploitasi.

Seperti yang dilakukan Agus Salim, ia melontarkan guyonan kritis kepada mereka yang dulu pernah menjajah Indonesia. Hal itu adalah cara Agus Salim melawan ketamakan dan segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh manusia. Keduanya, adalah sebab manusia terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Dengan belajar dari kretek Agus Salim, sepertinya kita harus segera beranjak dari ruang kenyamanan dan mengalahkan ketamakan di dalam diri serta yang bersemayam di tampuk kekuasaan.

Baca juga:

Ketiga, merawat legacy spirit revolusi. Telah disebutkan di muka, bahwa tembakau dan kretek merupakan unsur penting dalam bentang perjalanan revolusi Indonesia. Para tokoh pergerakan nasional, seperti Agus Salim, tidak pernah mau lepas dari kretek asal Indonesia. Apa yang dilakukan Agus Salim tidak lain adalah nasionalisme yang mengakar kuat di dalam relung hatinya. Percikan revolusi Indonesia, dalam hal ini, ditemani oleh sebatang kretek yang selalu dihapit oleh dua lembar bibir tokoh pergerakan nasional kita.

Nilai-nilai nasionalisme dan revolusi semerbak mewangi diantar oleh kepulan asap putih dari pembakaran kretek asli Indonesia. Setiap satu hisapan hingga memunculkan suara “kretek” seperti pekikan “Merdeka atau Mati!” para martir yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sehingga, para kretekus itu seharusnya menghayati dan senantiasa merawat spirit revolusi yang ditancapkan sejak awal oleh para founding father negara kita. Dengan kata lain, rokok kretek khas Indonesia yang selalu kita nikmati itu, secara simultan, memuat sejarah revolusi yang panjang dan berdarah-darah. Sudah selayaknya kita merawat sipirit revolusi yang terkandung di dalam racikan kretek dengan cara selalu mengatakan “tidak” dan melawan segala hal yang berpotensi mengikis habis jiwa nasionalisme kita.

Setidaknya, ketiga hal itulah yang kita pelajari dari “kretek Agus Salim”. Menghisap kretek sama halnya dengan senantiasa melawan ketamakan dan merawat revolusi. Menikmati kretek, berarti bersedia menjaga alam Indonesia agar tetap subur dan lestari. Salam kretek!

 

 

Editor: Prihandini N

Dendy Wahyu Anugrah
Dendy Wahyu Anugrah Pengangguran terselubung, pembangkang terbuka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email