Meninjau Ulang Cara Kita Menyikapi Mitos

Imam Fawaid

4 min read

Mitos pernah berjaya dan menjadi momok yang menahan manusia dari melakukan hal-hal berbahaya. Kini, ia menjadi bahan lelucon anak-anak muda perkotaan yang gabut dan kehabisan cerita. Bagaimana mitos mengada?

Ada, atau bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu ada, telah menjadi pergulatan pikiran yang panjang dalam sejarah peradaban manusia. Salah satu hasil dari pergulatan pikiran tersebut adalah instrumen untuk mengetahui adanya sesuatu, yang sampai sekarang masih digunakan dalam sains, yakni pengamatan empiris.

Sederhananya, kita bisa mengetahui bahwa sesuatu ada jika kita menemukan bukti-bukti keberadaannya yang dapat diukur secara ilmiah. Akan tetapi, asumsi ini tidak berlaku sebaliknya. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa sesuatu tidak ada hanya karena kita tidak atau belum menemukannya.

Orang tentu bebas mau mengambil sikap ‘‘tidak tahu’’ pada hal-hal yang tidak atau belum ditemukan bukti-bukti keberadaannya, atau memilih ‘‘percaya’’ saja. Baik memilih sikap yang satu atau yang lain, sesungguhnya itu adalah pilihan yang bersifat pribadi. Namun, perlu diingat bahwa bersama kebebasan, ada tanggung jawab menyertainya. Sebab, pilihan-pilihan yang kita ambil bukan tanpa konsekuensi. Oleh sebab itu, saya ingin mengajak Anda untuk meninjau ulang sikap kita terhadap hal-hal tersebut, dalam hal ini, terhadap mitos.

Baca juga:

Mitos adalah realitas intersubjektif atau realitas yang adanya dipercaya bersama dalam suatu masyarakat tertentu. Misalnya, mitos tentang entitas-entitas mistik penunggu pohon, sungai, laut, dan lain sebagainya. Kita menyebut entitas-entitas tersebut sebagai mitos karena kita tidak atau belum menemukan bukti-bukti keberadaannya di realitas objektif, tetapi mereka ada dalam kesadaran kolektif masyarakat yang memercayainya.

Mitos tidak terbatas pada entitas-entitas mistik seperti yang kerap kita temui dalam kepercayaan-kepercayaan tradisional. Mitos juga ada dalam versi modern, misalnya mitos tentang kebangsaan. Kita tidak punya bukti bahwa orang Jawa, orang Sunda, orang Papua, dan orang Madura adalah satu bangsa yang disebut bangsa Indonesia, tetapi kita meyakininya demikian. Namun, dalam tulisan ini, saya akan menyempitkan wilayah pembahasan pada kepercayaan akan entitas-entitas mistik.

Sikap Mengultuskan Mitos

Umumnya, kita menyikapi mitos dalam satu dari dua cara; kalau bukan mengultuskan mitos, kita mengerdilkan mitos. Sikap mengultuskan mitos yang saya maksud adalah sikap mempercayai mitos secara berlebihan hingga menolak sedikit pun kecurigaan atau skeptisisme terhadapnya, apalagi kritik. Setiap pertanyaan yang dirasa ‘‘mengganggu’’ akan dianggap mencela atau bahkan menista kepercayaan tersebut. Sikap ini berbahaya karena ia dapat menumpulkan nalar kritis kita. Akibatnya, kita menjadi gampang dibodohi dengan kabar burung yang sebetulnya isapan jempol belaka.

Kita bisa melihat bagaimana kepercayaan terhadap mitos bisa digunakan tangan-tangan jahil untuk membodohi orang demi memaksudkan kepentingannya, misalnya dalam film Kartini. Dalam film tersebut, ada adegan yang menunjukkan masyarakat kecil yang berprofesi sebagai seniman ukir-ukiran merasa takut bukan main tatkala mereka diminta menggambar wayang karena ada yang menjejali mereka mitos bahwa menggambar wayang akan mendatangkan kutukan Tuhan. Bukan mitos itu sendiri yang membuatnya merasa demikian, melainkan ketidakmampuannya (atau ketakbolehannya) mengkritisi mitos tersebut, mereka hanya boleh percaya. Oleh sebab ketakutan irasional tersebut, mereka kehilangan kesempatan untuk menjual karya-karya seni yang bernilai tinggi.

Mitos tidak buruk secara inheren, tergantung bagaimana kita memaknainya. Mochtar Lubis dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia (1977) memaparkan bagaimana masyarakat Indonesia terdahulu yang hidup dengan animisme dan dinamisme (yang sarat dengan mitos-mitos) memiliki bakat artistik yang indah-indah. Mitos-mitos membangkitkan imajinasi, memberi ruang interpretasi yang luas akan makna-makna dan filosofi hidup, yang kemudian didokumentasikan dalam relief pada candi-candi, sculpture, ukiran kayu, sastra tertulis maupun oral, dan sebagainya. Namun, bakat-bakat artistik tersebut mengalami kemunduran karena tekanan dari pengaruh-pengaruh luar sejak masuknya agama-agama monoteis yang menumpas patung-patung dan melarang penciptaan baru karena dianggap memberhalakan karya-karya seni tersebut.

Mitos menjadi berbahaya ketika orang mengultuskannya. Ketika itu terjadi, orang menjadi kehilangan kemampuan memisahkan realitas magis atau mistis dengan realitas objektif. Alhasil, kedua realitas tersebut tercampuraduk dan menghasilkan kekusutan berpikir. Maka, tidak heran jika dalam keseharian kita acapkali menjumpai kehebohan-kehebohan yang konyol di media sosial seperti kasus babi ngepet di Depok atau tuyul dalam stoples yang bukan tidak mungkin sengaja diproduksi pihak-pihak berkepentingan untuk mengalihkan perhatian publik dari kasus-kasus besar yang penting.

Baca juga:

Sikap Mengerdilkan Mitos

Sikap mengerdilkan mitos juga sama berbahayanya dengan sikap mengultuskan mitos. Sikap mengerdilkan mitos yang saya maksud adalah sikap (yang juga secara berlebihan) mencemooh kepercayaan akan entitas-entitas mistik itu hanya karena tidak percaya atau tidak mengerti. Memercayai yang tak dapat dibuktikan keberadaannya secara empiris dianggap tolol, memberi sesajen untuk menghormati leluhur atau entitas-entitas mistik dianggap konyol. Sikap angkuh semacam ini berbahaya karena dapat merusak hubungan manusia dengan alam yang konsekuensinya adalah kerusakan alam itu sendiri.

Rachmad K. Dwi Susilo dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Lingkungan (2008) menjelaskan bagaimana hubungan manusia dengan alam berubah; dari yang awalnya ‘‘bergantung pada alam’’ menjadi ‘‘menaklukkan alam’’ seiring dengan perubahan paradigma berpikir manusia. Dulu, manusia sangat rentan. Mereka hidup di hutan dan hewan-hewan buas bisa menerkam mereka kapan saja. Wabah penyakit tak dikenal atau aktivitas gunung berapi bagai misteri yang dapat menelan nyawa siapa saja. Kerentanan itu barangkali yang mendorong nenek moyang kita menyikapi alam dengan rasa hormat, yang diekspresikan dalam mitos-mitos, sesajen, dan berbagai ritual penghormatan.

Peradaban berpikir manusia kemudian berkembang memasuki era antroposentrisme. Mereka mulai menganggap dirinya (manusia) sebagai pusat semesta dan melihat realitas di luar dirinya sebatas objek-objek. Dengan ilmu pengetahuan serta teknologi-teknologi modern, manusia melucuti pilar-pilar kemahakuasaan alam semesta dan mulai berpikir untuk menaklukkan alam. Sejak manusia modern tidak takut lagi dengan entitas-entitas mistik penunggu pohon, sungai, laut, dan seterusnya, manusia mulai kurang ajar terhadap alam yang memberi mereka hidup dan mengeksploitasinya secara membabi buta.

Pada titik ini, Anda mungkin mulai berpikir bahwa ternyata selama ini mitos-mitos tentang entitas mistik penunggu pohon, sungai, dan lain-lain punya peran besar dalam mencegah kerusakan alam karena kerakusan manusia. Di sisi lain, mitos juga membuat orang-orang bodoh dan kebodohannya mudah dieksploitasi pihak-pihak berkepentingan. Lantas, bagaimana mestinya kita menyikapi mitos?

Sebagaimana telah saya singgung di awal, mitos tidak buruk secara inheren, tergantung bagaimana kita memaknainya. Kita sebaiknya menyikapi mitos dengan kritis. Untuk melakukan itu, kita harus mampu memisahkan realitas magis atau mistis dengan realitas objektif, lalu menempatkan keduanya pada tempatnya masing-masing.

Kita kembalikan mitos pada fungsi awalnya sebagai sarana komunikasi. Daripada sibuk mempersoalkan apakah entitas-entitas mistik dalam mitos benar-benar ada, alangkah lebih baik jika kita mengerahkan energi untuk mencoba memahami makna dan pesan-pesannya, mengkritisinya, dan, kalau perlu, merekonstruksi agar selalu relevan dengan kebutuhan zaman.

Baca juga:

Sebagian dari Anda mungkin ada yang bertanya-tanya, kalau tujuannya untuk mencegah orang mencemari sungai, menebang pohon, dan mengeksploitasi alam, kenapa tidak disampaikan saja secara lurus tanpa embel-embel ruh halus dan sejenisnya?

Entitas-entitas mistis dalam mitos sebetulnya adalah bagian dari seni bercerita. Dalam seni bercerita, baik itu puisi, cerpen, atau novel, pasti terdiri dari setidaknya dua bagian, yakni kesan (imej) dan pesan. Tidakkah lebih indah jika perasaan senang, sedih, takut atau sifat berani, penakut, tegas, cantik digambarkan dalam tanda-tanda yang menimbulkan kesan demikian dalam imajinasi kita dibanding ketika semua itu dinyatakan secara harfiah? Maka, demikian juga simbol-simbol dan ornamen-ornamen dalam ritual-ritual penghormatan.

Lagipula, saya yakin Anda juga pernah melihat sungai penuh dengan sampah padahal sudah ada plang dengan keterangan ‘‘dilarang membuang sampah di sungai’’. Jika mitos ternyata lebih efektif mencegah orang membuang sampah ke sungai daripada sekadar imbauan, bukankah itu berarti menggunakan mitos adalah pilihan yang lebih baik? Kita bisa menghidupkan mitos kembali tanpa harus menumpulkan nalar kritis.

Jika sudah terlampau mustahil menakut-nakuti orang dengan hantu di era modern ini, kita bisa mengubah penekanan cerita. Misalnya, alih-alih membesar-besarkan kesan horornya sehingga overshadowing pesan yang hendak disampaikan, barangkali kita bisa membangun ulang cerita dengan lebih menekankan pada pemahaman tentang etika lingkungan. Kita ubah paradigma yang awalnya mengecoh orang untuk bersikap hormat pada alam atas dasar ketakutan irasional menjadi mendorong orang bersikap hormat atas dasar pemahaman bahwa pohon, sungai, gunung, dan lain-lain adalah subjek bagi dirinya sendiri, bukan objek yang seolah-olah eksis hanya untuk melayani kepentingan manusia.

 

Editor: Emma Amelia

Imam Fawaid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email