Modernisasi mendesak kita untuk menyesuaikan diri dengan iklim industri belakangan ini. Aku jadi merasa asing dan lumpuh karena ritme cepat yang dibebankan padaku. Perasaan asing dan lumpuh tersebut memperlihatkan diriku yang dijauhkan dari akarnya.
Akar yang selama ini telah menopang keberadaanku dengan mudah lenyap ketika aku tak lagi mampu mengenal lingkungan sekitarku, bahkan diriku sendiri. Ritme kehidupan yang kujalani dengan begitu cepat membuatku merasa sulit menyikapi kematian yang secara pasti akan menimpa diriku.
Memikirkannya, aku lekas ditampar dengan realitas bahwa hari ini aku mesti mendapatkan uang dan hidup untuk uang. Perihal kematian, aku hanya perlu memercayakannya pada otoritas pengetahuan yang justru membuatku semakin resah.
Padahal, jika aku sudi melihat kembali akarku, sejatinya tradisi tutur di sekitarku telah menyediakan seperangkat pengetahuan yang dapat digunakan untuk merefleksikan kembali hubungan manusia dengan alam. Pengetahuan ini mengandaikan adanya cara kerja alam yang bersinggungan langsung dengan manusia hingga hari ini.
Salah satu pengetahuan tersebut dimanifestasikan dalam sebuah tembang bernama Gondang Keli. Tembang ini begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat di daerah Wonosobo, bahkan dalam keseharianku. Tembang ini kerap hadir dalam prosesi kesenian, salah satunya tari Lengger Topeng.
Tawaran Gondang Keli
Secara garis besar, Gondang Keli mengandaikan terjadinya dialog antara sepasang kekasih dalam menyikapi kematian. Dialog tersebut terjadi lantaran Biyung (ibu) resah mendapati seseorang yang sedang meratapi kematiannya kelak. Romo (bapak) menimpalinya dengan petuah bahwa ke mana pun manusia pergi, takdirnya terhadap kematian tak pernah bisa dihindarkan.
Biyung:
Ana tangis kelayung-layung…
(Ada tangis tersedu-sedu)
Tangise wong wedi mati, Romo…
(Tangisnya orang takut mati)
Romo:
Gedungono kuncenono…
(Sembunyilah di balik gedung dan kuncilah)
Wong mati moso wurungo, Biyung…
(Orang mati sudah menjadi takdirnya)
Kata gondang merujuk pada buah gondang yang dihasilkan oleh pohon kondang yangkerap ditemukan di daerah pinggiran sungai. Sementara itu, keli artinya hanyut terbawa arus.
Berangkat dari pengertian tersebut, aku pun mencoba untuk menafsirkan bahwa buah gondang tak akan pernah bisa mengelak akan takdirnya hanyut terbawa arus. Sekalipun manusia mengaku diri sebagai entitas paling superior di dunia ini, ia tak pernah bisa menghindari kematian yang telah menjadi takdirnya tersebut.
Selain mengandaikan hadirnya kematian manusia, Gondang Keli juga mengandaikan bahwa di alam akhirat segala bentuk materialisme yang manusia timbun selama ini tidak lagi berlaku. Hal ini termanifestasi dalam lirik Biyung yang meminta perlakuan istimewa ketika ia bertemu dengan kematiannya kelak. Lagi-lagi, Romo menimpalinya dengan petuah bahwa segala bentuk permintaanya tak lagi bisa dirasakan ketika jiwa tak lagi bersemayam di tubuhnya.
Biyung:
Ojo lurup-lurup mori
(Jangan tutup dengan kain kafan)
Lurupono selendang pelangi, Romo…
(Tutuplah dengan selendang warna-warni)
Romo:
Ora bisa selendang pelangi…
(Tidak mungkin selendang warna-warni)
Bisane la kain mori, Biyung…
(Bisanya hanya kain mori)
Di akhir syair, Biyung akhirnya mengamini kematiannya yang tak lagi menyatu dengan alam dunia sebagaimana petuah dari Romo. Segala pandangan Biyung terhadap materialisme dunia tak lagi berlaku bagi hukum alam setelah kematian. Melalui dialog antara Biyung dan Romo, terciptalah gambaran akan kematian yang sesungguhnya.
Biyung:
Sandangane mori putih
(Pakaiannya kain mori)
Tanda ra bisa mulih, Romo…
(Tanda sudah tak bisa kembali)
Romo:
Tumpakane kereto Jowo
(Menaiki keranda mayat)
Roda papat, rodo manungso
(Roda empat, roda manusia)
Tradisi tutur yang disampaikan dalam Gondang Keli menyediakan seperangkat pengetahuan yang diwariskan kepada masyarakat hari ini. Pengetahuan tersebut berupaya mengungkap kematian yang tak lagi berurusan dengan materialisme di dunia.
Merefleksikan kembali gagasan tersebut, ritme kehidupan kita di dunia ini seperti dibuat semakin asing dengan kematian. Setiap harinya, kita dihadapkan pada tuntutan untuk mencari kebutuhan material yang sifatnya sementara. Padahal, setelah kematiannya, manusia akan terpisah dan tak lagi membutuhkan kubangan material tersebut.
Baca juga:
Meretas Ritme Kehidupan Modern
Syair Gondang Keli kerap dimainkan dalam fragmen-fragmen pertunjukan Lengger Topeng. Pertunjukan tersebut dipilih lantaran masyarakat Wonosobo begitu dekat dengan Lengger Topeng. Kedekatan budaya itulah yang membuat tembang ini dan pertunjukan Lengger Topeng begitu mudah untuk diterima dan diaktualisasikan.
Akan tetapi, syair tembang tersebut kerap memicu rasa takut dan kesedihan bagi siapa pun yang berhasil memaknainya. Terlebih, ketika ditampilkan dalam Lengger Topeng, fragmen Gondang Keli kerap menjadi pintu masuk bagi penari, pengiring, maupun penonton untuk mencapai trance atau ketidaksadaran tubuh.
Selain oleh konsekuensi mistis yang terkandung padanya, efek trance tersebut juga dipicu oleh alunan musik lirih yang dibawakan dengan mendayu-dayu. Ketika seseorang mengalami trance, biasanya mereka akan menangis, meraung, hingga memperagakan aksi-aksi teatrikal yang memicu rasa mencekam bagi penonton lainnya.
Fenomena tersebut perlu dimaklumi. Dalam keseharian kita, kematian memang sulit untuk direfleksikan, apalagi untuk dihayati. Pertunjukan Gondang Keli menjadi momen yang tepat untuk meretas cara berpikir kita terhadap kehidupan dan kubangan material yang kita himpun selama ini, mencapai trance hanya salah satu perwujudannya.
Namun, penonton dan penyelenggara hajatan kerap dibuat resah dengan hadirnya fragmen Gondang Keli. Fragmen tersebut dinilai berbahaya karena siapa pun dapat mengalami efek trance karenanya. Bahkan, beberapa sanggar lengger di Wonosobo memilih untuk memangkas fragmen Gondang Keli dalam pertunjukan mereka.
Di sisi lain, banyak pula pihak yang menjadikan Gondang Keli sebagai fragmen yang kehadirannya begitu spesial. Selain untuk memicu efek dramaturgi di panggung dan di luar panggung, Gondang Keli juga memberi petuah kepada penonton untuk tidak jumawa terhadap takdir.
Editor: Emma Amelia