Mengintip Kehidupan di Balik Tembok Lapas

Munawir Mandjo

3 min read

Lembaga pemasyarakatan atau lapas adalah bagian paling akhir dari sistem peradilan pidana. Perannya sangat penting dalam membuat para pelanggar hukum tak kembali bikin ulah. Seiring perkembangan zaman, sistem pada lembaga ini mengalami perubahan yang tentunya disertai dengan perubahan beberapa kebijakan di dalamnya.

Mengganti istilah “penjara” menjadi “lembaga pemasyarakatan” dan istilah “terhukum” menjadi “narapidana” merupakan salah dua di antara perubahan-perubahan itu. Namun, perubahan-perubahan itu nyatanya masih kurang dipahami oleh publik sehingga kerap timbul salah paham yang berakhir dengan terbentuknya citra negatif lembaga pemasyarakatan.

Baca juga:

Agar pandangan keliru terhadap lapas tidak berlarut-larut, saya akan jelaskan beberapa hal tentang lapas yang masih sering disalahpahami oleh masyarakat dalam kapasitas saya sebagai seorang petugas di sana.

Penyiksaan Narapidana

Sebagai petugas, saya kerap menjadi sasaran pertanyaan seperti sudah berapa banyak narapidana yang saya pukul. Tak cuma itu, saya juga sering mendapat permintaan dari keluarga narapidana untuk menjamin keluarga mereka yang tengah menjalani masa pidana tak memperoleh siksaan di lapas.

Sejak dulu, penjara identik dengan kekerasan. Sebab, dasar penghukuman bagi para pelanggar hukum adalah siksaan. Munculnya persepsi masyarakat tentang maraknya penyiksaan di dalam lapas tak boleh dan tak bisa sepenuhnya disalahkan. Namun, praktik semacam itu sudah mulai ditinggalkan belakangan, terutama sejak sistem kepenjaraan diubah menjadi sistem pembinaan.

Model pembinaan itu pertama kali dicetuskan oleh Mantan Menteri Kehakiman (sekarang disebut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) Saharjo. Menurut Saharjo, sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan semangat dan jiwa pengayoman karena mensyaratkan adanya perampasan total atas hak-hak asasi manusia para narapidana.

Sistem kepenjaraan tidak memberi kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki kesalahan dan menjauhkan narapidana dari keluarga. Selain itu, sistem ini membiarkan narapidana mendapat siksaan fisik dan mental selama menjalani hukuman di penjara sehingga penerapannya dinilai tidak manusiawi. Meskipun begitu, tak bisa dimungkiri jika budaya kekerasan masih dipraktikkan oleh oknum petugas lapas di luar sana. Namun, praktik semacam ini sudah mulai ditinggalkan perlahan-lahan.

Sehari-hari Berdiam di Sel

Banyak anggapan bahwa ketika seseorang masuk lapas, ia akan menghabiskan keseluruhan masa hukuman di dalam sel; terkurung bagai burung di dalam sangkar. Namun, kenyataannya tidak demikian.

Narapidana diperbolehkan beraktivitas di luar sel. Biasanya, saat berada di luar sel, mereka mengikuti rangkaian kegiatan pembinaan, misalnya pembinaan kemandirian atau kepribadian narapidana. Bahkan, tak jarang narapidana memanfaatkan waktu senggang mereka di luar sel untuk berolahraga, berkesenian, atau sekadar nongkrong di area yang sudah ditetapkan. Hal ini wajar saja. Sebab, selain tuntutan untuk memenuhi kewajiban, narapidana juga memiliki hak yang harus dipenuhi oleh lapas.

Meskipun begitu, narapidana tidak setiap saat boleh berada di luar sel. Ada jam-jam khusus yang sudah ditentukan. Umumnya, narapidana diperbolehkan berada di area lapas selain sel dari pagi hingga sore hari. Pengecualian saat ada apel narapidana, yakni salah satu momen ketika mereka akan bebas berada di luar sel.

Bebas Keluyuran Asal “Delapan-Enam”

Beredar prasangka negatif bahwa lapas memberikan kelonggaran bagi narapidana untuk berkeliaran di luar lapas asal narapidana tersebut sanggup membayar sejumlah uang kepada petugas lapas. Prasangka ini tidak sepenuhnya benar, tetapi juga tidak sepenuhnya keliru.

Memang benar, beberapa narapidana bisa berada di luar lapas. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan sesuai dengan aturan dan prosedur. Umumnya, narapidana yang berada di luar area lapas sedang mengikuti program asimilasi luar tembok lapas, yakni proses penyesuaian atau peleburan narapidana dengan lingkungan sekitar sebelum akhirnya resmi bebas. Syarat umum untuk bisa mengikuti program ini adalah narapidana yang bersangkutan harus berkelakuan baik, aktif mengikuti pembinaan di lapas, dan telah menjalani dua pertiga masa pidana.

Makanan Tak Layak

Masih banyak orang yang mengganggap pihak lapas tidak menyediakan makanan yang layak konsumsi bagi para narapidana. Alhasil, kerap muncul pertanyaan-pertayaan seputar jenis makanan apa yang dikomsumsi narapidana dan seperti apa standar kelayakan makanan yang disediakan oleh pengelola lapas.

Padahal, pengelola lapas selalu memperhatikan kebutuhan gizi para narapidana. Pihak lapas memastikan bahwa para narapidana mengonsumi sayur, buah, daging, telur, dan makanan laut selama menjalani masa tahanan. Bahkan, pihak lapas juga menyediakan extra voeding, yakni pemberian makanan ringan yang bergizi untuk para narapidana. Jadwal makan di lapas pun teratur, yakni tiga kali sehari.

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan tahun 2021 tentang Buku Standar Menu Makanan bagi Tahanan/Anak/Narapidana, telah ditetapkan bahwa angka kecukupan gizi bagi narapidana dibagi menjadi tiga kategori. Angka kecukupan gizi narapidana pria dewasa sebesar 2.345 kkal. Sementara itu, angka kecukupan gizi narapidana wanita dewasa sebesar 1.995 kkal dan narapidana anak sebesar 2.240 kkal. Untuk bisa memenuhi angka kecukupan gizi yang tertera dalam kebijakan itu, makanan yang diberikan kepada narapidana tentu harus lolos standar kelayakan dan kebutuhan nutrisi.

Tanggung jawab pengelolaan konsumsi narapidana diserahkan kepada narapidana yang dianggap cakap memasak, plus memenuhi syarat administratif dan substantif. Umumnya, narapidana yang mengurusi konsumsi rekan-rekan sesama narapidananya ini disebut “tamping”. Seorang tamping dipilih khusus untuk membantu pekerjaan petugas-petugas di dalam lapas.

Tulisan lain oleh Munawir Mandjo:

Empat hal tersebut adalah beberapa kekeliruan padangan terhadap lembaga pemasyarakatan yang umum terjadi. Memang, berbagai salah paham dan prasangka masyarakat terhadap lapas tidak selalu keliru. Penyimpangan pengelolaan lapas memang terjadi, tetapi tidak marak alias hanya “kasus oknum”. Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, terus berupaya melakukan perubahan-perubahan agar ke depannya kualitas pengelolaan lembaga pemasyarakatan menjadi lebih baik dan semakin baik.

 

Editor: Emma Amelia

Munawir Mandjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email