Perempuan di Luar Jendela
Malam bergerak bagai cecak
yang tua, yang terluka
Aroma melati pecah di udara
menusuk hidung, menusukku
Tiba-tiba ada perempuan
yang mengoyak nyaliku
di luar jendela
Aku baca Al-Fatihah
dengan terbata-bata
Ia malah tertawa
Aku baca Ayat Kursi
dengan tersendat-sendat
Ia masih tertawa
Aku bacakan puisiku
yang gagal dimuat koran
Tawanya makin hahaha
(2022)
–
Kereta Api
Dari Lempuyangan ke Senen
kereta ini memulangkan kau dan aku,
sekaligus memberangkatkan perasaan kita menuju entah
Kita berada di jalur berbeda
Meski nyatanya kau duduk
di hadapanku, memukul sunyi
dengan tawamu—senyaring Genta
Hingga kereta ini
menembus azan magrib
dan perpisahan telah tiba
Kita turun—menuju pintu keluar
Meninggalkan kereta,
meninggalkan pertanyaan:
Mengapa Tuhan ada di mana-mana?
(2022)
–
Dari dalam Kereta Api
Mengenang ibu seperti melihat hamparan ranum padi. Semua yang kuning ialah kesedihan.
Dadaku bangku dengan sederet penumpang bertubuh besar. Mereka: orang-orang yang lari dari desa. Lalu melempar dadu di ibu kota.
Kereta yang aku naiki melaju cepat,
secepat tawa ibu yang hilang atau
sembunyi dari telingaku.
Sekarang semua yang kudengar terasa sedih: suara petugas yang menawarkan makanan atau minuman atau hal-hal
yang membuat isi dompetku lengang.
Di luar hujan turun seperti sesuatu
yang tak direncana. Kaca pun menjadi buram seumpama hari depan.
(2022)
–
STMJ
Aku tamu
tak jemu
ke kediaman-Mu
Aku pengembara
bersepatu bara
singgah pada
banyak wanita
Aku petualang
yang sembahyang
di tepi jurang
(2022)
–
Doa Pelamar Kerja
“Ya Tuhan,
Surat lamaran banyak kutebar
Tak satu pun ditangkap
Gedung pencakar langit.”
Ia bersimpuh ragu
Tangan setengah terbuka
Pandangan ke langit buta.
(2022)
–
Kekasihku Kedatangan Bulan
Kau sembur aku
dengan kata-kata api
Tapi dadaku tanah lapang
tak menolak siapa pun datang
Lebam kau bagi
sebab kubuat bulan tak purnama
pada malammu
Kini, di pinggangku
ada bekas duka kelabu.
(2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA